Haul Gus Dur ke-XIII Semarang Gaet Isu Toleransi Beragama hingga Pernikahan Beda Agama

Sumber Gambar: Dok.Pribadi/Albert

Sabtu (11/02/23), Komunitas Gusdurian bersama Persaudaraan Lintas Agama (Pelita), Barisan Ansor Serbaguna (Banser), dan sejumlah organisasi masyarakat kenang kepergian mantan presiden Indonesia ke-4 Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dalam Haul Gus Dur ke-XIII di Gereja Baptis Imanuel, Tlogosari, Semarang.

Tempat itu dipilih sekaligus untuk mengenang sejarah perjuangan Komunitas Gusdurian bersama komunitas lain yang mendampingi  pihak gereja dalam memperoleh izin mendirikan bangunan (IMB) hingga pembangunannya selesai.

Menghadirkan berbagai elemen masyarakat dan tokoh-tokoh lintas agama seperti Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, Konghucu, serta penganut aliran kepercayaan lain, acara ini mengajak hadirin meneladani semangat toleransi beragama Gus Dur.

Acara dibuka dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya dilanjutkan pembacaan tahlil oleh pemuka agama Islam serta penampilan paduan suara dari perkumpulan Wanita Katolik Republik Indonesia (WKRI) Kota Semarang.

Windy Asmara bagian dari Pelita ungkapkan pentingnya momen ini untuk terus merajut toleransi beragama.

“Jadi pertama kali kita merasakan kebersamaan itu ketika kasus 1 Juni [2008] waktu itu hari Pancasila itu penyerangan kepada kelompok AKKBB (Aliansi Kebebasan Keberagaman Beragama dan Berkeyakinan). Itu kita kemudian diserang oleh FPI (Front Pembela Islam) Munarman Laskar panglimanya HTI (Hizbut Tahrir Indonesia). Mulai dari situlah kita merasakan bahwa ini itu (toleransi) sebenarnya penting. Penting dalam artian kita merajut terus bagaimana kita bersama,” ujarnya kepada Hayamwuruk (11/02/23).

Sebagai seorang pemeluk katolik, Windy juga membagikan pengalamannya mendapat solidaritas dari kawan berbeda keyakinan. 

“Pengalaman pribadi aku juga dulu waktu aku sakit didoakan dari [pemeluk] Ahmadiyah, Syiah, sampai tetangga bilang, ‘ibu, kan, Katolik, kok, yang datang sampai ada yang pakai jubah?’

‘Memangnya kenapa?’

‘Kan, doanya lain’

Persoalan doa itu, kan, masalah agama dan bahasa, tapi namanya berdoa pasti tujuannya bagus,” tuturnya.

Acara turut diramaikan aksi teatrikal pemuda lintas agama yang menyoroti beberapa isu seperti sulitnya menjadi minoritas di Indonesia ketika berhadapan dengan kaum ekstremis serta menyinggung pernikahan beda keyakinan yang baru-baru ini tengah diperbincangkan masyarakat luas. 

Isu tersebut direpresentasikan dalam adegan sepasang muda-mudi yang berdoa dengan cara agama masing-masing, memohon agar dapat dipertemukan dengan jalan pernikahan.

Hadirin memberikan kesan positif, salah satunya Theresia Onee yang merupakan istri Paulus Iwan Budi, aparatur sipil negara (ASN) yang jadi korban pembunuhan, pembakaran, dan mutilasi yang jasadnya ditemukan di Pantai Marina, Semarang 2022 lalu.

“Saya sebenarnya dari salah satu pihak yang mencari keadilan. Saya Istri dari PNS yang terbunuh di Pantai Marina, kebetulan waktu itu dibantu oleh Gusdurian. Saya sangat berkesan sekali karena pada acara ini banyak kepercayaan. Katolik ada, Kristen ada, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Bagi kami, ya, kurang banyak sebenarnya dan kurang besar, tapi kami puas karena tidak ada dusuk-dusukan,” ungkapnya.

Sama seperti Windy, Theresia pun membagikan pengalaman pribadinya mengenai toleransi ketika sang suami wafat.

“Pada saat 100 harinya suami, mereka tahlilan di rumah, kita rumahnya di Tembalang, ya, mereka datang semua yang Gusdurian, walaupun kita Katolik, mereka tahlilan,” ujar Theresia.

Setiawan Budi, Koordinator Pelita berharap nilai-nilai yang dicetuskan oleh Gus Dur dapat diresapi baik oleh hadirin maupun masyarakat Indonesia secara luas. Ia berharap agar negara juga turut andil dalam mewujudkan toleransi. 

“Memang itu bukan suatu tugas yang ringan karena di beberapa titik masih ada masyarakat yang mereka merasa bahwa lebih nyaman hidup dengan seagama (homogen), masih belum bisa menerima Kebhinekaan pendirian tempat ibadah di luar agama mereka. Nah, itu perjuangan kita bersama,” katanya.

Menurutnya, negara harus benar-benar berpijak di atas nilai-nilai keadilan dan kesetaraan.

“Jadi ketika ada permohonan izin pendirian tempat ibadah dan syarat-syaratnya lengkap mestinya negara dalam kepanjangan tangan Kementerian Agama (Kemenag), Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang mengeluarkan rekomendasi pendirian tempat ibadah, ya, harus mendukung,” tambahnya.

Acara tersebut ditutup dengan doa lintas agama untuk mendiang Gus Dur yang diawali dari umat Protestan dan ditutup dengan doa oleh pemeluk agama Budha.

Reporter : Fajri, Albert (Magang)

Penulis : Fajri

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top