Sejak pertengahan Januari, dunia akademis Indonesia kembali diterpa isu miring dengan adanya kasus dugaan plagiarisme yang dilakukan rektor terpilih Universitas Sumatera Utara (USU), Muryanto Amin. Ia diduga melakukan self-plagiarism terhadap keempat karya tulisnya sendiri.
Merespon hal tersebut, Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) menyelenggarakan diskusi dengan tema “Kekuasaan dan Plagiarisme di Perguruan Tinggi” pada Kamis (05/02/2021) yang disiarkan langsung melalui kanal Youtube resmi mereka. Diskusi ini dihadiri oleh berbagai akademisi yang memiliki perhatian terhadap kebebasan akademik.
Diskusi diawali dengan menonton video dari kanal Youtube milik Tempo yang berjudul “Wajah Kusam Kampus.” Video ini berisi opini Tempo tentang kasus-kasus Plagiarisme oleh beberapa pimpinan perguruan tinggi.
Stefanus Pramono (jurnalis Tempo), menjelaskan bahwa plagiarisme bukan persoalan yang kecil. Apalagi jika itu menjerat seorang rektor terpilih. Ia juga menambahkan, bahwa plagiarisme ada kaitannya dengan relasi kekuasaan.
“Ini sudah sampai kepada rektornya sebelumnya atau ini juga sudah sampai kementerian pendidikan tapi tidak ada penyelesaian apa pun. Apa yang membuat Kemendikbud dan Kemristekdikti tidak bergerak?” kata Stefanus.
Dosen Sosiologi Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Robertus Robert, menjelaskan lebih lanjut persoalan relasi kuasa ini. Menurutnya, plagiarisme yang sekarang itu bertransformasi menjadi bagian dari transaksi politik pada kasus-kasus tertentu.
Robert mengatakan, “Kehidupan universitas itu ‘kan memang selalu diliputi oleh tiga hal: pertama, dia selalu punya irisan dengan prinsip atau kultur-kultur akademik tertentu, kedua, dia berhubungan dengan relasi kekuasaan politik, dan yang ketiga dengan ekonomi. Ini tiga hal yang saling berkaitan dalam kehidupan universitas dan menghasilkan regangan dan dilema-dilema tersendiri dalam satu tubuh universitas.”
Selanjutnya, Robert menyinggung kasus-kasus plagiarisme yang ramai belakangan terjadi di mana ada relasi yang khas antara birokrat universitas dengan politisi. Relasi ini, menurut Robert, dilakukan untuk mencari akses power resources dan economic resources dalam tubuh negara. Dari situlah muncul praktik-praktik ‘obral’ gelar doktor honoris causa hingga jabatan guru besar.
Haris Azhar, seorang aktivis HAM dan dosen Hukum di STIH Jentera dengan tegas mengatakan bahwa plagiarisme itu memang dianggap sebuah kultur. “Itu dijadikan sebuah excuse untuk meniadakan kecerdasan-kecerdasan dalam dunia kampus. Yang terjadi kemudian tentu merambat ke mahasiswa. Ketika kita ngajar dan ngasih tugas itu mahasiswanya malah gampang ngambil di wikipedia, copy paste. Jadi, problematika ini sudah cukup menyebar luas.”, jelasnya.
Kemudian, Asfinawati sebagai Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) memaparkan materinya yang ia sebut sebagai ‘kejahatan akademis’ terutama peranan pemerintah dalam kelanggengan hal tersebut. Hal itu terbukti dengan adanya Permenristekdikti No.19 Tahun 2017 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Pemimpin Perguruan Tinggi Negeri.
Dari peraturan tersebut bisa kita ketahui bahwa Pemerintah melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mendapat jatah suara 35% dari total suara pemilihan seorang Rektor Perguruan Tinggi Negeri. Sedangkan 65% sisanya dimiliki oleh Senat.
“Tapi setelah saya pikir-pikir kalau ada 2 calon maka dia bisa mendapatkan kemenangan minimal dengan 55% suara. Artinya cukup mendapatkan suara 20% (dari senat) lagi. Karena 35% sudah didapat dari menteri. Sedangkan lawannya, yang kalah, mendapat 45% suara dari senat, tapi tetap kalah dari calon rektor yang mendapat 35% suara pemerintah,” imbuh Asfinawati.
Reporter: Lina
Penulis: Andriv
Editor: Restutama