[OPINI] Pembagian Uang dan Sembako Menjelang Pilkada: Ini Bantuan atau Sogokan?

 

Ilustrasi: Gita
 
Oleh: Della Renanda Puspa
 
Pandemi COVID-19 telah memberikan dampak yang signifikan di berbagai sektor kehidupan, tak terkecuali ekonomi. Pemerintah pusat maupun daerah sudah berusaha untuk mengatasi –atau setidaknya mengurangi –kekhawatiran masyarakat akan pemenuhan kebutuhan sehari-hari, salah satunya dengan bantuan sosial. Hal ini dinilai sebagai sesuatu yang wajar dan sudah sepatutnya dilakukan, karena itu sudah tugasnya. Namun, apakah kita dapat memaklumi hal serupa jika yang melakukan adalah para bakal calon kepala daerah atau pihak petahana yang akan bersaing merebut kursi kekuasaan melalui sebuah kontestasi pemilihan kepala daerah (pilkada)?
 
Bicara tentang pilkada maka bicara pula tentang budaya-budayanya; kampanye, debat antar pasangan calon (paslon), dan…ups, politik uang. Poin ketiga terpaksa harus saya sebutkan juga, karena tidak menampik bahwa hal tersebut memang marak terjadi menjelang perhelatan pesta demokrasi, seperti pilkada. Menurut data yang dilansir dari indonews.id, Bawaslu telah menemukan sebanyak 493 kasus pada pilkada serentak 2015, 600 kasus pada pilkada serentak 2017, dan 35 kasus politik uang pada pilkada serentak 2018[1]. Politik uang ini biasa dilakukan oleh segelintir paslon demi memuluskan jalannya melenggang menuju kursi penguasa. Biasanya, praktik ini akan menghiasi masa kampanye dalam berbagai bentuk modus –yang menyesuaikan kebutuhan masyarakat –seperti pembagian uang dan/ atau sembako, pemberian kupon belanja, sumbangan untuk usaha kecil menengah (UKM) atau kegiatan warga, dan masih banyak lagi. Tentunya dibarengi juga dengan ajakan untuk memilih paslon tersebut. Semacam aksi yang terselubung, tapi terang-terangan juga. Eh, gimana, sih?
 
 
Kondisi ekonomi masyarakat yang melemah di tengah pandemi ini nampaknya mudah sekali (rawan) untuk dimanfaatkan peserta pilkada (beserta tim suksesnya). Seperti yang dilansir dari republika.co.id, Ratna Dewi Pettalolo, selaku anggota Bawaslu, beliau menyampaikan kekhawatirannya akan hal tersebut: “Dalam kondisi ini masyarakat memerlukan bantuan sehingga ada kekuatan baru untuk memberikan uang atau memberikan barang tapi sebagai kepentingan politik,” ujarnya. Meskipun hal semacam itu bukan yang pertama kali terjadi di negeri ini, tetapi yang dikhawatirkan disini adalah masyarakat yang semakin memaklumi hal tersebut karena tuntutan perut mereka di masa-masa sulit seperti ini. Direktur Eksekutif Indikator Politik, Burhanuddin Muhtadi, mengatakan bahwa toleransi masyarakat terhadap politik uang akan meningkat karena imbas dari penurunan ekonomi yang dialami[2] Ditengah himpitan ekonomi, tak jarang jika nilai idealisme akan dikesampingkan oleh beberapa orang, sing penting iso mangan. Tak peduli dari mana sumber atau maksud dari bantuan itu, selagi bisa memenuhi kebutuhan pangan pribadi dan sekeluarga, ya trabas saja.
 
Menurut saya, embel-embel “bantuan” bisa dijadikan kedok belaka, tak ubahnya seperti uang sogokan untuk memuluskan jalan seseorang menuju posisi yang ia inginkan. Bagaimanapun, praktik politik uang ini akan selalu menemui celahnya. Baik saat pandemi maupun tidak, bantuan tersebut akan disertai pula dengan himbauan seperti“Jangan lupa ya, coblos kami di pilkada nanti!”, yang menuntun penerima untuk memilih mereka sebagai calon pemimpinnya. Kalau memang murni untuk membantu, ya tidak perlu lah ada embel-embel –nama atau jargon khusus –kepentingan yang lain. Kembali lagi, perbedaan antara bantuan yang “tulus” dengan yang “ada maunya” di saat seperti ini menjadi terlihat sangat tipis dan samar-samar. Selagi kita menyadari bahwa politik uang dalam bentuk apapun itu tidak dibenarkan, ada baiknya untuk menolak, agar setidaknya kita dapat membiasakan diri untuk tidak memaklumi budaya yang salah. Sebagai rakyat yang tak punya kuasa, yang tak tahu kapan praktik kotor ini akan berhenti menjadi budaya dalam pilkada, kita hanya dapat berharap adanya niat yang murni dari si pemberi “bantuan” tersebut. Siapa yang tahu? Ya hanya dia dan Tuhan lah yang tahu.
 
 
Editor: Zanu Triyono
 

[1]Dengan rincian sebagai berikut: Pada tahun 2015 ditemukan sebanyak 92 kasus pada masa kampanye, dengan sebaran kasus di 21 kabupaten yang terletak di 10 provinsi; sebanyak 311 kasus pada masa tenang, dengan sebaran kasus di 25 kabupaten/kota yang terletak di 16 provinsi; dan sebanyak 90 kasus pada hari-H pilkada berlangsung, dengan sebaran kasus di 22 kabupaten yang terletak di 12 provinsi. Pada pilkada serentak 2017, 600 kasus ditemukan di 101 daerah yang melaksanakan pilkada. Pada pilkada serentak 2018 ditemukan 35 kasus di 171 daerah.

[2] Lihat: Politik Uang Sampai Golput, Tantangan Pilkada Kala Wabah via youtube channel Najwa Shihab

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top