[OPINI] “Tilik” adakah Nilai Edukasinya?

Screenshot film Tilik via youtube
 
Oleh: Oliviana Senja Novita

Sejak beberapa hari yang lalu, warganet asik membahas film pendek berjudul Tilik. Film pendek ini merupakan garapan Ravacana Film yang diupload di platform YouTube pada 17 Agustus 2020.
 
Film yang berdurasi 32 menit ini menceritakan sekelompok ibu-ibu desa yang hendak menjenguk Bu Lurah yang dirawat di rumah sakit. Di bak truk selama perjalanan, mereka asik berbincang-bincang tentang Dian yang diduga memiliki pekerjaan “tidak benar” dan menerka-nerka tentang hubungan asmaranya dan hal-hal buruk lainnya.
 
Film pendek ini memunculkan 3 poin perdebatan penting dikalangan penonton. Yang pertama mengenai penggambaran watak tokoh yang berbeda dengan persepsi mereka mengenai perempuan pedesaan yang lemah gemulai dan bijak. Mereka (para tokohnya) dianggap sebagai biang gosip dan bodoh ibarat tong kosong nyaring bunyinya
 
Di sisi lain, sebagian besar membantah dengan alasan bahwa hal itu bertujuan untuk menggambarkan kenyataan keberagaman sifat di masyarakat. Mereka membantah keras stigma perempuan desa yang harus lemah gemulai karena pada kenyataannya baik perempuan desa maupun kota memang sering berbincang banyak hal jika saling bertemu.
 
Poin perdebatan kedua adalah mengenai tindakan para tokohnya yang dinilai membenarkan tindakan menyebarkan fitnah dan berita yang belum diketahui kebenarannya. Mereka khawatir dengan adanya film pendek ini malah akan membuat orang lebih percaya akan desas desus, hoax dan teori konspirasi yang tidak jelas.
 
Menangkis hal tersebut Dosen Ilmu Komunikasi (Universitas Gajah Mada UGM), Budi Irawan, dalam unggahan Facebooknya menyebut hal yang dilakukan Bu Tedjo, bukanlah menyebarkan hoax, melainkan penggambaran problem literasi digital yang dapat terjadi pada laki-laki maupun perempuan.
 
Kemudian yang terakhir adalah akhir cerita yang menimbulkan kekecewaan mendalam bagi mereka. Diceritakan di akhir cerita, sosok yang digossipkan yakni Dian, benar seperti apa yang dibicarakan para rombongan ibu-ibu dalam cerita itu. Mereka menganggap nilai edukasi film
ini nihil karena ungkapan ‘cek kebenaran sebelum dibagikan’ telah dikalahkan oleh gossip dan hoax yang tidak jelas asal usulnya dan nilai moralnya pun juga tidak didapat.
 
Menanggapi hal ini, banyak penonton yang menyayangkan mereka, yang beranggapan  seperti itu, tidak dapat menikmati karya fiksi dengan pikiran terbuka. Padahal jika dipikirkan baik-baik cerita ini sama sekali tidak membahas tentang pihak yang menang maupun kalah karena memang bukan mengenai peperangan atau semacamnya. Selain itu banyak yang berpendapat bahwa karya fiksi bukanlah sumber pendidikan, karena tujuan karya fiksi adalah sebagai sarana hiburan.
 
Menurut saya pribadi, film ini cukup sebagai hiburan yang memuaskan. Settingnya menarik dan alurnya tidak dapat saya duga. Melalui tiga poin diatas, banyak juga yang ingin saya sanggah. Mengenai watak tokohnya, menurut saya watak bu Tedjo yang paling menghidupkan suasana. Bayangkan saja bila tak ada karakter seperti bu Tedjo, maka film ini tak akan semenarik ini. Akting bu Tedjo ini patut diacungi jempol karena berkat keluwesan dan kewasisannya, film ini menjadi lebih hidup.
 
Tindakan bu Tedjo dalam bergosip menurut saya tidak ada hal yang merujuk pada pembenaran penyebaran hoax. Apalagi rating untuk film ini 13 tahun keatas yang dapat diasumsikan mereka yang menonton dapat dengan bijak menikmati film ini.
 
Seorang seniman turut mengungkapkan pendapatnya adalah sebuah thread di twitternya pada 20 Agustus lalu. Akun @vngnc itu membalas sebuah postingan mengenai kritik “Tilik”. Dalam cuitannya tersebut dia mengungkapkan bahwa (karya) seni harusnya membuat nyaman yang terganggu dan mengganggu yang nyaman. Menurutnya juga, alur dalam film Tilik ini bertujuan untuk mengusik moral penonton.
 
“Gua dari kemaren udah
liat tapi males bgt jump in conversationnya
but I guess I”ll have to say this again:
art should comfort the disturbed and disturb the comfortable. 
 
Having your moral disturbed is actually a healthy mental
exercise. U learn to accept things that u can’t control. U learn to see that
THERE are people out there who aren’t 100% bad or 100% good. This is one of the
problems with ‘masyarakat’: they can’t accept GREY state of being.
 
(terusiknya moral kita itu bisa
dijadikan latihan mental yang bagus. Anda belajar untuk menerima hal-hal yang
tidak dapat Anda kendalikan. Anda belajar untuk melihat bahwa ada di luar sana yang tidak 100% buruk atau 100% baik. Ini adalah salah satu masalah masyarakat:
mereka tidak mau meerima hal-hal yang tabu.) 
 
Orang dewasa butuh hiburan bos, jangan
dilupakan. Gak selamanya semua karya seni harus edukatif, nggak ada aturannya,
nggak ada kewajibannya.”
 
Ia juga turut menambahkan bahwa ini bukanlah tentang siapa yang kalah atau menang. Dan menyarankan bagi warganet yang mencari konten edukasi untuk mencari melalui National Geographic dan BBC. 
 
Menurut saya nilai positif yang dapat diambil dari film ini adalah semangat kebersamaan dan kekompakan mereka dalam menjenguk Bu Lurah. Mereka rela naik truk demi segera ingin mengetahui keadaan bu lurah begitu mendengar dia masuk rumah sakit. Namun saya merasa tak pantas membicarakan perihal bermoral atau tidak karena saya bukanlah polisi seni.
 
Oscar Wilde dalam The Picture of Dorian Grey berpendapat bahwa “There is no such things as a moral or immoral book. Books are well written, or badly written. That’s all.”
 
Yang artinya; “Tidak ada buku yang bermoral atau tidak bermoral. Baik buku yang penulisannya baik maupun yang penulisannya buruk. Hanya itu.”
 
Dalam penafsiran yang luas, baik buku maupun film sama-sama merupakan karya sastra. Maka pendapat Oscar Wilde pun dapat kita jadikan acuan untuk menilai film. Dalam film pendek ini, tidak ada yang namanya pihak yang menang ataupun kalah karena ini bukan pertandingan. Tidak ada pula alur yang salah maupun benar. Film mendidik ataupun tidak mendidik, karena tujuan penulis dan sutradara adalah menyuguhkan cerita yang mampu menghibur penonton.
 
Seni itu selalu indah. Tergantung kita dapat menikmatinya atau tidak. Menurut saya tidaklah terlalu penting perihal ada atau tidaknya pesan moralnya asal kita dapat menikmatinya. Tujuan dari adanya karya seni adalah untuk menghibur dan dinikmati. Dan saya adalah salah satu penonton film pendek ini yang terhibur dan menikmatinya. 
 
 
Editor              : Zanu Triyono

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top