Ketidakramahan Gim Bukan hanya Dari Gimnya

Ilustrasi: Wafa FalaahNisa

Gim merupakan kegiatan rekreasional yang tujuannya untuk mengurangi rasa jenuh si pemain. Namun, kita bisa dengan mudah menemukan influencer di platform berbagi video seperti YouTube dan Twitch mengumpat hal toxic saat bermain gim. Tidak hanya itu, para orang tua juga menemukan bahwa anaknya melakukan tindakan yang sama seperti para influencer tersebut, berkata jorok. Lebih lagi baru-baru ini diberitakan ada anak yang kecanduan gim menghabiskan banyak uang orang tuanya demi membeli item di dalam gim. Masalah-masalah tersebut memunculkan pertanyaan, apakah gim itu ramah? Sekilas, sih, gim mendorong si pemain untuk melakukan tindakan-tindakan buruk tersebut. Namun, apakah benar perilaku tersebut muncul hanya karena gim?

Dalam kasus pemain yang toxic saat bermain gim, biasanya tindakan toxic yang dilakukan adalah mengumpat kata-kata kotor sendiri dan merendahkan lawan maupun kawan. Tindakan-tindakan tersebut hadir karena emosi-emosi sesaat yang muncul saat bermain gim. Emosi tersebut yaitu amarah dan kegembiraan. Amarah yang di mana muncul saat si pemain kalah atau progressnya berhenti dan kegembiraan saat si pemain menang dari lawan. Dari sini bisa dilihat bahwa gim tidak berperan besar dalam ke-toxic-an pemainnya. Gim hanya memicu emosi pemain dari aksi yang dilakukan oleh pemainnya itu sendiri. Selain itu, bagaimana emosi direalisasikan dalam bentuk fisik itu juga datang dari si pemain. Jika orang yang memang dari awal toxic terpicu emosinya, dari gim maupun hal yang lain, maka orang itu akan bertindak toxic. Seseorang yang tidak toxic akan memilih aksi perayaan yang sehat saat memenangkan sebuah pertandingan, sedangkan orang yang toxic akan merendahkan lawannya karena itu sumber kesenangannya. Dalam hal ini, bisa dibilang bahwa ke-toxic-an dari seorang pemain itu tidak datang dari gim, akan tetapi sudah ada dalam dirinya sendiri, don’t hate the game, hate the player.

Peran orang tua di sini sangatlah penting. Seorang pemain yang masih anak-anak itu harus dididik agar tidak tumbuh menjadi orang yang toxic. Banyak orang tua yang keliru dengan berpikir gim itu yang membuat anaknya toxic. Namun dari tulisan di atas, kita tahu bahwa hal tersebut salah. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi bagaimana seseorang berinteraksi, di antaranya ada imitasi dan identifikasi. Seorang anak sangatlah rentan akan apa yang dilihatnya. Mereka akan meniru apa yang mereka lihat dan membuat hal tersebut tertanam dalam otaknya yang masih berkembang. Peran orang tua di sini sangat dibutuhkan, bukan? Orang tua perlu memberitahu anak mana tindakan yang diterima masyarakat dan mana yang tidak. Orang tua bisa juga membatasi atau mengatur apa yang dilihat oleh si anak. Hal tersebut termasuk apa yang ditonton si anak. Salah satunya ialah influencer yang toxic dalam bermain gim.

Influencer yang toxic ini seringkali dikaitkan dalam efek negatif bermain gim. Tindakan toxic para influencer ini seolah-olah dianggap sebagai stereotip seorang pemain gim, akan tetapi kita tahu bahwa hal tersebut tidak benar. Perilaku toxic influencer ini lebih bisa dikaitkan ke bagaimana tontonan bisa mempengaruhi perkembangan anak karena yang menonton mereka kebanyakan anak-anak, kan? Para influencer yang toxic tersebut jika dikritisi ke-toxic-annya yang bisa memberi efek buruk ke penontonnya akan menggunakan tameng yang berbunyi bahwa para penontonnya bisa memilih tontonan lain dan orang tua mereka bertanggung jawab atas tontonan anak-anaknya. Selain itu para influencer tersebut juga tidak akan menghentikan sikapnya yang toxic selama masih ada demand di mana dia membuat konten. Karena hal itu, peran orang tua penting untuk menyelamatkan anak-anak mereka dari menjadi orang toxic.

Peran orang tua tidak berhenti sampai situ saja. Seorang anak bisa terjerumus trik monetisasi sebuah gim dan menghabiskan banyak uang orang tuanya. Dalam Pocket Gamer Connects Helsinki 2016, Torulf Jernström, CEO dari perusahaan gim Tribeflame, berbicara tentang trik dalam memonetisasi mobile game yang gratis. Dalam pembicaraannya, setidaknya ada 19 trik dalam monetisasi. Di Indonesia, para pemain gim sering terkena 5 dari 19 trik tersebut. Trik yang pertama ialah Gacha. Gacha adalah istilah yang diambil dari mesin gashapon di Jepang. Istilah ini digunakan untuk praktik monetisasi di mana si pemain akan mendapat item tapi item yang didapat itu acak. Hal ini membuat pemain yang ingin sebuah item tertentu harus melakukan gacha berulang kali sampai dapat.

