Infografis oleh: Naufal |
Februari kemarin, SK Rektor No.149/UN7.P/HK/2020 terbit. Lewat surat sakti tersebut, Uang Kuliah Tunggal (UKT) untuk mahasiswa angkatan baru tahun 2020 di Universitas Diponegoro (Undip) dinaikkan. Bulan selanjutnya, Indonesia mencatat kasus COVID-19 pertamanya, dan kemudian krisis ekonomi mulai melanda yang dipengaruhi oleh kebijakan semuanya-serba-di-rumah.
Keputusan petinggi kampus Undip yang menaikkan UKT bagi mahasiswa baru pun menuai protes dari kalangan mahasiswa. Bulan April dan Mei adalah keriuhan penuh tuntutan mahasiswa yang berseliweran di sosial media. Dan di antara semua itu, muncul sebuah kelompok pergerakan mahasiswa, yang menamakan diri sebagai Aliansi Suara Mahasiswa Undip.
Aliansi yang di dalamnya terhimpun BEM Se-Undip ini kemudian mewakili tuntutan mahasiswa—yang kemudian melebar tidak hanya pada masalah UKT terbaru, tetapi juga sampai pada permasalahan kuliah daring dan mahasiswa akhir—tepat ke depan hidung rektor lewat sebuah audiensi bersama tanggal 23 April 2020.
Selanjutnya, bulan Mei akhirnya menjadi sejarah. Tagar #UndipKokJahatSih nangkring di jajaran trending topic di media sosial Twitter. Sebuah aksi protes daring dari kalangan mahasiswa Undip yang salah-satunya, “Batalkan Kenaikan UKT Mahasiswa Baru”.Protes itu naik dan kemudian tenggelam dan menjelma menjadijejak digital yang sulit dihapus kembali.
***
Aliansi Suara Mahasiswa Undip adalah gerakan mahasiswa Undip dalam menanggapi kebijakan Undip-yang-dengan-baik-hati menaikkan UKT bagi mahasiswa baru, sekaligus menampung tuntutan mahasiswa lainnya akibat pandemi COVID-19. Terbentuk setelah keluarnya SK Rektor No.149/UN7.P/HK/2020, Ketua Bidang Sosial Politik (Kabid Sospol) Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Undip, Andhika Kusuma, mengatakan terbentuknya aliansi bersama ini “sebagai bentuk perjuangan bersama” untuk “melawan kenaikan UKT maba (mahasiswabaru) 2020,” katanya.
Inisiasi pembentukannya, Andhika menjelaskan bahwa “inisiator dari movement ini, ya, bisa dibilang bareng-bareng, karena ini masalah bersama,” jelasnya ketika dihubungi oleh Hayamwuruk pada Rabu(3/6/2020).
Model pergerakan dari Aliansi Suara Mahasiswa Undip sendiri, menurut Andhika, menggunakan metode bottom-up. “Kita mencoba menggunakan gerakan grassroot agar tidak terasa bahwa gerakan ini hanya untuk anak-anak BEM, tapi untuk semua mahasiswa Undip,” ungkapnya.
Soal pembagian tugas, Forum Kesejahteraan Mahasiswa (Forkesma) bertugas menyusun kajian dan Forum Sosial Politik (Forsospol) dalam bagian penaikan isu dan kontenkritik. Kontenyang dimaksud salah satunya, adalah tagar #UndipKokJahatSih kemarin. Selain itu, masih ada bentuk aksi daring lain seperti twibbon dan video-video yang bisa menarik perhatian mahasiswa.
Dalam pergerakan Aliansi Suara Mahasiswa Undip, BEM fakultas berperan mengawal kebijakan rektorat di ranah fakultas, bersama organisasi lainnya seperti Senat Mahasiswa (SM) dan Himpunan Mahasiswa (HM).
Ketua BEM Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), Even Benanda, menjelaskan lebih lanjut bahwa BEM fakultas melakukan “penjaringan aspirasi (mahasiswa) secara langsung sebagai pondasi yang kemudian diadvokasikan (bersama),” ujarnya pada Minggu (7/6/2020).
