Judul : Omoide Poroporo
Tahun : 1991
Durasi : 1 jam 58 menit
Sutradara : Isao Takahata
Studio : Ghibli
Jika hari ini tidak beruntung, kau masih punya hari esok
Jika hari esok tidak beruntung, kau masih punya esok lusa
Jika masih tidak beruntung juga, pasti ada yang lain.
Kiranya begitu apa yang coba dikatakan oleh anime ini. Bercerita tentang Taeko, seorang pekerja di Tokyo yang ingin liburan di desa, memetik bunga tepatnya. Dalam perjalanan ke desa, memori masa kecilnya, ntah suka ntah duka, turut serta tanpa mau berpisah.
Sekilas Pandang
Omoide Poroporo, satu dari sederet anime produksi studio Ghibli. Oh, bila nama Ghibli selalu ditautkan kepada Hayao Miyazaki, kali ini kiranya perlu digeser pada Isao Takahata. Doi lah dalang dibalik anime yang sudah saya tonton: Hotaru no Haka (1988), Heisei Tanuki Gassen Ponpoko (1994), dan Kaguya-hime no Monogatari (2013).
Seingat saya, karya Takahata berbanding terbalik dengan Miyazaki. Takahata banyak mengangkat permasalahan harian yang dekat dengan kita, perkara tragedi perang ada di Hotaru no Haka, konflik perebutan lahan hadir lewat Pom Poko, hingga daur ulang folklor di Kaguya-hime no Monogatari.
Takahata akan selalu unik, kalimat pembuka “Pada malam 21 September 1945, aku meninggal” menjadi teror putus asa tanpa henti di Hotaru no Haka. Pada Pom Poko, bila kita jeli akan ada satu adegan dimana kelamin dari tanuki diperlihatkan. Kaguya-hime, pengolahan visualnya ditujukan untuk menghubungkan anime zaman dulu dan sekarang: dari ukiran ke komputer.
Kembali ke Omoide Poroporo, kita akan disuguhkan banyak “materi” yang dimasukkan ke dalamnya. Dari yang sekelibat muncul (tur konser The Beattles, Teater Takarazuka) hingga yang sering muncul (Hyokkori Hyotanjima) menjadi keasyikan tersendiri saat menontonnya.
Lagu yang digunakan dalam anime ini mudah ter-notice, terlebih lagu Eropa. Lagu-lagu ini digunakan saat Taeko beraktivitas di desa. Misal lagu Rumania Cântec De Nuntă, lagu Hungaria Hungarian Dance No.5 yang diputar di mobil. Kemudian yang paling bikin epik, lagu rakyat Bulgaria Malka Moma Dvori Mete yang digunakan saat Taeko akan memetik bunga safflower. Lagu ini juga mempunyai makna kehidupan para petani. Sedangkan lagu ending anime dipinjam dari Amanda McBroom asal Amerika dengan judul The Rose.
Mungkin kalau mau cocokologi, sebagai lulusan Sastra Prancis, bisa jadi doi banyak kena New Waves sineas Prancis. Hadeuhhhh… kalau Edotensei beneran ada, mau tak panggil Takahata buat ngudud bareng, eh tapi garpit bisa masuk kan?
Memori: Bagaimana Ia Hadir dan Tak Mau Pergi
Kita tidak pernah tahu apa yang membentuk kita di detik ini. Dan kita mungkin tidak pernah mencari tahu. Segala macam rangkaian peristiwa dari zaman orok sampai sedetik lalu-lah yang membentuk kita. Terbentur dan terbentuk, begitu. Sama seperti yang dilakukan Taeko, perjalannya bukan sekedar perpindahan manusia dari kota ke desa untuk berlibur. Perjalanan tersebut juga menjadi ajang perlawanan dia terhadap memorinya. Terhadap hal-hal yang membuatnya menjadi dia di hari ini.
Reka ulang memori menjadi jalur alternaif untuk mencari kekerasan yang telah diterima oleh kita. Bukan lagi sekedar kekerasan berwujud macam lebam di kulit, hal-hal yang halus dan tak kasat mata macam pola didik, pola asuh, ataupun omelan orang tua kiranya perlu diperhitungkan. Mungkin seminggu, sebulan, setahun, atau mungkin selamanya kita perlu memetakan kembali kekerasan yang diterima.
Kemudian jalan lainnya yang bisa ditempuh ialah berbagi. Seperti Taeko, berbagi fragmen masa kecilnya. Taeko mencoba menolak hukum alam yang terjadi sekarang: orang bertemu di waktu sekarang tanpa tau dia yang kemarin seperti apa. Kita dapat melihat Taeko secara utuh. Kita bertemu Taeko kecil dan Taeko besar. Dan kita melihat setiap permasalahan Taeko.
Taeko mengingatkan pada hal yang mulai saya lupakan. Pasti ada cara untuk bersenang-senang. Badai pasti datang kita tak akan menang. Mengapa harus bimbang?
Penulis : Raihan Rizqullah
One thought on “[Ulasan Film] Omoide Poroporo: Memungut Kembali Memori”