Minggu (18/7/22), Teater Emper Kampus (Emka) kembali gelar Malam Gairah Bulan Purnama (MGBP) bertajuk “Dolan bareng Teater Emka” di crop circle Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Diponegoro. Bayangnow dan Wayang Gaga, Teater Genesa, Teater Dipo, Wadah Musik Sastra (WMS), dan Unit D digandeng Emka untuk ramaikan acara.
Emka suguhkan dua pementasan, pertama soal tekanan selama sekolah, kedua soal isu kekerasan seksual (KS). Ainaya selaku sutradara pementasan kedua mengatakan, tema soal KS dipilih karena akhir-akhir ini kasus KS kerap terjadi dan marak diungkap ke publik.
“Jadi pentas kedua itu milih isu tentang kekerasan seksual. Sebelumnya aku cari isu yang marak atau dekat dengan kita dan aku kepikiran akhir-akhir ini sering terjadi, apalagi di kota lain tidak cuma di sini (Semarang) aja dan itu juga isunya masih hangat,” terang Ainaya.
Dengan Via Enggelina sebagai pemeran utama, suguhan kedua Emka ini menampilkan sosok perempuan yang tengah menjalani masa traumatis akibat kekerasan seksual yang dialaminya. Penonton diperlihatkan bagaimana penyintas memiliki kecenderungan menyakiti diri sendiri (self harm) dengan menggenggam dan mempermainkan pisau di bagian pembuka.
Di pertengahan, penyintas tampak berhasrat untuk melakukan perlawanan dengan berulang kali meneriakkan, “Aku harus melawan!”.
“Di sini dia (penyintas) mencoba buat bangkit, melawan, speak up,” jelas Ainaya saat sesi diskusi di penghujung acara.
Namun dari sisi kiri dan kanan, sontak sejumlah penonton melempari penyintas dengan air yang diwadahi plastik sambil meneriakkan bertubi makian merendahkan seperti “Lonte!” “Pelacur!” “Dasar murahan!” “Salahmu sendiri!”. Penyintas pun tampak kembali melemah dan mengurungkan niatnya untuk melawan.
Lemparan dan cacian ini, lanjut Ainaya, merupakan representasi masyarakat Indonesia yang kerap menyalahkan korban KS (victim blaming). “Masyarakat sekitar malah memojokkan dia (penyintas). Dan akhirnya membuat dia semakin takut dan gak berani lagi [melawan],” tambahnya.
Ainaya tidak berlebihan. Riset oleh International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) bersama Indonesia Judicial Research Society (IJRS) mengenai kesetaraan gender (2020) menunjukkan, masyarakat Indonesia memang masih menyalahkan korban atas kekerasan seksual yang diterimanya, salah satunya soal pakaian terbuka yang dianggap mengundang syahwat.
Selain itu, Ainaya juga menyayangkan Undip yang tak kunjung menerapkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi (Permen PPKS). Padahal, peraturan tersebut telah disahkan sejak November 2021 lalu.
“Aku berharapnya itu (Permen PPKS) emang bener-bener diterapkan di Undip, karena misal kalo aku sendiri yang ngalamin pasti bakal kena trauma,” katanya.
“Siapa tau di fakultas-fakultas lain ada yang ngalamin itu dan dari petinggi-petinggi kampus [ada] yang gak tau atau mereka malah tutup mulut,” tambahnya.
Reporter: Alaina, Ningrum, Rilanda
Penulis: Lala
Editor: Rilanda