[ULASAN FILM] When Marnie Was There: Memaknai Arti Cinta dan Kasih Sayang

Sumber gambar: cinemafaith.com


Informasi
Film

Judul
Film                   : When Marnie Was
There
Produksi                      : Studio Ghibli
Sutradara                     : Hiromasa Yonebayashi
Produser                      : Yoshiaki Nishimura
                  Toshio Suzuki
Penulis                         : Berdasarkan Buku When Marnie Was
There karya Joan G. Robinson
Durasi                           : 103 Menit
Tanggal Rilis                 : 19 Juli 2014
Terasing sejak kecil
akibat latar belakang keluarganya yang kacau membuat Anna Sasaki menjadi
pribadi yang tertutup, bukan lawan bicara yang baik, serta diperparah oleh
penyakit asmanya yang membuat kondisi tubuhnya lemah. Penyakit jangka panjang
atau kronis pada saluran pernapasan yang ditandai dengan peradangan dan
penyempitan saluran napas yang menimbulkan ia sesak dan sulit bernapas. Hal
yang kerap memicunya adalah asap rokok, debu, bulu binatang, stress, dan lain
sebagainya. Dengan riwayat penyakitnya tersebut membuat Anna seringkali
menyalahkan dirinya sendiri atas kondisi yang dideritanya. Kebenciannya itu
makin menjadi-jadi ketika ia menemukan surat kesepakatan antara Yoriko Sasaki,
Ibu angkatnya dan pemerintah perihal pengadopsian anak. Yoriko akan mendapatkan
subsidi dana jika ia mau mengadopsi Anna. Hal itu membuat Anna berpikir bahwa
Yoriko sebetulnya tidak mencintainya, melainkan hanya karena ingin mendapatkan
uang saja. Kejadian itu membuat Anna muak orang-orang di sekelilingnya.
Yoriko bercerita
bahwa ia selalu khawatir dengan kondisi Anna yang tidak pernah bercerita
tentang kesehariannya di sekolah yang sekaligus diwaktu yang sama mengikuti
anjuran dokter agar memindahkan Anna ke tempat yang bisa membuat sirkulasi
pernapasan Anna membaik. Anna terjatuh ketika sedang menggambar di taman
bermain sekitar sekolah.
Mereka adalah Kiyomasa
dan Setsu Oiwa, kerabat dari Yoriko, sepasang suami istri yang merawat Anna
selama di Kushiro, sebuah pedesaan dekat pantai. Sesampainya di rumah keluarga
Oiwa, lewat balasan surat Anna kepada Bibi (panggilan Anna untuk Ibu
angkatnya), ia menyukai tempat tinggal barunya itu. Anna bergegas mendatangi
kotak surat dan kedapatan bertemu dengan Nobuko Kadoya bersama Ibunya yang kebetulan
Nobuko juga ingin mengirim surat. Secepat mungkin Anna berusaha menghindar.
Dengan terburu-buru, Anna terjatuh ketika menuruni anak tangga yang membuatnya
melihat rumah besar di seberang tepi rawa.
Perjumpaan dengan
Marnie

Setelah beberapa hari
Anna tinggal di desa dan semenjak ia melihat rumah besar itu di dalam mimpi,
Anna bertemu dengan gadis kecil seumurannya berambut pirang yang mendiami rumah
besar di sebrang tepi rawa. Mimpi tersebut menjadi jembatan penghubung
bagaimana Anna bisa bertemu dengan sosok gadis misterius bernama Marnie, yang
setelah pada kunjungan pertama ke rumah besar tersebut, Anna hanya melihat
rumah tua yang kosong dan tidak berpenghuni.
Singkat cerita,
setiap air pasang pada sore hari, Anna seringkali bermain bersama Marnie, gadis
berambut pirang yang misterius itu. Mereka satu sama lain membuat kesepakatan
bahwa pertemanannya adalah sebuah rahasia yang harus dijaga. Perjumpaan Anna
dan Marnie adalah titik tolak bagaimana kondisi carut marut Anna selama di
Sapporo hilang begitu saja. Perasaan Anna menjadi terbuka, ia tidak merasa
takut, cemas, atau curiga terhadap Marnie. Ada semacam ikatan emosional yang
mendalam untuk kedua gadis tersebut.
Dalam
kesehariannya, mereka berbagi cerita, saling menghibur, dan tentunya membuat
Anna ataupun Marnie mempunyai teman yang bisa “membebaskan” mereka dari apapun
yang berkaitan dengan orang di sekitarnya. Keduanya sama-sama iri terhadap
kehidupannya masing-masing dan mempunyai kemiripan: butuh mendapat banyak kasih
sayang dari orangtua.
Kaburnya Makna Cinta

