Baru-baru ini, dunia maya ramai memperbincangkan sejarah yang ‘keliru’ terhadap konsep kerja paksa yang dilakukan oleh seorang petinggi asal Belanda, yaitu Herman Willem Daendels. Seperti yang sudah kita ketahui bahwa narasi kerja paksa yang sering kita ketahui dalam buku-buku pelajaran sejarah pada tingkat SMP-SMA/sederajat di Indonesia menuai polemik tentang nilai kemanusiaan dengan memperkerjakan pribumi secara paksa tanpa adanya upah, bahkan memakan banyak korban jiwa. Namun, utas yang ditulis dalam akun Twitter @Sam_Ardi (https://twitter.com/Sam_Ardi/status/1358677912623357955) menyebutkan fakta bahwa Deandels memberikan upah kepada para pekerja pribumi dalam membangun infrasuktur jalan raya di beberapa daerah. Cuitan tersebut juga diperkuat dengan adanya temuan arsip Belanda yang ditulis rapi dan terperinci dan dapat diakses secara umum melalui media daring pada laman digital collection milik Universitas Leiden, Belanda (https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/view/item/1251234#page/1/mode/1up). Disebutkan pula bahwa mekanisme penyerahan upah tersebut disalurkan melalui bupati daerah, tetapi hal tersebut berbanding terbalik dengan yang kita ketahui pada buku-buku sejarah dalam kurikulum sekolah di Indonesia yang mengatakan bahwa pekerja pribumi dipekerjakan secara paksa; tidak menerima sepersen pun upah pekerja.
Melalui cuitan tersebut, masyarakat mendapatkan perspektif baru dalam memahami sejarah melalui informasi historis yang terdapat dalam arsip. Sebagai sumber informasi, arsip dapat memberi fungsi historis yang merupakan first hand knowledge, yaitu memiliki kredibilitas dan minim subjektivitas, karena arsip ditulis pada saat peristiwa sejarah sedang berlangsung. Pada konteks merekonstruksi sejarah, arsip memiliki peran sebagai sumber sejarah dan perlu dipahami dengan metode sejarah. Arsip memiliki efek domino jika dilibatkan pada proses rekonstruksi sejarah. Selain membantu menungkapkan fakta sejarah yang mendekati objektif, pelibatan arsip dalam rekonstruksi sejarah juga membantu proses pendidikan Indonesia agar memahami identitas bangsa melalui penulisan ulang sejarah. Jika kita lihat lagi tentang arsip Daendels, kita juga mengetahui sisi lain bahwa bangsa Belanda sadar akan pentingnya arsip yang rapi dan detail, serta pengelolaan arsip yang baik dan sistematis. Sehingga arsip dapat memiliki manfaat besar dalam nilai historis dikemudian hari.
Pemerintah Indonesia melakukan upaya dalam rangka pemulangan benda bersejarah Indonesia pada Belanda dalam upaya menulis ulang sejarah, serta menjadi media pembelajaran informasi historis warga negara Indonesia. Menurut Sri Sularsih, Kepala Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, yang dilansir pada laman Tirto.id, arsip berupa manuskrip kuno Indonesia di Belanda lebih banyak daripada di Indonesia. Sebanyak 26.000 manuskrip kuno Indonesia tersimpan di Universitas Leiden, Belanda, sedangkan di Indonesia hanya 10.300 manuskrip kuno Indonesia yang tersimpan pada Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Fakta tersebut tidak terlalu mengagetkan, mengingat Indonesia merupakan bekas tanah koloni di bawah kekuasaan Belanda. Namun, tidak menutup kemungkinan pula bahwa benda-benda tersebut didapatkan dengan cara ‘baik’ yang sebagaimana mestinya, seperti hibah. Dilansir pada portal berita BBC Indonesia, pada akhir tahun 2019, Belanda melakukan repatriasi (pemulangan benda bersejarah) pada 1.500 benda budaya Indonesia dari Museum Nusantara di Delft, Belanda yang tutup akibat keterbatasan dana. Setelah repatriasi tersebut, pemerintah Indonesia dan Belanda tengah melakukan provenance research (menelusuri asal-usul cara perolehan benda bersejarah) pada benda bersejarah lainnya sebelum melakukan repatriasi. Belanda menyebutkan wacana repatriasi tersebut bertujuan untuk menulis ulang sejarah (rekonstruksi).
Pengelolaan arsip yang baik akan membantu mempermudah kerja sejarawan dalam merekonstruksi sejarah dengan metode sejarah. Dalam upaya merekonstruksi sejarah, arsip pun perlu melalui tahapan rekonstruksi, seperti heuristik (menghimpun), kritik (meneliti asal-usul secara kritis), interpretasi (menafsirkan fakta-fakta serta makna yang berhubungan dengan fakta tersebut), hingga tahap historigrafi (penulisan dari hasil penafsiran yang ditulis seperti kisah sejarah yang runur dan selaras). Hal tersebut dimaksudkan agar rekonstruksi sejarah yang ditulis pada historigrafi mendekati sejarah objektif. Sehingga dengan melakukan rekonstruksi sejarah dengan arsip, diharapkan masyarakat dapat mengambil nilai-nilai normatif pada masa lalu yang akan membentuk karakter bangsa Indonesia dan untuk pendidikan yang lebih baik lagi di masa depan.
Penulis : A Sava
Editor: Restutama
Sumber :
Alamsyah, A. (2018). Kontribusi Arsip dalam Rekonstruksi Sejarah (Studi di Keresidenan Jepara dan Tegal Abad Ke-19). Anuva: Jurnal Kajian Budaya, Perpustakaan, dan Informasi, 2(2), 153-163.
Alamsyah, A. (2016). Relevansi Arsip dan Sejarah dalam Proses Pembentukan Karakter Bangsa. HUMANIKA, 19(1), 70-80.
Herlina, N. (2020). Metode Sejarah.
Matanasi, P. (2016, Oktober 31). Perpustakaan Leiden, Jendela Indonesia Di Belanda. Tirto.id. https://tirto.id/perpustakaan-leiden-jendela-indonesia-di-belanda-bZnX
Wijaya, C. (2020, Maret 13). Indonesia-Belanda: Ratusan ribu benda bersejarah Indonesia dimiliki Belanda, akankah segera dikembalikan?. BBC Indonesia. https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-51749544