Implementasi Undang-Undang TPKS di Jawa Tengah: Eksistensi Perempuan dalam Tindak Kekerasaan

Sumber Gambar : muhammadiyah.or.id

Legal Resource Center untuk Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM) memaparkan laporan tahunan kekerasan terhadap perempuan di Jawa Tengah dalam diskusi daring bertajuk “Bergerak Bersama Mengawal Implementasi UU TPKS untuk Penguatan Implementasi Cedaw” sekaligus peringatan ratifikasi 38 tahun Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (Cedaw) pada Jumat (29/7/22).

Diskusi dipantik oleh Ema Rachmawati perwakilan Bareskrim Polri, Sri Dewi Indrajati Kepala Bidang Perlindungan Perempuan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak Jawa Tengah, dan Nur Laila Hafidhoh selaku direktur LRC-KJHAM.

Menurut Ema, faktor-faktor perlunya upaya nyata implementasi penegakan hukum Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasaan Seksual (UU TPKS) karena tingginya angka kekerasan seksual di Indonesia dengan kompleksitasnya (pelaku dan latar kejadian). Selain itu, keterbatasan instrumen dan aturan hukum tidak mengakomodir keseluruhan hak-hak korban terkait perlindungan.

“Kenapa UU TPKS harus segera disusun? Karena kita melihat bahwa kasus kekerasan seksual di Indonesia cenderung meningkat terutama korban perempuan dan anak, bahkan signifikansinya lebih mendominasi daripada kasus-kasus lain,” terang Ema.

Dengan situasi Indonesia gawat kekerasan terhadap perempuan dan anak, tantangan implementasi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasaan Seksual (UU TPKS) selanjutnya yakni Aparat Penegak Hukum (APH) yang berkompeten dalam menafsirkan segala jenis tindak pidana dan pasal, perlindungan, pemenuhan hak atas restitusi, konsep pelayanan, hingga pendanaan dan sarana prasarana yang harus dimatangkan kompetensinya.

Nah, ini juga terkait bagaimana sikap APH seperti apa yang dapat menangani suatu kasus kekerasan seksual,” lanjut Ema

Ema menyebutkan, APH pun memiliki syarat khusus dalam menangani kasus kekerasan seksual yakni memiliki perspektif korban dan HAM, telah mengikuti pelatihan penanganan TPKS, dan penerbitan keputusan oleh kapolri maupun pejabat yang ditunjuk.

Sri Dewi Indrajati mengatakan, perlunya strategi pengimplementasian kebijakan pasca pengesahan UU TPKS tingkat daerah yang sesuai dengan 5 arahan presiden. Sebab menurutnya, “Kondisi penanganan kasus kekerasaan di Jawa Tengah pra dan pasca disahkannya UU TPKS sangat berbeda dan mempengaruhi konsistensi korban, jadi kita perlu mematangkan strategi pemprov Jawa Tengah,” terangnya.

Strategi yang dimaksud adalah membentuk Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Jawa Tengah, tetap mempertahankan pusat pelayanan terpadu (PPT), workshop bagi APH, sosialisasi UU TPKS kepada masyarakat, serta melaksanakan Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (SPPT PPKTP).

Strategi tersebut selaras dengan kasus yang dipaparkan oleh Nur Laila Hafidhoh selaku direktur LRC-KJHAM yang menegaskan bahwa kekerasaan seksual tidak hanya dalam bentuk pemerkosaan dan korbannya kerap perempuan.

“Tujuh kasus yang beredar di media elektronik pada tahun 2021 pelaku menyebarkan foto/video bagian tubuh (payudara/vagina korban), eksploitasi tubuh korban dengan pengunggahan video/foto pada media sosial, perekaman aktivitas hubungan seksual, serta korban dipaksa video call dengan pakaian seksi,” jelas Nur Laila.

Paska disahkannya UU TPKS, ia berharap konsistensi korban dalam menghadapi kasusnya lebih berkembang karena kemudahan layanan. Diharapkan hal ini juga menular ke seluruh lapisan masyarakat.

Reporter: Farhan
Penulis: Indri
Editor: Qanish

Leave a Reply

Your email address will not be published.

Back To Top