Potret Suram Kekerasan terhadap Perempuan Indonesia di Masa Pandemi

Ilustrasi : Tio

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) lewat peluncuran catatan tahunan (Catahu) 2021 melalui kanal YouTube dan Zoom pada Jumat, (5/3/21) memparkan hasil pendokumentasian kekerasan terhadap perempuan (KtP) sepanjang 2020 di Indonesia.

Data dihimpun dari tiga sumber, yakni: pengadilan negeri (PN)/pengadilan agama sebanyak 291.677 kasus, lembaga layanan mitra Komnas Perempuan sebanyak 8.234 kasus, serta Unit Pelayanan dan Rujukan (UPR) milik Komnas Perempuan sebanyak 2.389 kasus.

Sebanyak 757 kuesioner disebarkan kepada lembaga-lembaga mitra di seluruh Indonesia. Namun, akibat penyesuaian kerja di masa pandemi, tingkat pengembaliannya hanya 16% yakni 120 kuesioner. Hal ini berdampak pada turunnya angka kasus KtP menjadi 299.911 kasus yang tahun sebelumnya mencapai 431.471 kasus.

“Jika di data kuantitatif yang berdasarkan lembaga layanan, kita mengalami jumlah pencatatan yang menurun, tapi berbeda dengan jumlah pengaduan [langsung] yang masuk ke Komnas Perempuan (yang tahun 2019 1.413 kasus),” ujar Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah.

Selain kapasitas pendokumentasian yang menurun akibat pandemi, lewat survei mengenai dinamika KtP yang dilakukan Komnas Perempuan menunjukan banyak korban yang tidak berani melapor karena selama masa pandemi korban berada dekat dengan pelaku, korban cenderung mengadu pada keluarga atau diam, persoalan literasi teknologi, dan kesulitan adaptasi terhadap model layanan yang berubah menjadi daring.

Berdasarkan data lembaga layanan mitra Komnas Perempuan, jenis kekerasan paling tinggi berada di kategori privat seperti Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) dan ranah personal (RP) yakni sebanyak 6.480 (79%) kasus yang sebelumnya 75%.

“Kalau seandainya kita asumsikan bahwa yang mengumpulkan [kuesioner] itu sama dengan tahun sebelumnya (2019), maka sebenarnya angkanya itu naik sekitar 1.800-an,” ujar komisioner Komnas Perempuan, Alimatul Qibtiyyah.

Bentuk kekerasan di RP dan KDRT tiga teratasnya yakni kekerasan terhadap istri (KTI) 3.221 kasus, kekerasan dalam pacaran (KDP) 1.309 kasus, dan kekerasan terhadap anak perempuan (KTAP) 1.309 kasus. Tiga pelaku utamanya yakni pacar (1.704), mantan pacar (263), dan ayah (165).

Sedangkan KtP di ranah publik/komunitas tiga kasus teratasnya yakni kekerasan seksual yang lain (KS lain) 371 kasus, human traficking 255 yang tahun sebelumnya 212 kasus, dan perkosaan 229 kasus. Tiga pelaku utamanya yakni teman media sosial (330), tetangga (209), dan orang tidak dikenal (138).

“Ini menunjukkan bahwa sebenarnya RUU PKS (Rancangan Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual) yang mengatur banyak fokus di urusan komunitas itu menjadi sesuatu yang sangat penting [untuk disahkan],” terangnya.

Selanjutnya di ranah negara yakni perempuan berhadapan dengan hukum (6), kasus kekerasan terkait penggusuran (2), kasus kebijakan diskriminatif (2), kasus dalam konteks tahanan dan serupa tahanan (10), dan kasus dengan pelaku pejabat publik (1).

Lonjakan Tajam

Tahun ini, Kekerasan Berbasis Gender Siber (KGBS) di RP dan KDRT melonjak tajam dari 35 kasus menjadi 329 kasus, naik 920%. Tercatat ancaman penyebaran foto/video porno (revenge porn) menempati peringkat tertinggi dengan jumlah di RP/KDRT (389) dan ranah komunitas (226). Revenge porn ini menjadi salah satu alat untuk mempermalukan, mengintimidasi, dan mengontrol apa yang harus dilakukan dan tidak dilakukan oleh pasangan/mantan.

“Ini memberikan informasi bahwa ranah siber menjadi tidak aman untuk perempuan melakukan aktivitas. Ranah siber juga menjadikan tubuh perempuan dan seksualitas perempuan menjadi objek,” ujar Siti.

Kemudian, lonjakan terjadi pada dispensasi nikah atau perkawinan anak yang semula 23.126 menjadi 64.211 kasus. Penyebabnya kemungkinan karena situasi pandemi yang meningkatkan intensitas penggunaan gawai sehingga anak lebih cepat menyerap informasi yang belum dipahami efek samping dari aktivitas seksual sehingga terjadi kehamilan, kesulitan ekonomi keluarga sehingga memutuskan untuk menikahkan anaknya, dan mudahnya permohonan dispensasi pernikahan dikabulkan oleh pengadilan.

Lonjakan tajam juga terjadi pada Women Human’s Right Defender (WHRD) atau perempuan pembela Hak Asasi Manusia (HAM) dari 5 kasus menjadi 36 kasus. Sebanyak 31 kasus berbentuk intimidasi terkait kasus yang sedang ditangani baik dalam kasus lingkungan maupun KDRT.

Penyelesaian Kasus

Terdapat tiga pola penyelesaian kasus, yakni penyelesaian hukum, nonhukum, dan N/A atau tidak teridentifikasi. Penyelesaian nonhukum yang dimaksud ialah penyelesaian secara musyawarah yang difasilitasi oleh lembaga-lembaga terkait.

Dalam RP/KDRT, penyelesaian hukum sejumlah 31%, nonhukum 29%, dan N/A 40%. Sedangkan di ranah komunitas, penyelesaian hukum lebih banyak yakni 46%, menyusul N/A 37%, dan nonhukum 17%.

Namun, tidak semua korban kekerasan seksual mendapat keadilan dan pemulihan dari berbagai dampak kekerasan seksual yang dialaminya. Hambatan yang dialami korban mulai dari peraturan perundang-undangan, cara kerja dan perspektif aparat penegak hukum, hingga tidak terintegrasinya sistem hukum pidana dengan sistem pemulihan dan budaya yang masih mempermasalahkan korban.

Komnas Perempuan mencatat sebanyak 10 realisasi rekomendasi pada tahun 2019 terkait perubahan kebijakan diskriminatif oleh pemerintah pusat maupun daerah. Namun seiring meningkatnya kasus yang diadukan ke Komnas Perempuan, rekomendasi yang dikeluarkan kini mengalami peningkatan yakni total 83 rekomendasi. Apalagi, Komnas Perempuan mencatat adanya kemunduruan dan stagnasi kebijakan misalnya pengesahan UU Cipta Kerja terkait ketenagakerjaan dan tidak adanya kemajuan berarti dalam penanganan pelanggaran HAM masa lalu. Beberapa rekomendasi utamanya ialah pengesahan RUU PKS, RUU PPRT (Perlindungan Pekerja Rumah Tangga), dan RUU Masyarakat Adat.

“Kami berharap apa rekomendasi yang disampaikan Komnas Perempuan tahun 2020 secara umum mendapatkan respons baik dari kementerian lembaga maupun dari institusi penegak hukum. Kami harap tahun 2021 surat rekomendasi Komnas Perempuan bisa lebih membantu korban,” pungkas Siti.

 

Reporter: Rilanda

Penulis: Rilanda

Editor: Ban

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top