Perjalanan pergerakan Aliansi Suara Mahasiswa Undip sebagai perwakilan mahasiswa Undip dalam menyampaikan tuntutan, membuat rektorat menerbitkan setumpuk kebijakan-kebijakan. Salah duanya misalnya penyesuaian UKT untuk mahasiswa lama dan kemudahan banding UKT bagi mahasiswa baru angkatan 2020.
Dengan reaksi rekorat lewat kebijakan-kebijakan itu, Andhika mengaku cukup terkesan sebab “ternyata gerakan yang kita lakukan membuat rektorat bisa se-reaksioner itu,” katanya. Tetapi, baginya itu masih belum cukup.
“Itu belum tujuan akhir, apakah sudah cukup? Belum. Kita sedang mengawal juga bentuk kebijakan yang diberikan rektorat dan mengharapkan ada kebijakan lagi yang berpihak ke mahasiswa,” lanjut Andhika.
Namun di tengah gempuran kebijakan dari rektorat itu, pergerakan dari Aliansi Suara Mahasiswa Undip mulai tak tedengar lagi. Ketika ditanya soal redupnya pergerakan aliansi saat ini, Andhika berkilah, “sebenarnya bukan tidak terdengar lagi (pergerakannya), ya, tapi kita memang lagi menyiapkan untuk gelombang selanjutnya,” katanya. Namun, beberapa detik kemudian ia mengakui bahwa memang pergerakan aliansi sempat terlalu lama berhenti.
“Mungkin, kesalahan dari kami juga, ya, yang sedikit terlalu lama berhenti. Akhirnya euforianya pun surutnya terlalu dalam,” akunya.
Mengapa bisa demikian? Andhika dan beberapa ketua BEM Fakultas punya pendapatnya masing-masing soal redupnya pergerakan aliansi.
‘Hanya Milik BEM’
Metode bottom-up yang digunakan Aliansi Suara Mahasiswa Undip, sebagaimana dijelaskan Andhika, untuk menjaring mahasiswa akar-rumput agar kesan elitis tidak tercipta sepertinya tidak berjalan begitu baik. Ketua BEM Fakultas Psikologi (FPsi), Fawwaz Mishbah, mengakuinya.
“Memang perlu diakui jika gerakan (aliansi) kemarin belumberhasil untuk diimplementasikan secara inklusif,” kata Fawwaz saat dihubungi via daring pada Jumat (5/6/2020).
Kesan eksklusifnya gerakan Aliansi Suara Mahasiswa Undip bagi Fawwaz menjadi salah satu faktor yang berpengaruh atas redupnya pergerakan mereka saat ini. Bagi Fawwaz, “gerakan atas nama mahasiswa saat ini dan ke depannya harus mampu menjangkau irisan keresahan mahasiswa di setiap fakultas yang ada di Undip,” terangnya.
“Karena hemat saya, setiap fakultas memiliki dinamika permasalahannya masing-masing yang perlu disatukan dalam payung perjuangan yang sama,” tambahnya.
Agung Raafi, penulis kajian pendidikan Analisis Konstruksi Pembiayaan PTN-BH dan Kelemahan-Kelemahan dalam Sistem BKT dan UKT yang Memunculkan Berbagai Masalah dalam Pondasi Awal Adanya Perguruan Tinggi Negeri (2019), mengkritik gerakan aliansi ini sebagai “bukan aliansi mahasiswa Undip secara utuh”.
“Tapi, itu adalah aliansi suara mahasiswa seluruh BEM di Undip,” tegasnya.
Sejak kemunculannya, menurut Agung, Aliansi Suara Mahasiswa Undip tidak pernah melakukan konsolidasi secara terbuka, tidak pernah membuka diskursus, ataupun wadah dialektika antarmahasiswa Undip secara umum. Akibatnya, gerakan aliansi ini hanya seolah-olah milik BEM.
“Ini catatan paling penting menurutku, karena dari tahun 2013, 2016, 2017, 2018, bahkan 2019 kemarin, kita tidak akan lepas dari (hal) seperti ini,” jelasnya. Baginya BEM tidak akan pernah bisa melampaui batas-batas yang diberikan oleh rektorat.
“Jadi, (ini) bukan sesuatu yang (seharusnya) dikagetkan, tapi sesuatu yang wajar sebetulnya,”tambahnya.
