Marhaban Ya Piala Dunia yang Sepi Euforia

Sumber Gambar: Unsplash/Stefan Lehner

Hajatan Piala Dunia 2022 resmi digelar dengan pertandingan pembuka antara Qatar melawan Ekuador pada Minggu, 20 November 2022. Penantian lama lebaran sepakbola yang berperiode empat tahun sekali ini akhrinya kembali ke tanah Asia dengan Qatar sebagai sahibulbait-nya. Hal ini merupakan pengalaman baru penyelenggaraan Piala Dunia di negara Timur-Tengah yang memiliki kultur dan iklim sepakbola yang “berbeda” dibanding dengan tuan rumah sebelumnya.

Dengan perbedaan tersebut seharusnya Qatar bisa menciptakan edisi Piala Dunia yang unik. Faktanya, perbedaan kultur tersebut yang menyebabkan fans sepakbola merasakan euforia Piala Dunia tahun ini menurun dibanding edisi sebelumnya. Piala Dunia 2010 misalnya, Afrika Selatan sebagai penyelenggara memanfaatkan perbedaan kultur dan iklim sepakbolanya menjadi sebuah keunikan sehingga menjadi edisi Piala Dunia paling dikenang sepanjang masa

Sebenarnya apa saja yang menyebabkan Qatar tidak mampu memanfaatkan perbedaan tersebut sehingga terjadi penurunan animo Piala Dunia tahun ini?

Beberapa bulan sebelum Piala Dunia dimulai muncul sebuah trending di Twitter bahwa Qatar sebagai tuan rumah melarang perilaku LGBT+ dan beberapa perilaku lainnya, seperti dilarang meminum alkohol, berkencan atau berpakaian. Hal ini menimbulkan pro dan kontra baik dari pecinta sepakbola maupun masyarakat awam mengenai larangan tersebut. Banyak yang mengatakan bahwa larangan tersebut malah membatasi kultur fans sepakbola dalam merayakan Piala Dunia.

Fans sepakbola yang seharusnya menjadikan momen Piala Dunia ini sebagai ajang “kebebasan” malah terkekang dengan peraturan yang ketat. Akhirnya banyak masyarakat yang mempertimbangkan merayakan Piala Dunia secara langsung di Qatar atau secara daring. Pertimbangan lainnya bagi fans sepakbola untuk merayakan langsung momen Piala Dunia ialah perubahan waktu pelaksanaan yang umumnya pada pertengahan tahun bergeser ke akhir tahun.

Biasanya Piala Dunia dilaksanakan sekitar bulan Juni sampai Juli yang bertepatan dengan musim panas. Rentang waktu tersebut dapat dirayakan tidak hanya oleh fans sepakbola tetapi juga masyarakat awam sebagai alternatif liburan musim panas. Ketika pelaksanaan Piala Dunia dipindahkan ke musim dingin, perhelatan Piala Dunia sebagai alternatif liburan tidak dapat dimanfaatkan dengan maskimal. Hal ini disebabkan liburan musim dingin yang dimulai ketika Natal hingga tahun baru sedangkan Piala Dunia 2022 dari pertengahan November hingga 18 Desember 2022.

Selain itu perpindahan waktu pelaksanaan ini pun berdekatan dengan pertandingan liga sepakbola yang masih berlangsung, seperti Premier League, La Liga, Serie A, ataupun Bundesliga. Bentroknya Piala Dunia dengan liga top Eropa lainnya menyebabkan fokus penonton terpecah menjadi dua. Momen yang seharusnya bisa diambil oleh Piala Dunia untuk menaikan euforia harus terbagi dengan momen liga top Eropa yang lebih menarik. Apalagi, liga top Eropa “lebih” menjual dibandingkan dengan Piala Dunia 2022 yang penuh kontroversi.

Kontroversi Qatar memang lebih disorot sejak pemilihan Qatar sebagai tuan rumah Piala Dunia ke-22 dalam rapat komite eksekutif FIFA pada 2010. Hal-hal yang disorot meliputi pelanggaran HAM terhadap para pekerja dalam mempersiapkan Piala Dunia hingga dugaan korupsi terhadap pemilihan Qatar sebagai tuan rumah. Hal tersebut menyebabkan sebuah gerakan pemboikotan terhadap pelaksanaan Piala Dunia di Qatar oleh fans-fans sepakbola melalui poster, spanduk atau chants-chants, seperti yang terlihat dalam pertandingan antara Dortmund vs VfL Bochum atau Bayern vs Hertha Berlin.

Melihat poin-poin tersebut bagaimana kamu merayakan euforia Piala Dunia tahun ini? apakah kamu merasakan euforia yang menurun? atau kamu malah menunggu penyelenggaraan Piala Dunia yang berbeda ini?

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top