LBH Semarang: Ada Kejanggalan dalam Kasus 4 Terdakwa Aksi Omnibus Law

Sumber gambar: Instagram @bangsamahasiswa

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang yang diwakili Ignatius Rhadite selaku asisten pengabdi bantuan hukum mengabarkan perkembangan empat terdakwa yang ditangkap pada Rabu (07/10/20) lalu akibat aksi protes pengesahan RUU Omnibus Law di depan gedung DPRD Jawa Tengah. Hal ini disampaikannya dalam siaran langsung yang digelar akun Instagram @bangsamahasiswa pada Jumat (26/02/21).

Pada Rabu (07/10/20) sekitar 3.000 massa aksi yang terdiri dari berbagai elemen masyarakat melayangkan protes di depan gedung DPRD Jateng menentang pengesahan UU Omnibus Law. Namun, dinamika yang terjadi berujung bentrok. Sekitar pukul 16:00 WIB aparat sudah membubarkan massa aksi secara paksa dan melakukan penangkapan sewenang-wenang tanpa dibekali surat tugas dan penangkapan yang sah dengan dalih tangkap tangan.

“Kalau kita lihat di KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana), definisi tangkap tangan adalah ketika terjadinya dugaan tindak pidana atau saat setelah terjadi tindak pidana. Jadi ngga boleh rentang waktunya panjang. Nah, akan tetapi itu dimaknai berbeda oleh polisi penangkap saat itu,” jelas Rhadite.

Berdasarkan catatan LBH Semarang, sekitar 263 massa aksi ditahan di DPRD Jateng kemudian dipindahkan ke Kantor Polrestabes Semarang. Selain itu, empat massa aksi berstatus tersangka yang tidak disebutkan namanya tersebut diduga melakukan perusakan dan provokasi.

Saat proses penyidikan, keempat tersangka tidak diberikan akses ke pendamping hukum dan pihak keluarga baik daring maupun luring dengan alasan penyebaran virus Covid-19.  Bahkan dalam proses pemeriksaan, keempat tersangka mendapat tindak represif seperti pukulan dan tendangan untuk mengakui perbuatan yang tidak dilakukan untuk kemudian dilegitimasi di Berita Acara Pemeriksaan (BAP). Baru setelah dua minggu, pihak LBH Semarang dan keluarga dapat bertemu.

“Padahal kalau kita bicara di KUHP mereka (tersangka) punya hak untuk didampingi dan alasan tidak dikasih bertemu adalah karena Covid [-19]. Tetapi kalau Covid [-19], kenapa untuk [perjumpaan] virtual pun tidak bisa,” keluhnya.

Belakangan diketahui, polisi menunjuk penasihat hukum untuk mendampingi para tersangka. “Dan mungkin yang lebih ironisnya, selama proses pemeriksaan, pengacara yang ditunjuk polisi ini sama sekali ngga mendampingi dia (keempat tersangka), dia (pengacara) hanya mendampingi saat proses BAP, hanya formalitas saja untuk tanda tangan,” ungkap Rhadite.

Barang Bukti yang Dipaksakan

Selain itu, barang bukti yang digunakan dipaksakan. “Saat itu penyidik, nih, membawa satu karung batu yang ukurannya besar-besar, kemudian mereka dipaksa untuk memilih salah satu batu yang dianggap jadi bahan untuk melempar. Padahal itu bukan batu mereka, mereka sama sekali ngga melempar,” terangnya.

Pihak keluarga keempat tersangka pun mendapat teror oleh pihak yang mengaku berasal dari lembaga tertentu yang menyatakan bahwa tersangka memang mengikuti organisasi tertentu dengan menunjukkan lambang organisasi yang dimaksud untuk kemudian meminta dicocokan dengan properti yang terdapat di rumah tersangka. Namun, pihak keempat keluarga menolak tuduhan tersebut.

“Padahal mereka (tersangka) ikut demo karena merasa [UU] Omnibus Law ini memang cacat dan patut ditolak karena bukan hanya berbicara untuk kaum buruh, nelayan, tapi juga berbicara untuk dirinya di masa kini dan masa depan,” lanjut Radhite.

Dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU), keempat tersangka dijerat pasal 170, 406 juncto 55, pasal 212 juncto 55, dan pasal 216 KUHP. Kini keempat tersangka berstatus terdakwa.

“Itu kalau boleh saya sampaikan terkait dengan—secara bersama-sama, ya—melakukan perusakan terhadap fasilitas umum serta melukai aparat. Jadi dalam surat dakwaan tersebut dinyatakan bahwasanya ada fasilitas publik yang rusak/pecah, misal lampu taman, lampu logo DPRD Provinsi Jateng, [kaca] mobil anggota dewan yang pecah, dan ada polisi yang terluka karena terkena lemparan batu,” jelasnya

Sidang sempat digelar secara daring. “Nah, yang menariknya, saksi-saksi yang dihadirkan oleh JPU hingga hari ini—termasuk saksi fakta, ya—sama sekali mereka tidak bisa menunjukkan bahwasanya pelaku atau orang yang mengakibatkan kerusakan itu keempat kawan kita (terdakwa),” katanya.

Dugaan Saksi Palsu

Begitupun pada Selasa lalu (23/02/21) saat sidang yang mendatangkan saksi dari pihak polisi penangkap sebanyak dua orang. Kedua saksi menyampaikan bahwa mereka adalah penangkap keempat terdakwa dan mengaku tidak melakukan kekerasan. Namun hal ini dibantah terdakwa.

“Di sini ada indikasi bahwa polisi ini, saksi ini berkata bohong karena terdakwa menyampaikan yang menangkap itu bukan lah kedua orang (saksi) tadi, tapi orang dari brimob (brigade mobil),” ungkap Radhite.

Terkait hal ini, LBH Semarang memandang adanya upaya berlebihan pihak polisi yang memaksakan perkara untuk dibawa ke persidangan. Selain itu, terdapat inkonsistensi dari beberapa saksi saat menyampaikan keterangan. Hingga kini, saksi yang didatangkan JPU belum mampu membuktikan tuduhan terhadap empat terdakwa. “Apalagi, keterangan-keterangan ini didapat dari hasil manipulatif dengan kekerasan,” katanya.

Dampak Fisik dan Psikis Korban

Kini, keempat terdakwa masih menjalani proses persidangan pada tahap pemeriksaan saksi dan pembuktian. Pihak LBH Semarang pun mengajukan penangguhan penahanan untuk memulihkan kondisi fisik dan psikis keempat tersangka akibat kekerasan yang diterima hingga menyebabkan trauma. Keempat tersangka kini berstatus tahanan kota dan wajib lapor secara berkala ke kantor polisi dengan dampingan pihak LBH Semarang. Rhadite memperkirakan, kasus ini akan selesai dua sampai tiga bulan mendatang.

Menurut Rhadite, upaya-upaya taktis yang dapat dilakukan untuk membantu terkait kasus ini dan yang serupa dapat dilakukan dengan jalan mendesak negara atau badan pengawas kehakiman seperti berkirim surat kepada Mahkamah Agung (MA) atau Komisi Yudisial (KY) karena lembaga tersebut memiliki kewenangan untuk mengawasi badan kehakiman.

“Sebisa mungkin kita harus memberikan tekanan dan dorongan supaya majelis hakim dapat melihat ini bukan hanya semata-mata kasus pidana saja, tetapi yang harus mereka pahami adalah soal perspektif HAM (Hak Asasi Manusia) dan demokrasi,” tegasnya.

Selain itu, “Perlu bagi kita untuk kemudian merapatkan kembali barisan, kita tinggalkan lah isu-isu sektoral kita yang buruh, mahasiswa, petani, masyarakat miskin, kelompok rentan, kaum minoritas, dan sebaganya. Ayo lah kita punya satu masalah yang sama, kita punya satu musuh besar bernama oligarki,” pungkasnya.

Reporter: Rilanda

Penulis: Rilanda

Editor: Qanish

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top