Sumber Gambar : Krzysztof Nowak – artstation.com |
Oleh: Qanish*
“Kalau terjebak, narasi yang selanjutnya muncul akan berupa peleburan warga yang protes dengan aparat sebagai komunitas yang sama-sama diadu oleh negara. Padahal tidak demikian. Aparat, negara, dan perusahaan tak pernah dapat dipisahkan dalam mekanisme produksi kapitalistik.”
Terhitung sejak 6-8 Oktober, kebrutalan aparat kepolisian membuat tiap orang yang melihatnya begitu muak. Rasa-rasanya, membayangkan mereka disiksa di Neraka, dilempar ke tungku api saenhana yang mendidih sampai tubuh mereka mencair dan meruak bagaikan buih nira yang jatuh ke tanah menjadi imajinasi tiap orang. Robot-robot itu, tak pernah dapat menggunakan kepalanya. Pikir mereka, tangan dan kaki berfungsi untuk memukul, menyiksa, dan merampas. Sialnya, kebodohan aparat terus saja diwajarkan dan direproduksi banyak orang, dengan menggeser mereka (aparat), ke dalam rantai subordinat sebagai seseorang yang “hanya” menjalankan tugas “menjaga stabilitas kapital” dan “mengamankan negara”.
Lalu, bagaimana cara berhenti melihat kekerasan aparat sebagai sesuatu yang tidak patut di normalkan? Jawabannya: kapitalisme.
Studi ekonomi politik selalu berusaha menjelaskan fenomena dengan mengoyak belenggu kuasa kapitalistik yang membentang dan terus-terusan kita normalkan. Negara dalam pengertian ruang, ikut merepresentasi/mengimajinasikan tentang ruang yang ideal (abstrak) dan membentuknya lewat kebijakan atau sebuah produk hukum (konkret). Sialnya: imajinasi atas ruang negara dan perusahaan selalu sama.
Siapa pun pasti sering melihat aparat terlibat dalam penjagaan dan pemusnahan ruang hidup warga dengan cara menggusur, merampas, dan memukuli warga. Hari-hari ini, kita melihat banyak sekali kekerasan oleh aparat kepada rakyat di berbagai kota yang menolak Omnibus Law RUU Ciptaker yang disahkan Senin, 5 Oktober 2020 kemarin. Sayangnya, kita selalu terjebak dalam umpatan pengertian buruh sebagai kelas – bahwa mereka (aparat) juga buruh yang harus dibela, dan mewajarkan tindakan mereka karena “hanya” menjalankan perintah atasan. Semua fenomena pewajaran ini tidak layak dilakukan dan harus kita pikirkan ulang.
Ruang diproduksi atas imajinasi. Imajinasi diwujudkan melalui simbol-simbol yang ditanam dan menghasilkan makna. Warga nelayan Tambakrejo, Tanjung Mas, Semarang, yang setahun lalu dilibas habis rumahnya oleh traktor saat bulan Ramadhan adalah contoh nyata. Pemerintah dan warga kelas menengah ngehek, tidak pernah mempunyai imajinasi akan desa kumuh yang bertempat di kota metropolitan se elit Semarang. Keberadaan kota selalu diiringi dengan simbol kemewahan, kebersihan, dan keamanan. Dengan demikian, kumuh berarti penuh kriminalitas, kumuh berarti penuh kemiskinan, kumuh berarti penuh penyakit, dan kumuh berarti penghambat sirkulasi kapital.
Dari sini, pertarungan ruang atau politik ruang terjadi. Warga yang menolak Omnibus Law RUU Ciptaker tidak pernah membayangkan tinggal di negara dengan praktik ruang (spatial practices) penuh penghisapan. Sedangkan negara dan perusahaan beserta aparatus represifnya, tidak pernah membayangkan negara sebagai ruang tanpa pertumbuhan ekonomi yang melesat dan terus-terusan membesar. Dari sini, aparat harus diasosiasikan sebagai “anjing penjaga kapital”.
Proses pembentukan ruang berisi simbol-simbol yang diimajinasikan (perceived space) oleh tiap orang. Misalnya, imajinasi kita atas aparat yang seharusnya mempunyai simbol bermakna “penjaga” dan “pengayom” untuk rakyat selalu dibenturkan dengan kenyataan pada ruang yang membuktikan kebrutalan mereka. Hal ini membuat semuanya menjadi rancu sebab kapitalisme tidak pernah diperkenalkan dalam benak tiap orang. Aparat yang memukul, mengeroyok dan menembaki rakyat anti-Omnibus Law RUU Ciptaker adalah rangkaian spatial practices dengan negara kapitalistik semacam Indonesia.
Sebab, apa yang diimajinasikan negara, perusahaan dan aparat selalu serupa adegan persetubuhan. Persetubuhan antara mereka dengan kapital. Praktik ruang yang dilakukan warga dengan memprotes produk hukum yang merampas segalanya, bukan sebuah praktik yang layak dilakukan dalam ruang yang kapitalistik. Dengan demikian, pengesahan, pemukulan, penyiksaan, dan pengeroyokan aparat pada warga yang menolak Omnibus Law RUU Ciptaker adalah praktik ruang yang “rasional”.
Berlindung dalam tataran norma dan moral tak pernah membuat kita jadi apa pun. Melihat aparat sebagai “anjing penjaga kapital” adalah bentuk pembongkaran dan hasrat pembangkangan warga yang telah habis dihisap secara mental dan tenaga (mentally and physically drained labour). Sebab, dalam kerangka produksi, aparat menjalankan peran menjaga stabilitas ekonomi, dan warga yang melawan selalu berperan sebagai musuh yang tidak tahu diri.
Kita tidak bisa lagi terjebak dalam kerangka relativitas yang meleburkan bahwa posisi warga yang protes Omnibus Law RUU Ciptaker sama saja dengan posisi aparat. Kalau terjebak, narasi yang selanjutnya muncul akan berupa peleburan warga yang protes dengan aparat sebagai komunitas yang sama-sama diadu oleh negara. Padahal tidak demikian. Aparat, negara, dan perusahaan tak pernah dapat dipisahkan dalam mekanisme produksi kapitalistik. Hal demikian jelas cara pikir paling bermasalah dan mendiskreditkan keringat, mental, serta nyawa yang dihabisi setiap hari. Aparat, negara dan perusahaan tidak pernah memikirkan kecemasan kita akan hari esok. Negara selalu berkongsi dengan perusahaan dan aparat adalah kepanjangan tangan mereka untuk memusnahkan emosi-emosi tidak perlu seperti kumpulan warga yang menolak keberadaan Omnibus Law RUU Ciptaker beberapa hari ini.
Berhenti menormalisasi kebodohan aparat. Berhenti berpikir mereka hanya menjalankan perintah. Dalam ruang kapitalistik ini, negara, perusahaan, dan aparat adalah satu patogen yang jauh lebih mematikan daripada virus Corona.
*Penulis merupakan basis logistik tukang masak Akazaya Nine dalam perang pembebasan di Wanokuni
Editor: Zanu Triyono