Permenkominfo 5/2020 Ancam Kebebasan Pers dan Hak Privasi

Sumber Gambar: Canva

Belakangan, melalui Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika Nomor 5 Tahun 2020 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) Lingkup Privat (Permenkominfo 5/2020), publik diramaikan dengan ancaman Kominfo RI blokir PSE Privat yang enggan daftar.

Platform seperti WhatsApp pun buru-buru susul Instagram, TikTok, Spotify, Netflix, Mobile Legends, dll. untuk berada di jajaran platform terdaftar. Namun di samping itu, sejumlah pihak menilai berbagai pasal dalam Permenkominfo 5/2020 ini menjadi momok baru bagi kebebasan berekspresi dan berpotensi langgar privasi. Berikut daftar pasal-pasal bermasalahnya:

Pasal 1 Ayat 5-7 Permenkominfo 5/2020 memuat definisi PSE Privat yang tidak hanya meliputi media sosial, tapi juga gim online, situs belajar, media user generated content (UGC), dll. baik milik perorangan, badan usaha, atau masyarakat. Selain itu, Pasal 2 Ayat (2) huruf b Nomor 5 mengkategorikan layanan penyediaan informasi elektronik berbentuk tulisan, suara, gambar ke dalam PSE Privat.

Menurut Direktur Eksekutif Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, Ade Wahyudin, sasaran PSE Privat dalam pasal-pasal tersebut dianggap terlalu luas karena berlaku untuk semua platform digital. Hal itu dinilai menimbulkan ancaman bagi platform kecil yang berusaha menyuarakan kritik, saran, dan suara-suara publik seperti pers.

“Meskipun pemerintah saat ini mencanangkan pendaftaran hanya untuk di sektor bisnis, tapi sebenarnya kalau kita lihat dari definisi itu tidak menutup kemungkinan lembaga-lembaga nonprofit seperti persma itu juga terkena dampak, bisa juga dikejar untuk melakukan pendaftaran ini. Itu kalau kita lihat dari definisi PSE lingkup privat. Jadi bukan hanya badan hukum aja,” ujarnya kepada Hayamwuruk (24/7/22).

Kemudian Pasal 9 ayat (3) dan (4) Permenkominfo 5/2020 yang memuat ketentuan PSE Privat tidak mengandung informasi atau dokumen elektronik yang dilarang atau memfasilitasi pertukarannya. Maksud “dilarang” yakni melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan, meresahkan masyarakat, dan mengganggu ketertiban umum.

Frasa “meresahkan masyarakat” dan “mengganggu ketertiban umum”, lanjut Ade, terlalu luas sehingga semua pihak dapat terjerat tergantung siapa yang dapat menafsirkannya.

“Kalau dalam sistem PSE berarti, ya, hanya kominfo lah yang punya kewenangan tunggal untuk menilai ini meresahkan atau enggak, ini mengganggu ketertiban umum atau enggak. Sehingga ini memicu perdebatan di publik terkait dengan ini sangat karet dan sangat multitafsir,” ujar Ade.

Selanjutnya, Pasal 14 ayat (3) Permenkominfo 5/2020 memuat permohonan pemutusan akses terhadap informasi atau dokumen elektronik yang meresahkan atau mengganggu ketertiban umum bisa dilakukan oleh masyarakat, kementerian/lembaga, aparat penegak hukum, dan lembaga peradilan.

“Ketentuan ini berisiko membuka pintu bagi siapa saja, termasuk mereka yang memiliki agenda politik, dapat mengajukan blokir terhadap konten/berita yang sebenarnya memuat kepentingan publik, tapi dinilai sepihak meresahkan publik atau mengganggu ketertiban umum,” kata Aris Mulyawan, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Semarang (24/7/22).

Padahal menurut Herlambang P. Wiratraman, Peneliti Hukum dan HAM Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), pemutusan akses tidak bisa diatur di level peraturan menteri karena hak akses merupakan hak asasi manusia yang termaktub dalam Deklarasi Universal HAM dan Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik yang sudah diratifikasi Indonesia sejak 2006.

“Membatasi hak itu tempatnya bukan di level menteri, membatasi hak levelnya undang-undang. Itu dalam teori perundang-undangan. Jadi sebenarnya kurang tepat pengaturannya,” ujarnya dalam diskusi publik yang digelar Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) Jumat, (26/10/21).

Lalu Pasal 21 dan pasal 36 Permenkominfo 5/2020 memuat ketentuan PSE privat wajib memberikan akses sistem dan data elektronik ke kementerian/lembaga untuk pengawasan dan ke aparat penegak hukum untuk penegakan hukum.

Ketentuan ini dinilai Aris dapat menyebabkan penyalahgunaan data pribadi masyarakat sipil untuk membatasi pergerakan mereka yang kontra dengan pemerintah. Dalam lingkup pers, lanjut Aris, data jurnalis berisiko bocor dan disalahgunakan untuk kontrol, pengawasan, dan sensor oleh pemerintah.

“Pemerintah dan aparat dengan mudah bisa mengakses data pribadi dan membuka ruang pelanggaran hak privasi, termasuk pada jurnalis-jurnalis yang menjadi target,” kata Aris.

Lha, [kalau] mau liputan investigasi terus datanya bocor, gimana?” tambahnya.

Reporter: Sun Alfi, Dewi, Rilanda
Penulis: Suci
Editor: Rilanda

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Back To Top