[OPINI] Keluh Anak Di Persimpangan Jalan

Ilustrasi: Teguh

Oleh: Kaleng Sarden

Beberapa waktu lalu, saya sempat terlibat dalam obrolan kecil bersama teman tongkrongan di malam yang santai disertai camilan receh dan musik sadboy yang tidak karuan—ditemani batalion nyamuk yang menyosor sana-sini tanpa ampunan— Yah, seperti anak tongkrongan biasanya, tiap obrolan baru akan selalu diawali dengan “katanya”. Misalnya, soal gim yang lagi ngetren itu yang katanya…eeh sudah-sudah, rahasia pabrik.

Semakin larut biasanya ada saja obrolan unik yang terceletuk. Kali ini datang dari seorang teman yang curhat soal masalahnya. Saya kira kalau sudah begini obrolannya bakal berubah 180 derajat alias mendadak jadi serius—biasanya makin malam obrolannya makin berbobot—eh, ternyata cuma masalah lomba debat dengan orang tuanya.

Bukan apa-apa, pasalnya sudah jadi rahasia umum di antara kami semua kalau masalah dengan orang tua ya pasti begitu lagi begitu lagi. Sudah jadi menu makanan yang wajib disantap meski kita tidak suka. Menu ini suka muncul kalau ada masalah yang kadang kita sendiri tidak pernah tahu masalahnya apa dan bagaimana. Tahu-tahu kena semprot sejadinya, didebat pun kalah pastinya.

Tapi kalau dipikir juga aneh sebenarnya, apa iya Boomer dan Gen Z—orang tua dan anak—sampai kapanpun gak akan pernah bisa akur? mungkin juga masalahnya ada di pemikiran kita yang jauh berbeda atau jangan-jangan karena mereka terbiasa dikekang oleh sistem Pa…

….

Sebentar, saya cek dulu di depan ada tukang baso apa enggak.

Oke lanjut, agaknya saya sebagai Gen Z (atau mungkin hampir semua?) merasakan keresahan yang sama. Terutama soal perbedaan gagasan yang entah bagaimana akan selalu berakhir dengan perdebatan dan diakhiri kekalahan yang menyakitkan sekaligus menyebalkan.

Namun, perasaan itu justru menimbulkan pertanyaan lain, “Apakah nanti saya juga akan menjadi seperti itu?” hmm, cukup menarik untuk dipikirkan rasanya.

Terlepas dari itu, jauh di dalam lubuk hati saya yang terdalam, saya tidak pernah mau menyalahkan apalagi membencinya karena pikiran yang saya anggap kuno tersebut tujuannya baik. Tentu saja baik dengan premis yang berbeda dari pemahaman saya yang selalu sok tahu dan ingin selalu dimengerti.

Tapi serius, barangkali pemahaman terhadap konsep baik dan buruk jadi tembok penghalang antara kami.Orang-orang tua pada dasarnya seringkali memandang kita Gen Z sebagai pihak yang ‘selalu salah’ dan selalu sok iye dengan gaya khas mereka yang ‘harusnya tuh begini lho!’

Soal urusan sepele kayak disuruh cuci baju gitu. Astaga, ayolah Pak, Bu, nanti juga bakal dicuci kok, nunggu suwung dulu gitu, tapi ya tetep saja mereka ujungnya ngomel gak ada hentinya. Yah, kalau sudah begitu kan mau gak mau harus diturutin…kalau enggak bakal jadi perang dunia ke tiga nanti.

Apalagi kehadiran pandemi begini yang membuat semuanya serba daring tambah-tambah bikin suasana runyem, lah iya masa anakmu lagi kelas daring dibilangnya, ‘punya anak kerjanya main HP melulu’. Mentang-mentang terlihat asyik liat HP ditemani earphone yang terpasang di telinga sudah disalahartikan. Please deh, masa mau kelas saja harus turn on speaker keras-keras baru percaya sih, hadehh….

Pola pikir Boomer yang kaku dan terlalu terpaku dengan zamannya dulu seringkali membuat saya selaku Gen Z dibuat pusing tujuh keliling menghadapi dilema antara harus ngangguk-ngangguk kayak boneka atau masa bodoh dengan menjadi durhaka, mempertontonkan idealisme sendiri yang mereka anggap sebagai ‘bocah yang belum merasakan pahit dunia’. Tapi kan, tapi kan, zaman sudah berubah gitu lho!!

Yah, apapun itu, walaupun menimbulkan sedikit rasa kesal dan sering kali membuat kita terjebak pada perasaan serba salah akibat tingkah ‘tidak pengertian’ mereka.Pada akhirnya akan menjadi tidak bijak kalau saya selalu menentang mereka dengan keras kepala yang malah menjadikan saya sendiri sebagai sosok ‘sok iye’ yang sebenarnya. Ada baiknya juga kalau kita bisa menimbang-nimbang pilihan yang tepat secara bijaksana. Serius, sejujurnya mereka gak salah juga, cuma caranya aja yang seringkali terasa tidak menyenangkan.

Tapi kalau sudah terlalu tertekan yah…

…terkadang durhaka juga bisa menjadi bagian dari usaha (?)

Editor : Zanu Triyono

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top