Senin (11/03/22), Undip Aman KS mengajukan amicus curiae ke Mahkamah Agung (MA) RI untuk menolak permohonan uji materiil oleh Lembaga Kerapatan Adat Alam Mingangkabau (LKAAM) Sumatra Barat terhadap Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Amicus curiae tersebut diterima langsung oleh Arif Donovan selaku Koordinator Hak Uji Materiil MA RI.
Undip Aman KS merupakan gerakan kolektif mahasiswa Universitas Diponegoro (Undip) yang bergerak dan peduli terhadap isu kekerasan seksual (KS) yang bertujuan untuk mewujudkan lingkungan perguruan tinggi yang aman dan bebas dari kekerasan seksual.
Sukinta, akademisi Fakultas Hukum Undip menjelaskan bahwa amicus curiae merupakan bentuk keterlibatan masyarakat untuk memberikan masukan-masukan terhadap pengadilan MA yang menerima uji materiil. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 5 ayat (1) Undang Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
“Bukan untuk melawan, tapi kita sebut sebagai sahabat pengadilan. Karena mahasiswa menjadi sasaran utama dalam Permendikbudristek nomor 30 tahun 2021. Mahasiswa pihak yang berkepentingan dalam ranah pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di perguruan tinggi,” terang Sukinta.
Dalam keterangan resmi yang diterima Hayamwuruk, Undip Aman KS memandang pengajuan amicus curiae merupakan upaya dalam membantu memberikan perspektif lain kepada majelis hakim dalam memutus perkara yang sedang diperiksa. “Oleh karenanya, besar harapan kami kepada majelis hakim dapat mempertimbangkan amicus curiae yang telah kami ajukan,” tulisnya.
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbudristek RI, Nizam sangat mengapresiasi mahasiswa yang telah peduli untuk turut serta mewujudkan kampus aman dari kekerasan seksual. Karena menurutnya, kasus KS ibarat fenomena gunung es. “Korban tidak berani melapor dan tidak tahu ke mana harus melapor. Kalau melapor takut karena payung hukum yang lemah untuk melindungi penyintas kekerasan seksual,” ujarnya melalui Zoom.
Mengenai keberadaan frasa “tanpa persetujuan korban” yang menjadi dasar pengajuan uji meteriil, Undip Aman KS berpendapat justru frasa tersebut menjadi hal yang sangat penting untuk diakomodir karena frasa tersebut memiliki fungsi untuk menentukan apakah suatu tindakan merupakan kekerasan seksual atau tidak.
Ika Yuli Herniana, Kepala Operasional Legal Resource Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM) Semarang menuturkan bahwa selama ini frasa “tanpa persetujuan korban” adalah hal yang menjadi polemik. Padahal menurutnya, tujuan adanya frasa tersebut adalah agar korban tidak dikriminalisasikan dan tidak menjadi pelaku ketika kasusnya dilaporkan.
“Frasa “tanpa persetujuan korban” tidak dipahami bahwa aturan itu ditafsirkan bisa melegalisasi perzinahan, tetapi dalam hal ini digunakan untuk menunjukan bahwa dalam realisasi yang tidak seimbang. Jadi, korban mengiyakan kekerasan seksual terjadi karena ada tekanan, relasi kuasa, dan tidak seimbang,” jelas Ika.
Ika menegaskan bahwa Permendikbudristek nomor 30 tahun 2021 sudah sangat bagus dan progresif karena berusaha melindungi korban dan telah menciptakan ruang aman ketika penyintas ingin melapor.
Nizam berharap dengan adanya pengajuan amicus curiae oleh mahasiswa Undip dapat diikuti kampus lain untuk bersama-sama bergandeng tangan dan bergotong royong memastikan kampus bebas dari kekerasan seksual. “Ini semua membutuhkan perjuangan bersama-sama untuk mewujudkan lingkungan yang aman bagi seluruh warga kampusnya untuk dapat bebas berkreasi, berinovasi, menuntut ilmu, dan mengembangkan dirinya,” ajaknya.
Reporter: Lala
Penulis: Lala
Editor: Rilanda