[OPINI] Mall vs Institusi Pendidikan

Sumber gambar : google.com

Oleh: Yuan

Jadi kita sebagai mahasiswa, menyindir kepada pemerintah mengapa mall dan tempat hiburan dibuka, sedangkan sekolah yang mengadakan tatap muka diancam akan ditutup? Bukannya lebih ramai di tempat hiburan daripada di sekolah?” Ujar Amir, salah seorang mahasiswa yang terlibat dalam aksi kuliah di mall, kepada Tribunnews pada Hari Kamis, 24 September 2020 lalu.

Aksi kuliah di mall tersebut menyindir pemerintah yang membuka mall dan tempat hiburan lainnya, sedangkan institusi pendidikan masih belum dibuka juga. Padahal, jika dilihat dari kepentingannya, bukankah seharusnya lebih penting pendidikan daripada mall dan segala macam antek-anteknya? Kalau dibilang demi memenuhi kebutuhan dasar (makanan), kita masih bisa pergi ke pasar dan membelinya di sana, lalu mengapa mall perlu dibuka?

Hmmmm…mungkin karena gengsi, sehingga masyarakat lebih memilih belanja di mall daripada di pasar – padahal sebenarnya hanya ingin berjalan-jalan dan menikmati “libur panjang” – ya, dan akhirnya pemerintah pun terpaksa tunduk pada “gengsi” tersebut. Siapa yang tahu?

Dengan dibiarkannya mall untuk dibuka ini, muncul sebuah pertanyaan di benak saya. Bukankah jika dipikir-pikir risiko penyebaran justru lebih besar jika mall dibuka daripada
institusi pendidikan yang dibuka? Bukankah massa yang ada, justru lebih besar yang berada di mall daripada di lingkungan pendidikan? Bukankah dengan dibukanya pasar saja sudah cukup jika untuk alasan menjalankan roda perekonomian dan juga pemenuhan kebutuhan? Bukankah dengan membuka mall justru memancing masyarakat untuk pergi keluar dan menikmati “libur panjang”? Lalu, mengapakah pemerintah membuka mall sedangkan institusi pendidikan masih ditutup?

Kita ambil contoh saja seperti apa yang terjadi di mall Tentrem di Semarang. Masyarakat yang sudah bosan dan “gatal” berakhir pekan berbondong-bondong menyerbu mall baru tersebut. Hingga Ganjar Pranowo, selaku Gubernur Jawa Tengah, mengancam akan menutup mall tersebut karena banyaknya “wisatawan” yang datang dan ditemukan beberapa pengunjung yang tidak mematuhi protokol kesehatan. Jika sudah seperti itu, bukankah sama saja kita mengundang Corona untuk mukbang?

Ditambah lagi, pendidikan di Indonesia tampaknya masih belum siap menerima perubahan dari sistem “tatap muka” menjadi sistem “tatap layar”. Banyaknya permasalahan yang muncul, seperti kualitas koneksi internet di tiap daerah yang berbeda, sistem pada tiap institusi pendidikan masih banyak masalah, serta pengajar yang belum siap dalam pembelajaran online pun mewarnai lika-liku “culture shock” yang dialami oleh siswa siswi di negeri tercinta kita ini.

Editor  : Zanu

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top