Pemanggilan Ketua BEM
Hal lainnya yang mungkin mempengaruhi, menurut Andhika selaku Kabid Sospol BEM Undip, adalah adanya pemanggilan oleh petinggi ataupun dosen fakultas terhadap ketua BEM. Seperti yang terjadi pada Hilmy, Ketua BEM Undip 2020.
“Bisa jadi itu memang berpengaruh,” katanya.
Andhika menerangkan Hilmy dipanggil oleh dosen dan berkaitan dengan pergerakan di aliansi sebelumnya dan “besar kemungkinan (ada) kabem fakultas juga (yang dipanggil),” katanya. Namun, ia tidak bisa menjelaskan lebih lanjut sebab “aku kurang tahu juga,” soal pemanggilan Hilmy.
*Sampai saat berita ini ditulis, Hilmy masih belum menjawab pesan permintaan wawancara Hayamwuruk untuk mengonfirmasi kebenaran terkait kabar pemanggilan dirinya.
Ketua BEM FPsi, Fawwaz, adalah salah satu yang juga menerima panggilan dari petinggi fakultas. Fawwaz mengaku ia secara langsung dihubungi oleh Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kemahasiswaan Fakultas Psikologi, setelah selesainya audiensi bareng rektorat. Soal pemanggilan dirinya, Fawwaz tidak bisa bercerita lebih jauh karena “beberapa hal yang disampaikan tidak dapat saya sampaikan kepada publik karena bersifat internal.”
Namun, berbeda dengan Andhika, Fawwaz tidak merasa pemanggilan tersebut sebagai salah satu faktor meredupnya gerakan aliansi. “Saya rasa tidak (berpengaruh),” katanya. Hal lain yang berpengaruh baginya terhadap pergerakan aliansi adalah “kondisi yang bersifat teknis.”
Seperti penyaluran dan pengawalan bantuan terhadap mahasiswa Undip, menurutnya, “hampir seluruh BEM Fakultas, termasuk Psikologi sendiri, berfokus untuk melakukan pengawalan kebijakan tersebut,” jelas Fawwaz.
Beda Pandangan Soal Surat Harapan
Surat harapan tebit pada 26 April 2020, merangkum berbagai keresahan mahasiswa Undip soal kuliah daring dan masalah lainnya ke dalam empat poin harapan. Pada publikasinya, ada seluruh tanda tangan ketua BEM dan logo BEM fakultas Se-Undip di dalamnya. Namun sebelumnya, ada kabar ketidaksetujuan dari beberapa ketua BEM dalam aliansi terhadap beberapa poin dalam surat harapan yang berujung pada penolakan mencantumkan tanda tangan dan logo BEM fakultas masing-masing.
Albert Jehoshua, Ketua BEM FISIP 2020, salah satu Ketua BEM Fakultas yang dikabarkan menolak menandatangani dan mencantumkan logo BEM-nya dalam surat harapan, mengklarifikasi kabar tersebut. Baginya, kata yang tepat bukan penolakan tetapi “mempertimbangkan ulang” karena “beberapa dari kami (kabem) sempat mengkritisi beberapa hal.”
Beberapa hal itu menurut Albert adalah, “data yang disuguhkan masih sangat prematur, ditakutkan akan mentah jika dibawa ke rektorat yang notabene berisi para akademisi, decision maker, dan policy maker,” terang Albert.
Selain itu, Albert juga menyebutkan ada beberapa substansi yang dirasa kurang tepat jika digabungkan ke dalam poin-poin harapan ini. “Jika diperhatikan, bahasan umum surat harapan adalah soal kulon (kuliah online), tetapi di poin ke-4 ada bahasan UKT. Tentunya ini dua fokus yang berbeda.” Kemudian masih ada “metode sampling yang sempat dikritisi juga,” jelas Albert lebih lanjut.
BEM lainnya yang dikabarkan serupa adalah BEM FPsi dan BEM FEB. Fawwaz Mishbah selaku ketua BEM FPsi, juga menjelaskan hal yang sama dengan Albert. “Pada prosesnya (penyusunan surat harapan), kami sempat mengajukan syarat sekiranya surat harapan tersebut dapat dibuat lebih komprehensif dan poin antara kulon dengan UKT tidak dalam satu surat harapan yang sama,” jelasnya.
