[OPINI] Riuh Karena Pemengaruh: Mengapa Penggunaan Influencer Oleh Pemerintah Menjadi Masalah?

Ilustrasi: Aa


Oleh: Teguh B

Beberapa pekan lalu, Indonesia Corruption Watch (ICW) menemukan satu hal yang kemudian menjadi sorotan publik di APBN yakni adanya pengadaan dana untuk influencer alias pemengaruh media sosial pada lembaga-lembaga resmi pemerintah. Lewat berbagai media yang saya baca, dana yang sudah dibayarkan pemerintah tersebut berjumlah sekitar Rp. 90,45 miliar.

Tren yang dimulai sejak 2017 dan semakin meningkat di tahun-tahun selanjutnya ini, kata peneliti ICW Egi Primayogha, ditelusuri ICW lewat aktivitas Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) di kementrian dan lembaga pemerintah non-kementrian di situs Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) masing-masing lembaga dengan kata kunci “influencer” dan “key opinion leader”, seperti dilansir dari Tirto.

“Ditemukan 40 paket pengadaan dengan dua kata kunci tersebut,” kata Egi, yang juara satunya adalah Kementerian Pariwisata dengan Rp. 77,66 miliardan kemudian disusul Kementerian Komunikasi dan Informatika dengan Rp. 10, 83miliar. Itu baru untuk influencer saja. Jika menyertakan kata kunci seperti “media sosial”, Egi menyebutkan jumlah anggarannya mencapai Rp. 1,29 triliun, yang ditempati Polri di peringkat pertama.

Sebenarnya, bagi saya, tidak ada yang masalah dengan fenomena ini. Influencer, tak ubahnya media lain seperti televisi, koran, atau radio, yang dahulu sering digunakan pemerintah untuk menyosialisasikan program kerja ataupun kebijakan mereka. Dengan jumlah pengikut masif, loyaldan begitu besar, para influencer atau pemengaruh ini menjadi media baru yang efektif dan efisien—salah, yang sangkil dan mangkus—bagi pemerintah dalam penyebaran informasi.

Ya, tidak ada yang salah, sampai ketika Yuni Shara dengan percaya diri menggunakan Kalung Eucalyptus yang self-proclaim anti-Corona dari Kementerian Pertanian itu, atau ketika Ardhito Pramono kesandung tagar Indonesia Butuh Kerja yang diduga mempromosikan RUU Cipta Kerja yang dinilai merugikan masyarakat. Tidak ada yang salah, sampai tiba-tiba bulan Februari, pemerintah lewat Kementerian Pariwisata flexing Rp. 72 miliar untuk mempromosikan pariwisata Indonesia lewat para influencer ini ketika Covid-19 tengah merebak di Wuhan dan sekitarnya.

Selanjutnya, saya (dan mungkin Anda) akhirnya menyadari apa yang menjadi masalah dari penggunaan pemengaruh oleh pemerintah ini. Yang pertama, seperti kata Egi Primayogha pula di Kompas, ialah masalah transparansi dan akuntabilitas—terdengar seperti masalah uang kuliah di suatu universitas, hm.

Bagaimana pemerintah menentukan kebijakan atau program yang membutuhkan jasa influencer, misalnya. Pertanyaan ini penting dijawab, karena terkadang kebijakan/program pemerintah yang butuh disebarluaskan ini bermasalah. Kalung Eucalyptus yang digunakan Yuni Shara, contohnya, adalah salah satu bentuk konkrit dari masalah ini—yang dengan klaim sembrono tanpa basis ilmiah yang kuat malah dibiarkan begitu saja beredar di publik.

Selanjutnya, para pemengaruh ini bertingkah layaknya humas sebuah universitas yang menepis segala kabar buruk tentang lembaganya dengan mempromosikan—bukan menyosialisasikan—keunggulan dan kebaikan dari program/kebijakan mereka. Dan, seperti promosi pada umumnya, we hide the bad to feed you only the good. Persis, seperti iklan sabun muka yang sekali bilas wajah langsung putih secara ajaib, yang kita tonton saat masih kecil dan ketika beranjak dewasa kita mulai sadar bahwa sabun muka itu sama sekali tak berguna tanpa pendukung lainnya seperti masker, sunscreen, dan conditioner.

Atau, persis seperti—lagi-lagi—Yuni Shara yang sepertinya tidak membaca jurnal ilmiah soal Covid-19 ketika memakai Kalung Eucalyptus kemudian merasa “lebih safety” untuk beraktivitas di luar rumah. Dan, juga sama persis dengan tagar Indonesia Butuh Kerja yang berusaha menekankan betapa pentingnya investasi untuk menyelamatkan ekonomi Indonesia yang sedang resesi dengan RUU Cipta Kerja.

Influencermaaf, humas-humas pemerintah ini, akhirnya menjadi jalan singkat yang digunakan untuk memengaruhi opini masyarakat lewat promosi-promosi yang jauh dari inti kebijakan yang ingin disampaikan pemerintah. Hal ini kemudian, masih kata Egi, “tidak sehat untuk demokrasi”, seperti dilansir dari Jakarta Post.

Masih belum selesai, masalah selanjutnya adalah terkadang para pemengaruh ini bertutur jauh di luar kapasitasnya, sangat jauh bahkan. Misalnya, Anji, seorang musisi dan youtuber Indonesia, yang ketika diundang ke Istana Merdeka oleh Presiden Jokowi dengan brief singkat untuk “mengedukasi masyarakat agar sosialisasi protokol kesehatan lebih dapat didengar” dengan briliannya menyebarkan informasi sesat soal Covid-19 dan mengunggah konten diskusi bersama seorang profesor mikrobiologi (yang gelar profesornya adalah panggilan sayang itu) untuk membicarakan antibodi paling mujarab guna mengatasi Covid-19—yang tentu saja tidak benar. Betapa jauh antara arahan pemerintah untuknya dengan apa yang dilakukan Anji.

 

Lantas, setelah semua riuh oleh para pemengaruh ini, Fadjroel Rahman, Juru Bicara Presiden RI pada 31 Agustus lalu mengeluarkan rilis pers yang intinya mengatakan bahwakey opinion leader atau influencer sebagai aktor yang berperan penting dalam demokrasi digital. Ya, memang penting. Tetapi, mengingat adanya potongan pajak penghasilan dari gaji bapak saya di APBN yang digunakan pemerintah untuk mempromosikan sebuah kalung antivirus dan RUU bermasalah, saya rasa, penggunaan pemengaruh merangkap humas oleh pemerintah ini perlu dipagari undang-undang.

Editor: Qanish K

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top