Hak Ulayat Masyarakat Adat Terancam Akibat Ulah Negara

Bertepatan dengan Hari Masyarakat Adat Internasional, Amnesty International Chapter Universitas Airlangga (Unair) adakan webinar daring di Zoom bertajuk “Menilik Dampak Pemindahan Ibu Kota Negara terhadap Hak-hak Masyarakat Adat”, Selasa (9/8/22). Diskusi dihadiri Sri Endah Kinasih (Dosen Antropologi Unair) dan Cindy Julianty (Program Manager BRWA dan WGII).

Sri Endah Kinasih menjelaskan, masyarakat adat ialah kelompok yang secara geografis berada di wilayah yang sama, memiliki ikatan dengan leluhur yang sama, bersifat ajeg dan tetap dengan seperangkat norma dan lembaga adat untuk mengatur pranata sosial, ekonomi, politik, dan hukum yang berlaku sesuai dengan masyarakat itu sendiri.

“Dalam masyarakat adat terdapat istilah hak ulayat yang meliputi sumber daya alam seperti tanah, air, tumbuhan, binatang yang harus dipertahankan dan dilestarikan sebagai konsep kosmologi (keseimbangan),” tutur Sri Endah Kinasih.

Untuk tetap dapat mempertahankan hak ulayatnya, masyarakat adat perlu untuk meregistrasi wilayah adatnya agar tidak diserobot negara dan pengusaha. Sebagai insiatif, tahun 2011 dibentuk lembaga swadaya masyarakat bernama BRWA (Badan Registrasi Wilayah Adat) yang bekerja sama dengan WGII (Working Group ICCA’s Indonesia), sebuah kelompok kerja yang dibentuk untuk mendokumentasikan dan mendukung ICCA’s (Indigenous and Local Community Conserved Areas) atau praktik konservasi yang dilakukan oleh masyarakat adat di antaranya soal hutan titipan dan hutan keramat.

Namun menurut Cindy Julianty (Program Manager BRWA dan WGII), masyarakat adat kesulitan mendapat pengakuan atas hak ulayat tanah akibat aturan hukum yang berlapis. Dalam skala internasional, terang Cindy, ada UNDRIP (United Nations Declarations on The Rights of Indigenous People), Nagoya Protocol, konvensi International Labour Organizations (ILO), dan Convention on Biological Diversity. Sedangkan level aturan undang-undang, ada UUD Negara Republik Indonesia (NRI) Tahun 1945 Pasal 18 B Ayat (2) dan Pasal 28I Ayat (3), UU Kehutanan, UU Pesisir Pulau Kecil, dan UU Pokok Agraria, ditambah berbagai aturan di level kementerian.

“Jadi artinya, kalau kita lihat instrumen hukum di level nasional cenderung berbelit-belit, ya, tanpa adanya undang-undang yang lebih khusus mengatur soal masyarakat adat [sehingga] proses pengakuan dan perlindungan masyarakat adat itu di Indonesia jadi sangat njlimet,” ujar Cindy.

Selain permasalahan hukum, masyarakat adat khususnya di Kabupaten Kutai Kartanegara dan Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, dihadapkan dengan persoalan pemindahan ibu kota negara (IKN) yang dalam perencanaan dan pembangunannya tidak dilakukan melalui mekanisme FPIC (Free Prior Informed Consent) atau persetujuan tanpa paksaan yang layak bagi wilayah adat yang terdampak, “Artinya, kalau ada rencana pembangunan infrastruktur dsb. itu harus kita sowan dulu ke orang yang punya tanah, kita harus tanyakan dulu mereka mau enggak, tanahnya kita bangun?” kata Cindy.

“Kemudian kalau memang, katanya, sudah ada persetujuan, kita lihat persetujuannya dari siapa. Apa iya, persetujuannya memang dari masyarakat adat sebenarnya atau dari oknum? Atau apakah persetujuan ini sudah sesuai prosedur, tidak dalam agenda politik dengan cara penyuapan dan iming-iming,” tambahnya.

Berdasarkan data dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) pada 2021, rencana pembangunan IKN akan mencaplok lahan seluas 256,146 hektar. Di Kutai Kartanegara, ada berbagai komunitas dari etnis Kutai, Dayak Modang, Benuaq, Tunjung, Kenyah, Punan, dan Basab. Sedangkan di Panajam Pasir Utara, terdapat komunitas-komunitas dari etnis Paser, Suku Balik, dan beberapa komunitas dari sub etnis Dayak Kenyah dan Dayak Modang.

Nah, kita mengidentifikasi ada 51 kesatuan masyarakat adat yang berada di kedua kabupaten ini. 17 di antaranya sudah menjadi anggota AMAN, artinya sudah terorganisir sebagai sebuah gerakan masyarakat adat, 20.000 populasinya juga terdampak,” jelas Cindy.

Namun akibat minimnya perlindungan hukum, menurut Cindy masyarakat adat rentan alami kriminalisasi dan diskriminasi, “Memang ada perda yang mengakui keseluruhan masyarakat adat di Kalimantan Timur, tapi belum jelas,” katanya.

Meskipun ada perda perlindungan adat istiadat suku Paser di Penajam Paser Utara, kata Cindy itu hanya untuk aspek budaya, “Jadi tidak berbicara “melindungi”, bunyinya belum [soal] penetapan [wilayah adat],” sambungnya.

Selain itu, absennya peraturan mengenai pemulihan hak dan resolusi konflik dalam UU IKN Nomor 3 Tahun 2022–yang pengerjaannya hanya 42 hari—menurut Cindy jadi masalah lain. Ditambah pembentukan formilnya tidak melibatkan masyarakat adat sehingga proses legislasinya pun janggal dan sarat kepentingan ekonomi-pembangunan.

“Persoalan tersebut akan berdampak bagi masyarakat adat karena tidak adanya kepastian atas tanah, memperbesar potensi kriminalisasi, konflik agraria. Secara ekonomi akan ada ketimpangan penguasaan sumber daya alam, menghilangkan sumber penghidupan. Dilihat dari perspektif sosial-budaya, proses-proses migrasi berdampak pada hilangnya identitas budaya, tradisi, sejarah asal usul. Hal tersebut juga memengaruhi lingkungan hidup seperti meningkatkan deforestasi yang dapat memicu bencana alam yang lain,” tutup Cindy.

Reporter: Dini, Risha
Penulis: Dini
Editor: Rilanda

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top