Bagi Fawwaz, pemisahan dua poin antara kulon dan masalah kenaikan UKT bagi mahasiswa baru itu berguna, “Agar kedua permasalahan tersebut memiliki titik fokusnya masing-masing dan dapat terjawab secara optimal melalui kebijakan rektorat.”
Seiya-sekata dengan keduanya, Ketua BEM FEB, Even Benanda pun menjelaskan hal serupa bahwa surat harapan harus “lebih komprehensif dan diperinci.”
Meskipun sempat ada perbedaan pendapat, akhirnya surat harapan dipublikasikan dengan memuat seluruh tanda tangan Ketua BEM Se-Undip dan logo BEM Fakultas masing-masing. Albert mengatakan bahwa perbedaan pendapat tersebut “sudah terkonsolidasikan dengan baik, hingga akhirnya terbit surat (harapan) tersebut dengan logo plus tanda tangan kabem seluruh fakultas.”
“Melihat ada momentum (di) hari pendidikan, kawan-kawan (di aliansi) sepakat memasukkan isu UKT di sana,” terang Albert lebih lanjut.
Bagi ketiganya, perbedaan pendapat ini sudah biasa dalam sebuah forum besar. Seperti yang dikatakan Fawwaz, “Perbedaan pendapat dalam sebuah forum besar adalah hal yang lumrah, hematku. Justru ini yang dapat memperkaya alternatif solusi dari pemecahan masalah yang ada. Dan tentunya tidak diorientasikan untuk menggagalkan gerakan.”
‘Kawal Terus, Sampai Menang’
Terlepas dari segala yang terjadi di dalam Aliansi Suara Mahasiswa Undip, Andhika Kusuma mengatakan bahwa kebijakan-kebijakan reaksioner rektorat Undip pasca-aksi dan tuntutan-tuntutan lain, “cukup menggiurkan.”
“Namun itu (kebijakan-kebijakan rektorat) tidak sepantasnya menjadi akhir tujuan dari pergerakan. Itu sebenarnya adalah awal dan tanda bahwa pergerakan kita tidak sia-sia,” jelasnya.
Sependapat dengan Andhika Kusuma, bagi Agung Raafi, selusin kebijakan rektorat itu tidak akan cukup untuk menyelesaikan masalah. “Karena ‘kan sebetulnya soal SE penyesuaian UKT bagi mahasiswa lama ataupun pengembalian UKT, itu ‘kan syaratnya banyak banget,” katanya.
Belum lagi permasalahan UKT baru bagi mahasiswa angkatan 2020 yang juga masih tetap berlaku. “Ini ‘kan sebenarnya kita diberi ilusi saja sebenarnya (oleh rektorat), gitu.”
“Nih, SE nih, boy,” pungkas Agung.
Dengan masih belum cukupnya solusi rektorat, Aliansi Suara Mahasiswa Undip, rencananya akan mempersiapkan pergerakan selanjutnya, lewat forum terbuka bagi seluruh mahasiswa Undip. Fawwaz dan Evan menyebutkan bahwa forum itu akan dilakukan melalui program kerja (proker) BEM Undip bernama “Titik Temu”.
Andhika Kusuma kemudian mengirimkan saya pesan yang diteruskan dari Hilmy, Ketua BEM Undip, perihal gerakan selanjutnya untuk Aliansi Suara Mahasiswa Undip. Bunyinya “Teman-teman Forkesma sudah berencana membuat kajian dan infografis dari empat poin di surat harapan itu.”
Dari pesan tersebut, Hilmy menyebutkan bahwa akan ada opsi diskusi bersama akademisi dari Kemendikbud, kemudian diskusi bagi mahasiswa Undip untuk ekskalasi UKT.
“Pengembalian UKT mahasiswa tingkat akhir dan kenaikan UKT harus terus (dikawal), sampai menang,” tutup Hilmy.
Yang terbaru, konsolidasi terbuka yang mengundang seluruh unsur mahasiswa Undip, menghasilkan sebuah wadah gerakan yang di dalamnya berisi seluruh mahasiswa Undip tanpa embel-embel lembaga apapun. Hal ini dilakukan untuk mengatasi eksklusifitas dalam gerakan yang biasanya menjadi masalah dalam gerakan pendidikan di Undip beberapa tahun terakhir.
Reporter: Teguh
Penulis: Teguh
Editor: Qanish