[OPINI] Resentralisasi Agama dan Kekerasan Identitas dalam Perspektif Demokrasi Radikal

Ilustrasi: LPM Hayamwuruk

Oleh: KrisnaldoTriguswinri (Mahasiswa
Magister Administrasi Publik Universitas Diponegoro
)

Desentralisasi
otonomi daerah dapat didefinisikan sebagai hak, wewenang, serta kewajiban yang
didistribusikan kepada pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus secara
mandiri apa-apa yang menjadi kepentingan masyarakat lokal sesuai dengan
perintah perundang-undangan. Dalam desentralisasi, relasi negara dan masyarakat
(state-society) memiliki pokok esensial yang harus dimaknai sebagai
komunikasi dua arah antar dua aktor tersebut dalam upaya menghadirkan pelayanan
publik yang lebih baik. Berbeda dengan Orde Baru yang, misalnya, cenderung
menggunakan paradigma structuralapproach (daerah betingkat) yang justru
menafikan suara masyarakat[1].
Reformasi mengandaikan terjadinya demokratisasi lokal agar supaya aspirasi
masyarakat menjadi faktor eksternal dalam proses administrasi dan perumusan
kebijakan publik. Oleh karenanya, masyarakat memiliki hak untuk mengajukan
kepentingannya sebagai warga lokal, tidak sekadar kepentingan ekonomi-politik,
tetapi juga identitas sosial mereka untuk kemudian diakomodir oleh pemerintah.

Dalam Undang-UndangNo.
32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, wewenang untuk melakukan pengelolaan
otonom terhadap kebijakan administrasi agama dinafikan oleh pemerintah pusat.
Bahwa pemerintah daerah tidak berhak memberikan pengakuan terhadap sebuah agama
atau kepercayaan kepada masyarakat lokal. Pemerintah mengedarkan apologi bahwa hukum di Indonesia hanya melindungi kebebasan beragama
khusus untuk enam agama yang diakui secara administratif oleh negara, yaitu,
Islam,Katolik,Kristen,Buddha,Hindu,
dan 
Konghucu[2]. Padahal dalam tradisi
antropologi kepercayaan spiritual masyarakat lokal, Indonesia memiliki 187
aliran kepercayaan[3]
dengan jumlah tak resmi penghayat kepercayaannya sebanyak 20 juta orang[4]. Oleh karena itu, agama kepercayaan yang dianut oleh
warga lokal di banyak daerah di Indonesia bias dalam kompartemen legislasi dan
praktik birokrasi. Sehingga konsekuensi logis yang berimplikasi pada mereka
dengan agama kepercayaan adalah pengucilan hak-hak dasar sebagai warganegara,
ketidaksetaraan di muka hukum dan pemerintah, diskriminasi pelayanan publik,
pembatasan kebebasan beribadah dan bertradisi, tindak rasisme, serta bentuk
intoleransi dalam masyarakat,



Tidak
terdaftarnya mereka secara administrasi kependudukan membuat warga dengan
identitas keagamaan tidak diakui tersebut kesulitan untuk mendapatkan
pencatatan perkawinan, kelahiran, dan kematian. Selain itu, mereka menjadi
kesulitan untuk mengakses pelayanan pendidikan sehingga tidak mendapatkan
layanan pengajaran agama di sekolah atau universitas. Segera setelah 2006, para
penganut agama atau kepercayaan minoritas tersebut mendapatkan preseden
administrasi dalam bentuk Kartu Tanda Penduduk dengan kolom agama yang tidak diisi.
Meski memiliki KTP, akses mereka terhadap sesuatu tetap menjadi sulit. Di era
digital hari ini, sistem pelayanan publik yang serba bysystem dengan
komputerisasi tidak dapat mengakomodasi kepentingan mereka dikarenakan kolom
agama menjadi wajib untuk diisi dalam setiap formatnya.
Jaminan kebebasan hak-hak dasar warganegara ditegaskan di
dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia [5]dan
Pasal 18 Konvensi Hak Sipil dan Politik yang telah disahkan menjadi hukum yang
berlaku secara lokal[6].
selain itu, UUD 1945 justru mengatur di pasal 28E (1) dan (2) dan Pasal 29 (2)
mengenai jaminan bagi setiap orang untuk memeluk agama atau kepercayaan, serta
beribadah menurut agama atau kepercayaannya masing-masing.[7].
Oleh karenanya, terjadi dikotomi antara sentralisasi agama dengan undang-undang
lainnya. Dan bila paradigma desentralisasi itu tumbuh secara bottomupdengan
konsepsi birokrasi deliberatif, maka seharusnya ia bisa memberi responsibilitas
dan akuntabilitas kepada warga lokal sebagai objek dari bentuk pelayanan prima
pasca reformasi birokrasi.

