Foto: Diskusi Terbuka #PapuanLivesMatter: Rasisme Hukum di Papua |
Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) menggelar diskusi terbuka secara daring melalui siaran langsung youtube pada hari Sabtu, 07 Juni 2020 dengan tagar #PapuanLivesMatter: Rasime Hukum di Papua.
Diskusi tersebut dimoderatori oleh Fajar Adi Nugroho, ketua BEM UI 2020 dan menghadirkan tiga orang pembicara: Veronica Koman selaku Pengacara HAM, seorang mantan tahanan politik (tapol) Papua dan ketua perkumpulan pengacara HAM Papua, Gustaf Kawer.
Diskusi daring yang disiarkan melalui youtube tersebut telah disaksikan oleh lebih dari seribu pengguna yang mana dalam diskusi dipaparkan tentang bagaimana cara hukum dalam memperlakukan orang-orang Papua yang sampai saat ini dinilai masih menimbulkan rasisme.
Dalam diskusi yang digelar pada hari Sabtu malam itu telah dipaparkan bahwa kasus rasisme hukum bagi masyarakat Papua telah berlangsung selama puluhan tahun hingga saat ini. Gustaf Kawer dan Sayang Mandabayan memaparkan latar belakang rasisme terjadi untuk masyarakat Papua.
Pria yang akrab disapa Bang Gustaf itu mengungkapkan perlakuan rasis telah terjadi semenjak masa transisi dulu atau yang dikenal oleh masyarakat Indonesia sebagai masa integrasi. Karenanya masyarakat Papua menyebutnya sebagai masa aneksasi alih-alih integrasi.
“Nah begitu Indonesia masuk, dokumen-dokumen berkaitan dengan Papua itu dihanguskan kemudian orang Papua kehilangan sejarahnya, kehilangan identitas dan kehilangan masa lalu,” ujar beliau.
Lebih lanjut, Bang Gustaf mengatakan bahwa semenjak terjadinya peristiwa yang kita kenal sebagai Pepera itu, masyarakat Papua sampai saat ini masih mendapatkan perlakuan rasis. Terutama masalah perlindungan hukum, kasus-kasus rasisme terkait etnis Papua menurutnya tak pernah diproses, kalaupun ada akhirnya hanya berhenti di tengah jalan. Beda ceritanya kalau masyarakat Papua yang terlibat kasus, seperti yang terjadi di asrama mahasiswa Surabaya yang justru mereka ditangkap dan dibawa ke markas polisi.
Lanjut Bang Gustaf, rasisme di Papua yang terus terjadi menciptakan aksi 19 Agustus dan 20 Agustus pada tahun 2019 lalu untuk menolak rasisme yang dikoordinir oleh Ferry Kombo beserta BEM se-Jayapura. Kemudian disusul aksi jilid dua pada tanggal 29 Agustus yang mana oleh orang-orang dinilai anarkis, padahal yang melakukan tindakan anarkis tersebut bukan dari pihak BEM dan kelompok mahasiswa. Hal ini juga diperparah dengan ditangkapnya Ferry Kombo beserta anggota BEM lain dengan tuduhan makar.
“Jadi Ferry dan rekan-rekan yang lain jadi kita hitung ada tujuh orang ditangkap dengan tuduhan makar dan prosesnya itu tanpa proses hukum yang saya katakan tadi kualivaid. Jadi ditangkap tanpa surat penangkapan, penahanan,” ungkap Bang Gustaf.
Diskusi tenggang rasa tersebut juga tidak luput memberikan penjelasan mendalam yang telah ramai diperbincangkan perihal isu-isu makar yang beredar, isu-isu itu bukan hanya memperkeruh suasana melainkan juga ikut menciptakan citra buruk bagi masyarakat awam terhadap orang-orang Papua dengan tuduhan makar yang sebenarnya tidak dilakukan.
Hal ini dijelaskan oleh Veronica Koman selaku pengacara HAM yang mengkungkapkan bahwa terdapat empat mahasiswa yang dituntut atas tuduhan makar yang tak masuk akal. Mereka adalah Ferry Kombo dan Alex
Gobay yang dituntut sepuluh tahun penjara, pun Hengky Hilapok dan Irwanus Urobmabin dengan tuntutan lima tahun penjara.
Gobay yang dituntut sepuluh tahun penjara, pun Hengky Hilapok dan Irwanus Urobmabin dengan tuntutan lima tahun penjara.
“Bayangin mereka dituntut lima tahun gara-gara satunya sewa soundsystem sama mobil dan satunya lagi karena jadi korlap keamanan,” ujar Veronica.
Lebih lanjut Veronica Koman mengajak seluruh masyarakat untuk lebih terbuka dalam melihat kebenaran dan menunjukan solidaritasnya bersama agar tuduhan makar terhadap mahasiswa Papua saat ini khususnya dan masyarakat Papua yang selalu tertindas dapat segera terselesaikan dengan baik.
“Kalian kalau masih ragu lihat aja nilainya. Jadi tiap kali kita membela sesuatu itu lihat nilainya bukan orangnya. Jadi yang kita nilai-nilai demokrasi di situ. Itu yang harus kalian bela,” jelasnya.
“Bayangin masa depan Ferry Kombo, Alex Gobay, Hengky Hilapok, dan Irwanus Urobmabin direnggut sama negara kalau kalian tidak bersuara,” lanjut Veronica Koman dalam diskusi tersebut.
Reporter: Ian, Lina
Penulis: Ian
Editor: Airel