Marnie tumbuh tanpa
perlakuan kasih sayang orang tuanya, begitupun Anna yang tidak bisa memaafkan
kematian kedua orangtuanya sehingga ia merasa sendirian. Mereka masing-masing
mengutarakan kecemburuannya: Anna menginginkan nasib beruntung yang ada pada
Marnie, tatkala Marnie menceritakan bahwa ia pernah membawa jamur sebanyak tiga
tas penuh kepada Ibunya; Marnie menginginkan ada di posisi Anna: anak angkat
yang tidak mempunyai saudara, yang bisa dipastikan orang tua angkatnya akan
menyayangi anak angkatnya tersebut.
Permasalahan
yang sering kali ditemui pada tiap-tiap pasangan adalah mendefinisikan cinta
hanya sebagai objek pemuas nafsu belaka dan juga sebagai pemenuhan kebutuhan
materil. Sebuah keniscayaan bahwa cinta adalah aspek dasar di mana manusia
menanam sebuah kebaikan bagi dirinya sendiri. Dari cinta terhadap Tuhan sampai
cinta terhadap kematian, semua mempunyai ruang istimewa tersendiri di tiap-tiap
kepala anak manusia. Lalu jika orientasi cinta seperti itu, apakah berarti cinta
merupakan sebuah tindakan yang mengandung dosa?
Bergesernya Peran
Orangtua

Dalam penuturan Hisako,
teman kecil Marnie, Marnie diasuh oleh seorang nenek tua keras kepala dan dua
pembantu yang sama-sama mempunyai sifat jahil padanya. Orang tua daripada Marnie
menitipkannya lantaran mereka sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Semasa
kecil, ketika di rumah, Marnie hanya merindukan kedua orang tuanya pulang,
karena pada saat kepulangan orang tuanya, mereka mengadakan pesta yang membuat
Marnie bisa berdansa menggunakan gaun yang indah dan terbebas dari nenek tua
dan juga kedua pembantunya itu. Walau pada jalannya pesta ia diabaikan oleh
kedua orangtuanya. Pada akhirnya kehancuran keluarga Marnie tidak bisa
dihindari lantaran hubungan tidak sehat antara orang tua dan anak.
Dalam kondisi
seperti itu, hanya Kazuhiko-lah, teman kecil Marnie yang setia menemaninya,
sampai suatu ketika mereka berdua memutuskan untuk pindah ke Sapporo dan
melangsungkan pernikahan. Dua tahun setelah pernikahannya, Emily lahir, anak dari
Marnie dan Kazuhiko. Beberapa tahun kemudian Kazuhiko meninggal, dan Marnie
memutuskan untuk mengirim Emily ke asrama sebagai sarana pendidikan. Di umur 13
tahun, Emily yang tidak mendapatkan kasih sayang dari orang tuanya langsung dan
juga masih marah kepada Marnie lantaran mengirimkannya ke asrama menjadi
pribadi yang berbeda: egois dan susah diatur. Beranjak dewasa, Emily memutuskan
untuk meninggalkan rumah serta Marnie dalam keadaan mengandung anak dan
menikahi seorang pria. Beberapa tahun berikutnya, Marnie mendapat kabar bahwa
Emily dan suaminya meninggal karena kecelakan. Belajar dari masa lalu, Marnie
berniat untuk tidak membuat cucunya ini sendirian dan merasa kesepian.

Ada semacam
“aturan” yang membentuk pola pikir masyarakat tentang bagaimana wajah
sesungguhnya kemakmuran. Dalam kacamata masyarakat, bekerja untuk upah adalah jalan
untuk mendapatkan uang dan uang adalah benda yang mampu membuat kita menuju
pada jalan kemakmuran. Tanpa disadari banyak dari orang tua terjebak dengan
“aturan” tersebut sehingga menimbulkan kesenjangan hubungan antara orang tua
dan anak.

Salah dua dampak
yang dialami dari kurangnya kasih sayang orang tua ke anak adalah: pertama,
merasa kesepian dan berpikir bahwa dirinya tidaklah penting untuk orang tuanya,
kedua tidak bisa mengontrol emosinya sendiri.
Bukti Kuat Sosok
Perempuan

Sepanjang Film When
Marnie Was There
, Hiromasa Yonebayashi memberikan porsi banyak kepada
karakter perempuan sebagai penggerak cerita. Mulai dari Yoriko Sasaki (Ibu
angkat Anna), Ibu Nobuko Kadoya, Marnie, Anna, dan Bibi Oiwa.

