Ilustrasi : LPM Hayamwuruk |
Oleh: Akbar Ridwan*
Kampus adalah tempat biasa yang acap kali
disakralkan oleh sebagian manusia. Tempat itu, masih saja ada yang mengatakan
sebagai lokasi paling bersahaja. Namun, anggapan tersebut tidak serta merta
membuat manusia yang ada di dalamnya berpikir, melainkan jumawa bahwa telah
mengeyam bangku yang ada di dalamnya. Padahal, bangku itu adalah sebuah benda
reot yang fungsinya sudah beralih.
disakralkan oleh sebagian manusia. Tempat itu, masih saja ada yang mengatakan
sebagai lokasi paling bersahaja. Namun, anggapan tersebut tidak serta merta
membuat manusia yang ada di dalamnya berpikir, melainkan jumawa bahwa telah
mengeyam bangku yang ada di dalamnya. Padahal, bangku itu adalah sebuah benda
reot yang fungsinya sudah beralih.
Berbicara kursi tersebut, polemik yang menjadi
perdebatan masih bergulir setiap tahunnya. Ada yang bilang bahwa menjadi warga
kampus adalah bermartabat. Namun demikian, beginilah nikmatnya hidup bahwa
tidak ada yang bisa memenjarakan pikiran manusia, termasuk pikiran yang
menyatakan kampus tak ubahnya sebuah pabrik; tempat di mana manusia dididik,
sebagian melawan, tetapi tetap berkata ‘iya’ juga tanpa dipikir kembali
permintaannya ketika bertemu dengan petinggi kampus, entah dosen atau
mahasiswanya itu sendiri.
perdebatan masih bergulir setiap tahunnya. Ada yang bilang bahwa menjadi warga
kampus adalah bermartabat. Namun demikian, beginilah nikmatnya hidup bahwa
tidak ada yang bisa memenjarakan pikiran manusia, termasuk pikiran yang
menyatakan kampus tak ubahnya sebuah pabrik; tempat di mana manusia dididik,
sebagian melawan, tetapi tetap berkata ‘iya’ juga tanpa dipikir kembali
permintaannya ketika bertemu dengan petinggi kampus, entah dosen atau
mahasiswanya itu sendiri.
Alih-alih bertindak sopan, namun tindak tunduk
itu tak lebih dari sekedar menunjukan mana yang lebih berkuasa. Sulit memang
membedakan sopan santun dengan mental budak. Tetapi, mudah untuk membedakan
mana pejabat mahasiswa naif, mana mahasiswa yang berdiam diri namun tahu apa
yang semestinya dilakukan.
itu tak lebih dari sekedar menunjukan mana yang lebih berkuasa. Sulit memang
membedakan sopan santun dengan mental budak. Tetapi, mudah untuk membedakan
mana pejabat mahasiswa naif, mana mahasiswa yang berdiam diri namun tahu apa
yang semestinya dilakukan.
Perlakuan itu sedikit banyak tampak dari proses
riuhnya penerimaan mahasiswa baru yang kemudian disambut gegap gempita dengan
pelbagai macam simbol koreo. Tiap kampus, seolah tak ingin ketinggalan
menunjukkan jati dirinya agar tampak keren, lalu belakangan untuk mendapatkan
pujian sebanyak-banyaknya dari publik, baik publik nyata, maupun publik maya.
riuhnya penerimaan mahasiswa baru yang kemudian disambut gegap gempita dengan
pelbagai macam simbol koreo. Tiap kampus, seolah tak ingin ketinggalan
menunjukkan jati dirinya agar tampak keren, lalu belakangan untuk mendapatkan
pujian sebanyak-banyaknya dari publik, baik publik nyata, maupun publik maya.
Tak ada yang salah dari kreatifitas tersebut.
Memang hal itu patut diapresiasi sebagai sebuah karya. Namun kita acap kali
luput, bahwa substansi yang dibawa kemudian bisa luntur akibat pujian yang
dilayangkan. Dan begitulah kebanyakan mahasiswa dididik sejak awal; biarlah
lupa substansi, yang terpenting mendapat apresiasi.
Memang hal itu patut diapresiasi sebagai sebuah karya. Namun kita acap kali
luput, bahwa substansi yang dibawa kemudian bisa luntur akibat pujian yang
dilayangkan. Dan begitulah kebanyakan mahasiswa dididik sejak awal; biarlah
lupa substansi, yang terpenting mendapat apresiasi.
Gegap gempita penyambutan beralih pada jargon
yang dipekikkan senior yang belagak paling benar, mulai dari Hidup Mahasiswa
sampai Hidup Rakyat Indonesia. Padahal, para senior itu tak lain hanya
membunyikan jargon, bukan substasi dari kalimat itu.
yang dipekikkan senior yang belagak paling benar, mulai dari Hidup Mahasiswa
sampai Hidup Rakyat Indonesia. Padahal, para senior itu tak lain hanya
membunyikan jargon, bukan substasi dari kalimat itu.
