Dok. LPM Hayamwuruk |
Amnesty International Indonesia mendesak kepolisian untuk menghentikan tindak represif dalam menghadapi pengunjuk rasa penolak Omnibus Law. Pihak aparat Indonesia harus memastikan terwujudnya penghormatan penuh, dengan tidak melakukan kekerasan karena mulai meluasnya demonstrasi menyikapi pengesahan Omnibus Law RUU Cipta Kerja pada Senin (5/10/2020).
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mendesak aparat kepolisian karena laporan adanya insiden kekerasan dan penangkapan terhadap ratusan pengunjuk rasa di berbagai kota selama 6-7 Oktober 2020. Menurutnya, demonstrasi adalah pelaksanaan Hak Asasi Manusia (HAM) atas kemerdekaan berekspresi bagi seluruh warga negara (mahasiswa, petani, buruh, dan pelajar), maka dari itu, aparat kepolisian harus menghormatinya.
“Aparat keamanan harus menahan diri untuk menggunakan kekuatan yang tidak perlu, berlebihan atau eksesif, apalagi jika sampai mengintimidasi demonstran,” kata Usman Hamid, melalui siaran pers pada Kamis (8/10/2020).
Dalam catatan Amnesty International Indonesia, sedikitnya ada 180 pengunjuk rasa di Bandung terluka. Sementara di Serang, 24 mahasiswa juga mengalami luka bahkan hingga gegar otak. “Kenyataan bahwa gas air mata dan kekerasan seperti aksi memukul dan menendang digunakan terhadap pengunjuk rasa yang tak bersenjata sangatlah mengkhawatirkan,” lanjut Usman.
Amnesty International Indonesia menilai gas air mata, seperti senjata yang tidak mematikan lainnya, yaitu peluru karet, bisa menyebabkan cedera serius, dan dalam beberapa kejadian, menyebabkan kematian. Ketika senjata semacam itu digunakan, harus sesuai dengan prinsip legalitas, prinsip keperluan dan prinsip proporsionalitas.
“Berdasarkan laporan dari sejumlah Lembaga Bantuan Hukum (LBH) di berbagai kota, ratusan pengunjuk rasa ditangkap dan ditahan oleh aparat kepolisian. Di Serang, Banten, 14 orang ditahan. Kepada Amnesty International Indonesia, kuasa hukum mengatakan bahwa pihak mereka kesulitan mengakses korban untuk memberikan pendampingan hukum,” kata Usman.
Usman menambahkan, di Semarang, Jawa Tengah, 50 pengunjuk rasa sempat ditangkap, dipaksa membuka baju dan dikumpulkan di kantor Gubernur Jawa Tengah. Menurut Usman, berdasar laporan lembaga bantuan hukum setempat, para pengunjuk rasa ini dipukul dan ditangkap secara paksa.
“(Padahal) aparat keamanan berkewajiban untuk menghormati hak untuk mengemukakan pendapat secara damai dan, bahkan jika kekerasan terjadi, hanya sedikit kekuatan yang perlu digunakan untuk mengatasinya,” sebut Usman.
Amnesty International Indonesia juga mengingatkan Pemerintah Indonesia untuk tidak melibatkan militer dalam penanganan demonstrasi. “Karena mereka tidak dilatih atau tidak dipersiapkan untuk menangani situasi seperti itu, yang benar-benar asing bagi mandat dan misi perjuangan mereka,” terang Usman.
Usman juga menjelaskan, dalam menggunakan kekuatan, aparat penegak hukum harus berupaya meminimalkan resiko bahaya dan cedera. Prinsip-prinsip Dasar PBB tentang Penggunaan Kekuatan dan Senjata Api oleh Pejabat Penegak Hukum (Prinsip-Prinsip Dasar) yang diadopsi di dalam negeri oleh Pemerintah Indonesia melalui Peraturan Kepala Polri (Perkap No. 1/2009) dengan jelas menetapkan bahwa petugas penegak hukum hanya dapat menggunakan kekuatan apabila cara-cara nir-kekerasan tidak berjalan efektif.
“Prinsip-prinsip dasar tersebut mensyaratkan bahwa dalam rangka membubarkan aksi damai yang melanggar hukum di bawah undang-undang domestik, petugas penegak hukum harus sanggup menahan diri sepenuhnya,” ujar Usman.
Selain itu, Amnesty International Indonesia juga mengimbau Pemerintah Indonesia untuk mengambil langkah-langkah tegas guna memastikan penyelidikan yang cepat, independen, tidak berpihak dan efektif terhadap laporan-laporan dugaan penyiksaan dan perlakukan buruk lain yang dilakukan polisi dan memastikan bahwa hasil penyelidikan tersebut dibuka kepada publik.
Reporter: Airell
Penulis: Airell
Editor: Qanish