[OPINI] Kritik dan Ujaran Kebencian dalam Batas Tipis: Awas Kena Ciduk

sumber gambar: google

Oleh: kaleng sarden*

Beberapa waktu lalu, saya sempat menemukan beberapa cuitan—atau bisa dibilang asupan—yang tengah ramai merambah di media sosial kesayangan. Twit ini sangat ramai sampai-sampai sempat menjadi trending, terlebih karena kemunculannya diramaikan oleh fandom yang sudah kita ketahui bersama selalu nomor satu soal membuat ‘keramaian’. Perlu saya ingatkan,  saya ini sebenarnya bukan orang yang senang ambil pusing soal masalah model begini, tapi ya karena sudah terlalu menggelitik tidak tahan juga akhirnya.

Kasusnya datang dari publik figur berinisial N, saya tidak mau sebut merk tapi agaknya semuanya sudah tahu siapa.Plis deh, saya bukan mau menyudutkan karena saya bukan jagoan.Sebagai salah satu dari sekian banyak orang gabut yang tidak jelas kerjaannya, akhirnya tanpa sadar saya terlalu asyik menyelam dalam ingar-bingar yang masih terus diperbincangkan bahkan sampai saat ini. Sejauh yang saya tahu, kasus ini terjadi karena beliau mengkritik seorang idol akibat perfomanya dalam suatu konser atau apalah itu namanya. Sebenarnya kritik ini sudah dilayangkan pada tahun 2018 dan entah bagaimana atau apa motivasinya sehingga warganet kembali menaikkan kasus yang bahkan sudah tenggelam dalam waktu yang cukup lama.

Seperti yang selalu terjadi, jika ada isu yang terangkat ke media sosial sudah pasti akan menjadi perbincangan publik dan tidak dipungkiri menjadi panggung untuk saling lempar cuitan. Lucunya, kalau dipikir-pikir sebenarnya ini cuma masalah biasa. Masalah sepele yang seharusnya bisa selesai dalam satu obrolantok,gitu. Lah ya, terus yang bikin panjang apanya? kok saya jadi teringat soal pelarangan kata “ANJAY” yang belum lama ini juga menjadi sorotan. Jangan-jangan benar,nih, kalau orang-orang memang paling juara kalau soal membesar-besarkan masalah.

Ternyata eh ternyata, benar saja masalahnya justru merembet ke mana-mana. Berawal dari kritik, tapi yang mengkritik ternyata belum siap dikritik, belum lagi baru-baru ini kasusnya sampai-sampai merembet pada pencidukan siswa di sekolah karena dianggap melakukan cyberbullying. Walah ini, sih, malah jadi ruwet kayak hubunganku sama dia, hyung.

Belum lagi selesai, sebenarnya saya pribadi menyayangkan atas unggahan video terkait masalah ini yang seharusnya tidak disebarluaskan meskipun dengan embel-embel edukasi. Entah apa yang tertulis di sana, untuk alasan apa pun cyberbullying merupakan kesalahan. Namun sangat disayangkan, akibatunggahan digital tersebut, secara sadar atau tidak justru menimbulkan kasus cyberbullying baru lainnya. Lagi pula,sebagai publik, bukan berarti kita bisa memberikan penghakiman karena bagaimanapun ‘perbuatan tidak menyenangkan’ akan selalu bernilai subjektif terhadap yang dirugikan.

Terlepas dari benar atau tidaknya tindakan kedua belah pihak, saya tidak mau menghakimi. Tapi agaknya apa yang perlu diperhatikan saat ini adalah bagaimana memperbaiki kebiasaan nyinyir dan saling hujat ini, bukannya terus memperkeruh suasana dengan berlomba-lomba melontarkan ujaran kebencian satu sama lain. Kebebasan berpendapat adalah hak semua orang, tapi jangan sampai lupa kalau orang juga boleh bebas tersinggung 🙂

Kritik dan ujaran kebencian dalam praktiknya barangkali seperti berjalan di antara surga dan neraka, salah-salah bisa kena ciduk, lalu mendekam di penjara. Kalau dilihat pula, UU ITE dalam penerapannya boleh jadi senjata ampuh untuk penuntut yang nyaman ketika mendapati ketidaknyamanannya.

Dok. Tirto.id
Dilansir dari Tirto, kasus penuntutan jerat UU ITE per tahun 2018, terlihat presentase tuntutan terbanyak dari pejabat negara, kalangan berpunya dan disusul kalangan profesi. Agaknya, kalau dilihat, barangkali orang-orang kalengan seperti saya atau yang tidak nyaman ekonomi tidak perlu ambil pusing soal penuntutan. Lah iya, wong sudah kebiasagak nyaman,kok. Apa mau dikata? Barangkali juga kami tak punya cukup materi untuk sekadar membeli jeruji.

Yak, makanya ayo kita sama-sama berbenah, intropeksi diri. Tak perlulah asal cuat-mencuat yang tidak terlalu penting urusannya. Saya jadi ingat ungkapan seorang bijak perihal filosofi jari telunjuk pada saya yang tidak tahu apa-apa ini,

“Ketika jari telunjuk menunjuk orang lain, sebenarnya ada tiga jari yang dengan malu menunjuk ke diri sendiri, sementara ada satu lagi jari yang memilih untuk tidak bergeming sama sekali.”

Bukan berarti semua hal tidak perlu dikritisi.Tapi, kan, tidak ada salahnya kalau mengkritisi hal yang memang perlu saja. Toh, kalau cuma asal ribut buat kepuasan pribadi, ya, bukan demokrasi namanya. Terus, mbok,ya, kalau adu opini,gak perlu sampai bawa polisi. Coba dengarkan saja dari hati ke hati biar bisa saling mengerti—kayak aku sama dia, eh,dianya siapa, ya? L

*kaleng sarden adalah nama pena penulis. Penulis sendiri merupakan mahasiswa FIB 2019

Editor: Airell

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top