Adegan di mana
Yoriko (Ibu angkat Anna) dengan susah payah berusaha memahami pribadi Anna yang
tanpa ekspresi sekaligus membesarkannya dengan sepenuh hati. Perihal kontraknya
dengan pemerintah itu bukan alasan mengapa Yoriko merawat Anna yang yatim
piatu. Di samping Yoriko mencoba memahami sifat anak angkatnya, ia juga
khawatir ketika Anna pingsan dan bercerita kepada dokter bahwa dia dan juga
suaminya yang sedang di luar kota patut disalahkan atas kepribadian Anna yang
tertutup. Hanya foto pigura saja yang menampakan wujud dari suami Yoriko.
Lanjut ke Ibu Nobuko: Nobuko adalah gadis yang berusia satu tahun di atas
Marnie, ia pernah bertemu pada Festival Tanabata. Pada bagian awal film, ketika
Anna mengirim surat, sifat kepedulian Ibu Nobuko terlihat jelas: ia
menyemangati anaknya yang berposisi sebagai ketua kelas di sekolahnya.
Merupakan sebuah hak bagi anak untuk mendapatkan dukungan moril dari orang tuanya.
Tidak ada kejelasan asal-usul suami atau Ayah dari Nobuko. Lalu Marnie: ia
mempunyai Kazuhiko sampai kurang lebih tiga atau empat tahun pernikahannya.
Setelah kematian Kazuhiko ia menjanda sampai tua. Ia menanggung rasa bersalah
terhadap Emily, anaknya, lalu mendengar kematian Emily yang bersamaan dengan
kondisi di mana ia harus merawat cucu atau anak dari Emily, di samping
penyesalannya dan memori-memori masa lalu, Marnie melewati hari-hari itu dengan
tabah dan mempunyai tekad bahwa cucu yang sedang diasuhnya ini tidak boleh
kesepian. Anna, walaupun dalam film hanya ditampakan masa kanak-kanaknya,
penonton dan pembaca sangat diperbolehkan memiliki asumsi bahwa Anna bisa saja
menikah suatu hari nanti. Namun yang jadi sorotan adalah bagaimana Anna,
seorang gadis kecil menanggung beban besar sendirian; dengan penyakit asma-nya,
dengan ketidakmampuannya serta mengacaukan proses komunikasi dengan orang lain
karena tidak mampu mengontrol emosi; dan juga ketika ia melihat dengan kepala
matanya sendiri bagaimana isi surat perjanjian antara Ibu angkatnya dan juga
pemerintah perihal subsidi dana sebagai imbalan pengadopsiannya. Ia menanggung
itu semua tanpa bantuan laki-laki (Ayah angkatnya). Terakhir ada Bibi Oiwa. Ia
yang mengenalkan sekaligus menuntun Anna dalam proses adaptasi di Desa Kushiro.
Selain itu keluarga Oiwa adalah salah satu masyarakat yang mengorganisir
dirinya sendiri dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya dan tidak bergantung
pada uang. Paman Oiwa yang bekerja sebagai pengrajin kayu dan Bibi Oiwa yang
bekerja sebagai petani sayuran.
Pandangan yang
terus melekat adalah bahwa perempuan adalah mahluk yang lemah. Umumnya kasus
yang terjadi di Indonesia memandang perempuan sebagai klasifikasi nomor dua
setelah laki-laki, yang membuat perempuan seakan-akan fungsi hidupnya hanya
pada urusan domestik saja: kasur, sumur, dan dapur. Sialnya, dalam urusan
domestik, perempuan juga tidak memiliki kendali penuh. Peran relasi kuasa yang
terlihat tentang siapa yang boleh mengatur dan siapa yang tidak boleh
menjadikan posisi perempuan menjadi termarjinalkan. Karakter-karakter yang
menjadi sorotan, entah perannya kuat atau lemah, seperti mengirimkan pesan yang
bertuliskan: Perempuan tidak butuh pertolongan laki-laki. Perempuan sanggup
untuk berdiri di atas kaki sendiri. Wacana ini yang coba diusung oleh Hiromasa
Yonebayashi sebagai kritik, setidaknya terlihat jelas di tiap-tiap adegan yang
berada dalam film When Marnie Was There.
Ghibli tetap pada lajunya: banyak unsur fantasi dan selalu
mempunyai porsi dengan unsur kritik di dalamnya. Dalam When Marnie Was There,
terdapat sebuah tamparan bagi para orang tua dan calon orang tua, yaitu
bagaimana ketersediaan mereka memberikan afeksi pada anak-anaknya. Satu hal
yang harus dipahami: anak tidak meminta mereka dilahirkan. Terkutuklah kau
orang tua dengan kesepakatan tai kucing dua belah pihak ingin membuat anak
manusia tanpa tau apa yang akan ia berikan selain menyia-nyiakan atau
sehina-hinanya menjadikan anaknya sumber investasi masa depan.

