[OPINI] Menyoal Tentang Wacana Kelaziman Baru di Undip

Ilustrasi : Raihan
Oleh : Riski (Mahasiswa FIB Angkatan 2019)

  

Sampai
detik ini, sebenarnya saya benar-benar lelah mendengar istilah “new normal”
atau bisa kita sebut “kelaziman baru”. Lelah dengan segala tetek bengeknya dan
bagaimana pemerintah berusaha membangun wacana yang menurut saya terlalu
dipaksakan ini. Wacana menghadapi pandemi
Covid19 yang katanya akan dapat
memulihkan berbagai sektor untuk menyokong kestabilan negara ini.

Kelelahan
yang saya alami begitu nyata. Seperti, tiba-tiba marah akan kondisi ini hingga
pening memikirkan bagaimana nanti ketika semuanya yang harus dipaksakan normal.
Padahal kurva penyebaran Covid19 sendiri belum ada tanda-tanda melandai. Nah,
loh. Gimana ini to, Pak. Saya bingung
sendiri. Syarat penting dari new normal
yang disodorkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) saja belum terpenuhi, lha
kok grusa-grusu semuanya mau
dinormalkan? Seperti yang telah saya baca di Vice.id, ada enam poin penting
yang diberikan WHO, di
antaranya
yang terpenting adalah: wabah dipastikan sepenuhnya terkendali, tersedia sistem
kesehatan secara nasional yang sanggup mendeteksi, mengisolasi, lantas
menangani setiap kasus, melacak peta penularan, hingga memastikan masy
arakat tetap patuh social
distancing
.  
 

Belum
habis saya memikirkan kelaziman baru yang diwacanakan pemerintah—yang menurut
saya lebih untuk memulihkan sektor ekonomi—kabar dari kampus tercinta yang akan
menjalankan kelaziman baru versinya mencuat. Setelah membaca berita di
tribunjateng.com tentang  new normal yang diwacanakan
Undip (Universitas Diponegoro),
saya sedang membayangkan berbagai opsi untuk menjalani perkuliahan nanti.
Seperti yang dijelaskan di sana. Bagaimana perkuliahan daring-luring dapat
diterapkan, hingga sistem ganjil-genap bak nomor plat kendaraan. Tak lupa saya
juga kepikiran tetang bagaimana Orientasi Dipo Muda (ODM) bagi mahasiswa baru
akan diterapkan di awal semester dan tahun ajaran baru tersebut. Oh satu lagi,
kegiatan kemahasiswaan. 
 

Jadi
saya sedang berpikir tentang hal-hal yang penting dulu. Jika kelaziman baru
dari pemerintah sendiri dimulai per Juni dan perkuliahan dimulai sekitar
Agustus, bagaimana kira-kira keadaan kita nantinya? Kalau menurut rangkaian
yang saya pikirkan, kira-kira seperti ini:
Pertama, tentu saja saya mencemaskan bagaimana
protokol yang akan dibuat pemerintah perihal kelaziman baru ini. Bagaimana
langkah yang akan diambil dan edukasi yang benar kepada masyarakat dapat
berjalan efektif. Narasi “berdamai dengan virus corona” yang diusung bagi saya
semacam hal baik yang membingungkan, berkesan terlalu nrimo. Memangnya kita sudah totalitas memerangi corona kok
tiba-tiba mau berdamai? Ini mau berdamai apa gen
catan senjata, ya, Pak?
Kedamaian tidak akan ada tanpa kesepakatan bersama, bukan? Kesepakatan lahir
dari kesadaran bersama juga. Bagaimana cara efektif untuk menumbuhkan kesadaran
dan kewaspadaan terhadap virus corona harus diperhatikan. Bagaimana cara
menekan angka penularan? Ya dengan bekerja sama, semua lapisan harus turun
tangan. Pemerintah harus tegas, bukan malah melontarkan berbagai lelucon yang
sama sekali tak lucu. Ya, gak lucu sama sekali sampai-sampai lelucon seksis
dilontarkan para petinggi negara tersebut—ah, sudahlah mari balik ke Undip
lagi.  
 
Kedua,
mahasiswa yang datang dari berbagai daerah di awal semester nanti. Meskipun ada
tes kesehatan, apakah benar-benar dapat mendeteksi
Covid19? Kebanyakan kasus yang ada
adalah orang tanpa gejala (OTG). Tanpa dilaksanakan tes yang memadai
,  covid mana terdeteksi? Dan bagaimana kita bisa
menjamin OTG tidak menularkan ke orang lain meskipun diterapkan pembatasan
fisik? Wah, sumpah, saya yang overthinking
apa gimana, ya. Banyak sekali teman-teman yang sekarang berada di zona merah
penyebaran virus, domisili saya pun sekarang begitu. Paranoid sekali. Seperti
pertama kali saya ingin pulang kampung dari Semarang. “Ndes, piye nak aku ki ternyata carrier? OTG? Entuk soko dalan pas
perjalanan mulih?”
(Ndes, bagaimana jika ternyata aku ini carrier? OTG? Dapat (virus) di jalan pas
perjalanan pulang?”).  
 

Ketiga,
pelaksanaan kegiatan akademik yang akan berlangsung. Bagaimana sistem yang akan
diusung hingga hal-hal yang akan disiapkan Undip untuk mencegah penularan
Covid19 menjadi perhatian kita semua. Seperti yang dikatakan Wakil Rektor
Bidang Akademik, Prof. Budi Setiyono, tentang penyediaan hand sanitizer
tiap ruangan, alat pendeteksi tubuh, hingga sistem daring-luring berdasarkan
absen ganjil-genap. Penerapan pembatasan fisik pun tidak lupa akan diterapkan.
Saya sendiri belum memiliki bayangan yang pasti mengenai sistem ini. Bayangan
saya tentu saja masih umum sama seperti kalian. Jika sistem daring-luring
ditetapkan dengan berdasarkan nomor absen, saya bisa membayangkan di satu kelas
hanya akan ada separuh dari jumlah mahasiswa yang ada. Dari 40 orang menjadi
20. Lalu kami duduk dengan jarak aman, memakai masker, sebelum masuk diperiksa
suhu badannya? Seperti itu? 

Keempat, untuk ODM dan kegiatan kemahasiswaan
lainnya. Jika menurut saya, tidak mungkin ODM dilaksanakan seperti yang
lalu-lalu. Pembatasan fisik sangat dibutuhkan bahkan ketika kurva penyebaran
melandai sekalipun. Begitu pula dengan kegiatan kemahasiwaan seperti organisasi
dan UKM.  
 

Jika
memang wacana ini akan benar-benar dilaksanakan, semoga kebijakan baik yang
diambil pemerintah maupun Undip adalah yang sebaik-baiknya. Protokol yang jelas
dan edukasi kepada masyarakat perlu digalakkan. Plis, jangan ada lawakan gak
perlu yang harus saya dengar. Saya lagi gak kekurangan bahan lawakan macam yang
dilontarkan para elit tersebut. Semoga nanti pas mulai kuliah semester depan,
saya tidak stress berlebihan seperti saat kuliah daring seperti sekarang
.

Editor : Restutama

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top