Sumber : Instagram @himadepta_undip |
Diskusi online via Zoom bertajuk “Pertaruhan Masa Depan Ekosistem Laut Indonesia Cantrang Kembali Berlaga?” telah dilaksanakan pada hari Sabtu, 27 Juni 2020. Acara tersebut diselenggarakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro (BEM FPIK Undip), Himpunan Mahasiswa Departemen Perikanan Tangkap Universitas Diponegoro (HIMADEPTA Undip), dan juga Kelompok Studi Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Universitas Diponegoro (KSP Undip).
Dimoderatori oleh Dafa Rosa, selaku kepala divisi AksPro Sospol BEM FPIK Undip 2020, diskusi online ini mengundang tiga pembicara:Hamdan Nurul Huda, S.St.Pi, M.Si sebagai Kasubdit alat penangkapan ikan Direktorat Kapal Perikanan dan Alat Penangkapan Ikan, Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (DJPT)-Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), M. Riza Damanik S.T, M.Si., Phd selaku ketua umum kesatuan nelayan tradisional Indonesia, dan dosen departemen perikanan tangkap Undip, Bogi Budi Jayanto S.Pi., M. Si.
Pada diskusi kali ini yang mengangkat persoalan mengenai berita dibukanya kembali penggunaan alat tangkap cantrang, Pak Hamdan Nurul Huda menjelaskan beberapa hal yang sudah dilakukan ialah seperti pembahasan internal di lingkup KKP, penyampaian revisi regulasi kepada Menteri Kelautan dan Perikanan yang mengatur tentang jalur, dan melakukan konsultasi publik yang melibatkan berbagai stakeholder serta difasilitasi oleh Komisi Pemangku Kepentingan dan Konsultasi Publik Kelautan dan Perikanan untuk mencari masukan dan perbaikan regulasi. Di bulan Februari, rancangan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) terkait usaha dan jalur ini dibahas dengan tim penasehat Menteri Kelautan dan Perikanan. Lalu, posisi terakhir rancangan Permen KP ini adalah masih dalam proses harmonisasi di Kementerian Hukum dan HAM.
“Instruksi menteri ini bukan menganulir peraturan-peraturan yang ada, tetapi menugaskan untuk melakukan review terhadap peraturan-peraturan yang sudah ada di dalam list, salah satunya adalah Permen KP Nomor 71 Tahun 2016 tentang Jalur dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan.” ujar beliau.
Kemudian, Pak Riza Adha Damanik selaku ketua umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) mengatakan bahwa apapun keputusan terkait kebijakan kelautan dan perikanan kita, harus berpegang pada fakta jika perikanan merupakan sumber ekonomi, kekuatan pangan, dan aset yang berharga untuk masa depan. Tidak bisa hanya menjadi kepentingan jangka pendek saja. Dalam kaitannya dengan KNTI, maka kunci dari menjaga keberlangsungan sumber daya ikan itu sendiri ada dua hal, pertama memberikan perlindungan terhadap nelayan kecil selama tidak bertentangan dengan hukum positif di Indonesia dan keberterimaan akan peraturan tersebut nantinya tidak boleh generalis karena seperti yang kita ketahui wilayah perairan Indonesia memiliki karakter yang cukup beragam baik itu kaitannya dengan ekosistem, musim, jenis ikan, dan lain sebagainya. Jangan sampai alat yang memang dilarang penggunaannya malah diminta oleh pihak tertentu agar diperbolehkan untuk dipakai, padahal tidak sesuai dengan kualifikasi Standar Nasional Indonesia (SNI).
“Ini tidak boleh generalis, termasuk diantaranya adalah jangan sampai mereka yang sudah jelas-jelas termasuk alat tangkap yang dilarang sesuai dengan peraturan Republik Indonesia dalam hal ini trawl misalnya, mengidentifikasi dirinya sebagai cantrang dan meminta dilegalisasi. Lalu, harus dipastikan (alat tangkap) mana yang boleh untuk digunakan. Poin selanjutnya, apakah spesifikasi yang ada di dalam peraturan menteri yang baru sudah sesuai dengan kaidah-kaidah lingkungan. Selain itu, subjek pengaturannya harus dengan bahasa yang terang dan tidak menyebabkan multitafsir. Aspek penegakan hukum menjadi kunci,” ujar Pak Riza Adha Damanik.
Lebih lanjut Pak Riza Adha Damanik berharap persoalan ini tidak memunculkan polemik, menyingkirkan nelayan kecil, dan ada kepastian terhadap proses peralihan transformasi penggunaan alat tangkap yang rusak menjadi alat tangkap yang ramah lingkungan. Nantinya juga diharapkan bisa bersama-sama melakukan upaya-upaya positif untuk memperkuat ekonomi perikanan, serta meningkatkan kesejahteraan nelayan kecil.
Pak Bogi Budi Jayanto menjelaskan bahwa cantrang sendiri sudah ada sejak tahun 1970 yang digunakan pada kapal-kapal tertentu. Cantrang merupakan alat penangkap ikan yang menggunakan satu kapal dan tali selambar berat agar menyentuh dasar laut. Alat ini tidak diseret seperti pada trawl, akan tetapi ditarik ke arah perahu pada kedua sisinya
“Memang cantrang yang diperbolehkan berupa genuine cantrang, bukan cantrang modifikasi. Panjang tali selambar cantrang maksimal 8-10 kedalaman perairan. Kemudian juga perlu dilakukan pengawasan, dalam hal ini oleh pengawas yang melakukan cek fisik terlebih dahulu dari situ,” jelasnya.
Selanjutnya, Pak Hamdan Nurul Huda selaku Kasubdit alat penangkapan ikan Direktorat Kapal Perikanan dan Alat Penangkapan Ikan, Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap (DJPT)-Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), menambahkan bahwa yang menjadi salah satu acuan adalah Standar Nasional Indonesia (SNI). Beberapa dasar dari pengaturan yang akan KKP lakukan adalah pertama dari desain dan konstruksinya.
Kemudian, mengenai WPP direncanakan tidak ada 713, hanya terbatas 711 dan 712. Sedangkan untuk 711 pengadaannya di ZEE saja, tujuannya adalah memanfaatkan hak-hak berdaulat Indonesia. Jadi, cantrang sendiri tidak diberlakukan di seluruh wilayah.
“Selain SNI, kami saat ini punya Kemen KP No. 06 tentang alat penangkapan ikan tahun 2010, didalamnya dibuat semacam klasifikasi atau taksonomi alat penangkapan ikan. Jadi, betul yang disampaikan narasumber sebelumnya mengenai orang yang sering kali sulit membedakan antara cantrang yang termasuk ke dalam kategori pukat tarik dan trawl. Itu memang menjadi tugas kita bersama bagaimana menggunakan nama-nama standar. Di Permen KP No. 71 juga mengadopsi dari Kemen KP No. 06 terkait strukturnya.” Ujar Pak Hamdan Nurul Huda.
Reporter: Della Cintya, Cikal Chairunisa
Penulis: Cikal Chairunisa
Edior: Restutama