Selanjutnya adalah Availability. Disaat seorang pemain mendapat item di gacha, biasanya akan muncul sebuah pesan yang disampaikan ke semua pemain bahwa orang ini mendapat item tersebut. Hal ini menarik pemain-pemain lain jika gacha tersebut tidak hanya tindak penghamburan uang semata, namun bisa dimenangkan.

Trik yang ketiga adalah Anchoring, trik di mana pemain serasa diuntungkan saat membeli item dengan harga yang “tidak normal”. Pengembang gim akan memberi item dengan harga yang tinggi agar si pemain merasa bahwa harga tinggi tersebut merupakan harga standarnya, kemudian sang developer tersebut akan memberi diskon besar ke item tersebut yang memancing pemain untuk membeli.

Trik selanjutnya adalah Monetization by Bartle Type. Seorang pengembang gim harus tahu seperti apa tipe pemain yang memainkan gimnya karena dengan itu, pengembang gim dapat menjual item yang sudah pasti akan dibeli. Trik terakhir yang relate dengan keadaan gamer Indonesia ialah $1,000 USD. Maksud dari trik ini adalah membuat standar apa yang bisa dibeli dalam gim tinggi agar uang yang dipakai juga tinggi. Dilihat dari dua gim mobile terlaris di Indonesia seperti Mobile Legend (ML) dan Free Fire (FF), bisa kita lihat keduanya menggunakan kelima trik tersebut. Pemain dua gim tersebut masuk ke tipe pemain Socializer berdasarkan klasifikasi Richard Bartle. Mereka sangatlah mementingkan skin atau kostum untuk dipamerkan ke teman-temannya. Lalu bagaimana developer dari ML dan FF mengabulkan permintaan mereka? Gacha skin. Dua gim tersebut sering mengadakan event gacha yang berhadiah skin. Tidak hanya itu, mereka biasanya juga memberi diskon pada in-game currency yang menggiurkan para pemain. Lalu disaat seseorang memenangkan skin, pada kotak obrolan gimnya muncul pesan kemenangan mereka. Dengan trik-trik tersebut, pengembang gim ML dan FF membuat para pemainnya menghabiskan uang secara terus menerus seperti pada kasus 2019 lalu di mana seorang anak menghabiskan Rp11 juta untuk Mobile Legend, Free Fire, dan Minecraft. Dalam hal ini, orang tua tidak hanya mendidik tapi juga mengawasi gerak-gerik anaknya dalam bermain gim. Orang tua harus membatasi akses segala jenis kartu pembayaran dari anak. Disaat mereka mau membeli sebuah item, maka orang tua lah yang harus melakukan pembayarannya dan tidak membiarkan anak mereka membayarnya sendiri. Jika terlambat, maka hasilnya akan seperti kasus Rp11 juta.

Dari sini bisa kita lihat bahwa yang tidak ramah dalam kegiatan bermain gim itu ada dua. Salah satunya adalah pemainnya. Sama seperti kegiatan lain yang ada kompetisi dan progress di dalamnya, gim memicu emosi pada pemainnya. Lalu apakah kegiatan-kegiatan lain bisa dibilang tidak ramah? Ketidakramahan atau ke-toxic-an itu muncul dari bagaimana seorang anak tumbuh dan berkembang. Jika orang tua melepas tanggung jawab mereka dalam mendidik dan mengatur anak, lantas si anak akan menjadi toxic.

Salah satu faktor yang dapat membuat anak tumbuh menjadi seseorang yang toxic adalah tontonannya. Anak-anak suka menonton para influencer. Namun sayangnya, influencer yang mereka tonton ada yang berperilaku toxic. Hal tersebut akan mempengaruhi bagaimana anak-anak berperilaku, akan tetapi para influencer tersebut berlindung di balik tanggung jawab orang tua ke anak.

Ketidakramahan yang kedua adalah monetisasinya. Monetisasi sebuah gim dirancang oleh developer untuk menguras dompet pemainnya, termasuk anak-anak dengan kartu debit maupun kredit orang tuanya. Dalam hal ini monetisasi dalam gim berperan dalam mendorong pemainnya dalam melakukan tindakan penghamburan uang. Cara para orang tua untuk mencegah hal itu adalah mengawasi penggunaan uang si anak dengan membatasinya. Dengan begitu, orang tua tahu dan akan mendidik anaknya agar tidak banyak menghabiskan uang untuk gim.

Penulis: Sun Alfi
Editor: Rilanda

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Back To Top