Penulis: Restutama Ramadhan
Editor: Della

6 thoughts on “[ULASAN FILM] When Marnie Was There: Memaknai Arti Cinta dan Kasih Sayang

  1. Lmao, review dungu macam apa ini?

    Fokus dari konflik di film ini adalah bagaimana Anna menghadapi rasa percaya dirinya yang rendah dan introversinya dan bagaimana Marnie sebagai sosok membantu Anna untuk menghadapi konflik internalnya dengan cara berdamai dengan dirinya sendiri. Ini film yang ditujukan untuk mereka-mereka yang terkucilkan oleh masyarakat dan komunitas tempat mereka berada, khususnya untuk anak-anak yang dikucilkan oleh kawan-kawannya.

    Film ini jadi kayak semacam ajakan untuk mereka-mereka yang terkucilkan ini untuk berdamai dengan diri mereka sendiri dan agar mereka bisa menyadari kalau alasan mereka terkucilkan itu bukanlah salah mereka.

    Kenapa kalian malah ngegeser seenak jidatnya esensi dari film ini pake politik identitas dungu kalian? lmao

  2. Justru review ini memberi pandangan lain yang lebih dalam dan menurutku sangat bagus. Inilah keseruan film studio ghibli, selalu punya sesuatu yang lebih dalam, semacam pesan pesan tersembunyi dan hampir disemua filmnya seperti itu. Penonton bebas mengartikan dan menafsirkan setiap filmnya. Tentu secara superfisial pendapatmu benar, tapi pendapat penulis juga tidak salah. Tidak ada yang benar dan salah dalam hal ini. Anw, have a good day!

  3. Di akhir dari ulasan tertulis nama penulis dan editor, tapi bukan itu yang ingin disampaikan. Ulasan dari awal hingga akhir sangat membuatku lebih paham alur dan makna dari film “When Marnie Was There”, karena seringkali audiens bingung untuk memahaminya dengan pendekatan bahasa, karena lebih mudah dengan pendekatan rasa/perasaan. Diatas dideskripsikan bahwa banyak hal yang harus kita pahami dari arti “Kasih Sayang” dan “Cinta” tapi mereka berdua itu luas sekali maknanya dan setiap luas itu punya masing masing arti yang mendalam, hal yang paling aku suka dari penulis adalah sadar akan pesan pesan yang disampaikan secara tersembunyi seperti “anak tidak meminta mereka dilahirkan” adalah satu pesan yang sangat dalam yang mungkin berlangsung selama-lamanya, terutama mereka yang dalam keadaan tidak normal (brokenhome). Di sisi lain penggambaran pendekatan makna cinta yang diceritakan pada film yang diartikan seperti “cinta sekedar pemuas nafsu dan kebutuhan materil” lalu bertanya kembali “apakah cinta merupakan sebuah tindakan yang mengandung dosa?” adalah hal yang juga menarik untuk dideskripsikan, sebab dalam filsafat yang aku percaya semua tindakan kita mengandung dosa, tapi karena suatu perbuatan memiliki dosa yang bisa dikatakan bernilai sangat kecil maka dosa itu bisa diabaikan, artinya perbuatan baik kita juga mengandung dosa yang mana dosa itu bisa berpindah sebagai feedback sistem (kajian ini lebih kompleks jadi cukup disini intinya). Studio Ghibli memang tidak pernah membuat audiens tidak menangis dan terharu, selalu tampil dengan porsi yang realistis dan kritis, karya indah yang megah bagi mereka yang mau menemukan makna tersembunyinya. Terima kasih sudah mereview film yang baru saja aku tonton, kata-kata dan narasinya di luar dugaan, karena aku suka dengan bahasa yang seperti ini, kedepan mohon ulasannya kembali untuk film Jepang yang lain

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top