Telebih, dapat dihitung jari seberapa banyak
yang gemar belajar di jalan dan berapa banyak yang gemar di kafe dan berlagak
bijak lalu berkata, “sekarang sudah gak zamannya demonstrasi di jalan.” Sungguh
itu adalah kalimat yang sering dilontarkan agar pengucapnya dianggap bijaksana.
yang gemar belajar di jalan dan berapa banyak yang gemar di kafe dan berlagak
bijak lalu berkata, “sekarang sudah gak zamannya demonstrasi di jalan.” Sungguh
itu adalah kalimat yang sering dilontarkan agar pengucapnya dianggap bijaksana.
Di sisi lain, sulit juga menghindar dari mahasiwa
yang berlagak senior. Yang mana narasinya selalu sama walau tahun terus
berganti tahun, yaitu menyombongkan zamannya dengan berkata, “zaman kamu enak,
zaman kakak dulu lebih parah.” Ungkapan tersebut tak ubahnya seperti KPK saat
ini yang dalam setiap kesempatan, selalu ingin dilemahkan. Kendati demikian,
ada persamaan antara senior ujub dengan mereka yang melemahkan KPK, yaitu
manusia yang mengklaim bahwa tindak tunduk yang dilakukan adalah perbuatan
paling benar.
yang berlagak senior. Yang mana narasinya selalu sama walau tahun terus
berganti tahun, yaitu menyombongkan zamannya dengan berkata, “zaman kamu enak,
zaman kakak dulu lebih parah.” Ungkapan tersebut tak ubahnya seperti KPK saat
ini yang dalam setiap kesempatan, selalu ingin dilemahkan. Kendati demikian,
ada persamaan antara senior ujub dengan mereka yang melemahkan KPK, yaitu
manusia yang mengklaim bahwa tindak tunduk yang dilakukan adalah perbuatan
paling benar.
Lalu apa yang semestinya diperbuat? Sejatinya
pertanyaan itu tidak semudah menjawab apakah kita haus seusai berolahraga atau
tidak. Pertanyaan itu, semestinya dijawab dengan kemerdekaan bagi mereka yang
hendak menjawab pertayaan tersebut. Mungkin, sebagian atau saya sendiri lupa
bahwa manusia sedikit banyak selalu bertindak paradoks dari apa yang penah
diucapkan.
pertanyaan itu tidak semudah menjawab apakah kita haus seusai berolahraga atau
tidak. Pertanyaan itu, semestinya dijawab dengan kemerdekaan bagi mereka yang
hendak menjawab pertayaan tersebut. Mungkin, sebagian atau saya sendiri lupa
bahwa manusia sedikit banyak selalu bertindak paradoks dari apa yang penah
diucapkan.
Akan tetapi, kalaulah saya boleh berpendapat,
ada baiknya hal yang dilakukan adalah melatih keberpihakkan diri. Sial memang
ketika manusia berlagak netral. Entah bagaimana bisa, mungkin serupa seperti
saya yang sering lupa, bahwa tak bisa dipungkiri setiap manusia selalu memiliki
subjektivitas. Itu pasti, tidak mungkin tidak.
ada baiknya hal yang dilakukan adalah melatih keberpihakkan diri. Sial memang
ketika manusia berlagak netral. Entah bagaimana bisa, mungkin serupa seperti
saya yang sering lupa, bahwa tak bisa dipungkiri setiap manusia selalu memiliki
subjektivitas. Itu pasti, tidak mungkin tidak.
Kalau pun ada yang membedakan, maka hal itu
dapat didengar dari retorika yang diungkapkan. Sebuah retorika yang mencoba
netral, tetapi terselip kepentingan untuk mengarahkan pada sesuatu yang
sebetulnya dihendaki oleh yang berbicara. Apabila di antara kita pernah bertemu
atau berlagak seperti itu, maka perlulah kita menyesalinya.
dapat didengar dari retorika yang diungkapkan. Sebuah retorika yang mencoba
netral, tetapi terselip kepentingan untuk mengarahkan pada sesuatu yang
sebetulnya dihendaki oleh yang berbicara. Apabila di antara kita pernah bertemu
atau berlagak seperti itu, maka perlulah kita menyesalinya.
Jadi, dalam tulisan ringkas ini, tidak ada
simpulan yang seolah merangkum isi tulisan. Berpikirlah semerdekanya dan yang
baru kuliah janganlah selalu mengiyakan permintaan seniornya. Bahwa
sesungguhnya yang lebih dahulu mendiami satu tempat memang memiliki pengalaman,
namun belum tentu bisa menggunakan otaknya untuk berpikir lebih baik daripada
kalian yang baru terkungkung di kampus.
simpulan yang seolah merangkum isi tulisan. Berpikirlah semerdekanya dan yang
baru kuliah janganlah selalu mengiyakan permintaan seniornya. Bahwa
sesungguhnya yang lebih dahulu mendiami satu tempat memang memiliki pengalaman,
namun belum tentu bisa menggunakan otaknya untuk berpikir lebih baik daripada
kalian yang baru terkungkung di kampus.
*Penulis merupakan alumni jurusan Sejarah Undip 2014
Editor: Qanish