Dengarlah Ketika Orang Papua Berbicara

Diskusi daring #Blacklivesmatter dan Papua
Aksi Blacklivesmatter (BLM) akibat dibunuhnya George Floyd oleh aparat di Amerika Serikat mirip dengan pengepungan asrama mahasiswa Papua di Yogyakarta 2016 lalu. Fenomena
tersebut muncul akibat tindakan rasialisme yang terus terjadi dan dibiarkan. “Saya tidak melihat itu
sebagai kerusuhan, tapi Rebellion,“ ujar Veronica Koman  salah satu pembicara dalam diskusi daring
#Blacklivesmatter dan Papua pada Minggu sore (31/05).

Gerakan Blacklivesmatter muncul pertama
kali tahun 2013, ia hadir sebagai bentuk perlawanan dari orang berkulit hitam
atas tindakan rasialisme yang terus terjadi. BLM juga sering dipakai oleh Suku Aborigin di
Australia dan masyarakat adat di Brazil dalam berunjuk rasa kerena merasakan penderitaan yang sama dengan orang berkulit hitam.


Cisco sebagai salah satu pembicara dalam diskusi menjelaskan kalau tindakan
rasialme juga kerap terjadi kepada orang Papua di Indonesia melalui penilaian
negatif di masyarakat. “Kami itu kalau jalan seperti ditempeli label OPM, separatis, pemabuk, perusuh, dan sebagainya,” ujar Sisco salah satu mahasiswa Papua di Jawa.

Pada tahun 2016, Sisco mencontohkan, pernah
terjadi pengepungan yang melibatkan berbagai kalangan dan pihak di Asrama Papua, Yogyakarta ketika ingin
menyelenggarakan aksi damai yang sebenarnya telah dibatalkan. Dilansir dari
Tirto.id  aksi tersebut dibatalkan karena tidak mendapat izin  dari Kasat Intel Polresta Yogyakarta. 


Pengepungan ini dihadiri oleh ratusan personel aparat gabungan Polda Daerah Khusus Yogyakarta (DIY), Korps Brigade Mobil, Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan TNI/Polri
Indonesia, Pemuda Pancasila, Paksi Katon, dan Laskar Jogja.

“Asrama kami dikepung dengan segala macam aparat
dan ormas. Mereka memprovokasi dengan ujaran rasis seperti monyet, pemakan
babi, dan orang utan,“ tambahnya dalam diskusi yang tayang di saluran youtube FRI-WP MEDIA.

Anggota Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Mikael Kudiai,  dalam diskusi juga mengatakan
kalau keterbukaan ruang demokrasi dengan aksi sering kali diarahkan kepada tindakan
kerusuhan oleh aparat dan media yang mengalihkan maksud dari aksi tersebut.

“Yang naik ke media selalu orang papua yang mau
rusuh. Padahal kami mau kasih tau tentang pembunuhan, penangkapan, dan
perampasan tanah adat yang terjadi dan dialami orang papua,” ujarnya.

Senada dengan Mikael, Veronica mengatakan kalau perlakuan
aparat kepada orang Papua itu sering kali tidak proporsional. Jumlah aparat
yang datang ketika orang Papua aksi selalu lebih banyak dari jumlah peserta,
berbeda dengan aksi lainnya.

Veronica juga memberikan beberapa masukan kepada
masyarakat soal apa yang seharusnya dilakukan, seperti:

1. Dengar orang Papua yang
sedang berbicara

2. Tanyalah dan jangan bersikap sok tahu dan mendebat
orang Papua

3. Tidak rasis saja tidak cukup kita juga harus ikut menyuarakannya
4. Edukasi diri sendiri, karena selalu ada dua versi
berita, yakni versi aparat dan versi papua.

“Berbicara tentang Papua tidak berarti langsung
bicara penentuan nasib sendiri.
Ketika kita sudah
melihat pelanggaran yang begitu masifnya, ketika itu pula kita pasti akan
dukung,” katanya.

Reporter:
Zanu Triyono
Penulis: Andrew Sentanu Holland
Editor: Zanu Triyono

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top