Demokrasi Radikal
Dengan atau tanpa pengakuan legal-administratif birokrasi
terhadap mereka yang tersisihkan akibat “illegal”-nya kepercayaan warga lokal
sebagai penganut agama minoritas di Indonesia, negara yang demokratis tetap
harus menghormati dignitas dari keputusan mereka yang minor terhadap pilihan
keyakinannya kepada agama. Dalam demokrasi pluralis, negara seharusnya bisa
mengenali seluruh jenis pengalam otentik dari warganegara; perspektif
ekonomi-politik, orientasi seksual, keyakinan spiritual, dll. Dengan begitu
pemerintah tidak akan bersikap diskriminatif, opresif, rasistik, serta bisa
bersikap adil terhadap mereka yang berbeda sebagai subjek yang sama sebagai
warganegara. Kendati mereka tidak terdaftar secara demografi akibat keyakinannya,
tetapi demokrasi harus mendaftarnya sebagai bagian dari kewargaan yang setara.

Dalam
teori demokrasi-radikal, filsuf dan intelektual post-modernisme Laclau[8]
dan Mouffe[9]
mengajukan satu diskursus-akademik menarik yang menjadi alternatif atraktif
untuk keluar dari semacam penyempitan ruang demokrasi-liberal yang dalam praktiknya
bertransformasi menjadi demokrasi illiberal; politik identitas, tereliminirnya
partisipasi warga negara dalam aspek sosial-ekonomi-politik,
intoleransi-diskriminatif, rasisme, ketidakadilan struktural, kemiskinan,
oligarki politik dan bisnis, serta hilangnya ide solidaritas dan kesetaraan
antar manusia.  Laclau dan Mouffe
mengandaikan bahwa demokrasi haruslah pluralis
dalam artian pluralitas dari identitas-identitas yang berbeda tidaklah
transenden dan tidak didasarkan pada dasar positifis apapun (
Laclau,
2005). Demokrasi radikal dapat diinterpretasikan
sebagaimana dinyatakan Laclau dan Mouffe sebagai perjuangan untuk meraih
otonomisasi maksimum bagi ruang-ruang yang berbasiskan logika
kesamaan-kesetaraan yang umum (
Mouffe, 2000).

Bila
demokrasi radikal didefinisikan sebagai pluralitas dari identitas-identitas
yang beragam (differentidentity), maka pengarusutamaan identitas yang
terlegitimasi secara administratif haruslah mampu mengakomodasi dan secara
fleksibel melakukan reformasi administrasi untuk melakukan pelembagaan
keragamaan identitas sebagai bagian dari pertumbuhan demokrasi yang radikal.
Demokrasi radikal adalah bentuk demokrasi paling adaptif terhadap pengalaman
warga negara. Dengan kata lain, mereka dengan agama kepercayaan minoritas bisa
hidup di dalamnya tanpa adanya diskriminasi hukum, administrasi, dan birokrasi.
Atau dalam perspektif Laclau diartikulasi sebagai;

di mana pluralisme dalam demokrasi, dan perjuangan
untuk kebebasan dan persamaan
(freedomandequality) yang dihasilkan, haruslah
diperdalam dan diperluas ke seluruh wilayah kehidupan masyarakat”
(
Laclau,
1996).

Dalam satu buku paling populer dan menjadi rujukan
pembaharuan demokrasi di seluruh dunia, HegemonyStrategySocialist(Laclau
dan Mouffe, 2001), memberi prinsip pokok bahwa dibutuhkan metode untuk
memproduksi chainofequaivalence terhadap kelompok atau kolektif
minoritas dalam rangka mendobrak segala jenis subordinasi. Perjuangan mendobrak
ketidakadilan terhadap mereka yang terpinggirkan serupa penganut agama
kepercayaan di Indonesia membutuhkan dukungan fisik dan moral untuk mulai
mengkampanyekan proyek politik keagamaan mereka agar supaya mendapatkan
pengakuan secara administratif baik oleh pemerintah daerah maupun pemerintah
pusat. Perjuangan kolektif tersebut diberlangsungkan dengan dua harapan;
redistribusi (redistribution) dan pengakuan (recognition)  untuk menghasilkan demokrasi yang plural.

Bagi Žižek, masyarakat demokratis
terdiri dari warga-warga yang abstrak. Demokrasi tidak mengenal individu
konkret yang historis, berdarah, dan berdaging. Oleh karena itu, di hadapan
sistem pemerintahan demokrasi, menurut Žižek, setiap orang itu setara. Akan
tetapi, realitasnya, konsep tersebut menjadi tidak berguna karena pandangan
referensi tunggal yang makin mengakar kuat (Zizek, 1989). Penegasanequalitydan
kebebasan pada identitas-identitas politik menjadi penanda yang berbeda dengan
konsepsi liberal yang mereduksiequalityhanya pada persoalan hak
individu. Wacana Agonistik menjadi penjelas yang berciri posisi individualistik
yang manaequalitytidak direduksi hanya pada hak yang menjadi milik
personal melainkan menempatkanequalitysebagai dasar bagi solidaritas
antara kelompok-kelompok atau identitas kolektif yang jamak (Mouffe, 1992).
Perjuangan kolektif
sebagai sesama warga lokal yang mengalami ketimpangan kelas harus dimasifkan
sebagai proponen utama dari perjuangan keadilan demi diorganisirnya
instutusionlisme baru yang mampu mengakomodasi kepentingan mereka dengan agama
kepercayaan minoritas. Selain itu, cara ini diajukan sebagai upaya untuk
mendapatkan redistribusi dan pengakuan dari negara.

Undang-Undang
sentralisasi agama bertentangan dengan beberapa undang-undang lainnya. Tidak
hanya terhadap kebebasan menentukan keyakinan sendiri, tetapi juga bertentangan
dengan hak asasi manusia dan Undang-Undang Dasar 1945. Selain itu, sentralisasi
terhadap agama membuat normativitas otonomi daerah mengalami ambivalensi
internalnya sendiri. Oleh karenanya, harus dimungkinkan satu tindak evaluasi
fundamental terhadap pengaturan agama lokal oleh pemerintah daerah. Efek dari
tidak didesentralisasikannya agama kepada daerah adalah kekerasan yang
berakibat pada penderitaan panjang warga lokal dengan agama kepercayaan
minoritas. Warga lokal dengan agama kepercayaan menjadi tersingkir dalam
kompartemen pengaturan formil birokrasi. Itu adalah bentuk ketidakadilan paling
konkret dari negara terhadap mereka yang berbeda.
Diskriminasi
terhadap mereka yang stateless hanya karena tidak terdaftar secara
administrasi negara berakibat pada pemburukan sistem demokrasi Indonesia. Itu
akan berakibat pada stabilitas ekonomi dan politik. Sebab memburuknya demokrasi
akibat kekerasan dan rasisme terhadap warga negara yang minor membuat
internasional memberi catatan buruk pada demokrasi Indonesia. Oleh karena itu,
demokrasi pluralis harus menjadi satu-satunya parameter diproduksinya kebijakan
dan menjadi tata bahasa dalam pergaulan antar warga negara yang sama dan setara
di depan hukum dan pelayanan publik. Dengan begitu, warga negara dan birokrasi
pemerintah akan mampu menghargai perbedaan dan pengalaman otentik dari setiap
kepentingan warga lokal.
Penutup
Etnosentrisme dan primordialisme warga
lokal yang menganut keyakinan animistik, komunal, dan tak terhubung satu sama
lain, bisa berakibat pada terjadinya socialunrest dari akumulasi rasa
ketidakadilan yang mereka derita akibat diskriminasi terhadap direnggutnya hak
kebebasan mereka untuk melakukan peribadatan spiritual dan kehendak untuk
mengekspresikan secara bebas ekspresi tradisi keagamaan mereka kepada masyarakat
luas. Bila kristalisasi itu memecah, dan bila rasa ketidakadilan itu
berekskalasi besar pada kemarahan, itu justru menjadi berbahaya dan akan
membahayakan persatuan dan kesatuan nasional. Maka, Jakarta harus lebih peka
terhadap pengalaman otentik dari kepercayaan warga lokal dan mulai mempraktikan
suatu bentuk demokrasi yang radikal.

Sehingga warga lokal dengan agama kepercayaan
mendapatkan hak-hak dasar sebagai warganegara. Dijauhkan dari tindak
diskriminasi pelayanan oleh lembaga birokrasi, dibebaskan dari rasisme berbasis
etnis minoritas, menjadi warga yang setara dengan kewargaan yang lain, dan
menjadi satu kemungkinan untuk mengobati rasa penderitaan yang sejauh dan
selama ini beririsan dengan aktivitas sosial mereka sebagai warga yang
tersingkirkan. Dengan kata lain, kita akan bersama-sama melangsungkan kehidupan
yang teduh dan harmonis. Tanpa kekerasan dan penghinaan. Hanya solidaritas dan
kesetaraan terhadap  sesama warganegara.

[1] I Wayan Arthanaya, 2011, Otonomi dalam Penyelenggaraan Pemerintahan  Daerah, Kertha Wicaksana, Volume 17, Nomor 2, Juli, h.178-186.
[2] Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan http://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_2006_23.pdf

[4] Marshall, Paul (2018). “The Ambiguities of Religious Freedom in
Indonesia”
. The Review of
Faith & International Affairs. 16 (1): 85–96

[5] https://www.komnasham.go.id/files/1475231474-uu-nomor-39-tahun-1999-tentang-%24H9FVDS.pdf

[8] Ernesto Laclaua adalah profesor di bidang political theory sekaligus direktur pada Centre for Theoretical Studies in the Humanities and Social Science di University of Essex, Inggris 
[9] Chantal Mouffeadalah professor di
bidang political theory pada Centre for Studies in
Democracy, University of Westminster, Inggris.


Daftar Pustaka
Laclau,
Ernesto. 2005. On PopulistReason, London: Verso
Laclau,
Ernesto. 1996. Emancipation(s), London; Verso
Laclau, Ernesto and Chantal Mouffe. Hegemony and Socialist Strategs:Towards a Radical Democratic Politics. London: Verso
Mouffe,
Chantal. 2000. The DemocraticParadox, London;
Verso 
Mouffe,
Chantal. 2005. On The Political, London:
Routledge

Žižek, Slavoj. 1089. The
Sublime Object of Ideology
, London: Verso

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top