
Judul : Lapar (1890)
Pengarang : Knut Hamsun (Norwegia)
Penerbit : Yayasan Pustaka Obor
Penerjemah : Marianne Katoppo
Halaman : xxii + 284 hlm
ISBN : 978-979-461-850-9
Pada sebuah musim gugur, di kota kecil bernama Kristiania (sekarang Oslo, Norwegia), hiduplah seorang penulis miskin. Selama tinggal di kota tersebut dan bekerja sebagai penulis lepas, ia jarang memiliki uang yang cukup untuk membeli makanan sehingga lapar menjadi teman perjalanan hidupnya.
Bahkan untuk mengisi perutnya yang kosong, ia pernah terpaksa harus mengunyah sekeping kayu.
Perjalanan karir kepenulisannya dapat dikatakan jauh dari kata beruntung. Penolakan dari berbagai redaktur membuatnya merasa putus asa, ditambah pula jika kita lihat kondisi sosial Norwegia pada saat itu, pekerjaan sebagai penulis tidak mendapat cukup perhatian dari masyarakat.
Namun, sebagai sosok yang miskin, tidak memiliki tempat tinggal, pakaian lusuh, badan kurus karena kurang gizi, ada sesuatu yang begitu ajaib dalam dirinya. Ia menyebutnya sebagai ketabahan. Tokoh Aku menghadapi kegetiran hidup dengan berani, dia terus menerus menulis di tengah kelaparan yang mengancam nyawanya.
Sebuah karya sastra tidak dapat dipisahkan dari kisah hidup penciptanya, maka tidak salah apabila seseorang mengatakan karya sastra adalah bentuk jelmaan roh pengarang.
Sebut saja Crime and Punishment karya Fyodor Dostoyevsky. Saat menulis magnum opus-nya itu, ia menghadapi pergolakan batin akibat kemiskinan, ditambah dampak judi yang dilakukannya sehingga masalah hutang semakin menumpuk.
Lalu peran Anna Snitkina, wanita berusia 19 tahun yang menjadi istrinya, pada saat Dostoyevsky berusia 45 tahun. Dalam kata pengantar pada buku Crime and Punishment, dikatakan bahwa dialah wanita yang mengubah hidup Dostoyevsky dan menjadikan kita mampu menikmati karya sastrawan besar dari Rusia tersebut.
Jangan lupa kehidupan pada masa mudanya ketika dia berjuang melawan praktik politik berupa petani budak atau serf, pemerintahan absolut yang buruk, gereja yang kolot mendominasi Rusia membuatnya mengalami kemunduran. Bahkan akibat perlawanannya itu, dia hampir kehilangan nyawanya. Maka dari karyanya tersebut, Dostoyevsky mencoba menyuarakan dengan lantang keadilan dan mengkritik dogma yang konservatif.
Knut Hamsun dibesarkan oleh keluarga miskin dan harmonis. Dia tinggal dengan semua keluarganya termasuk kakek dan neneknya serta paman dari pihak ibu di sebuah pulau kecil pesisir Lofoten, Harmony, Norwegia.
Namun ketika umur sembilan tahun, dia diambil paksa oleh pamannya karena keluarganya memiliki hutang.
Hamsun kemudian bekerja pada sebuah kantor pos selama lima tahun. Dalam rentang waktu tersebut, dia mengalami siksaan oleh pamannya.
Bahkan dalam suatu kasus, dia pernah dengan sengaja memotong jari kakinya supaya dibiarkan pulang. Nahas, hal itu tidak membuahkan hasil.
Walaupun mengalami hal pahit selama bekerja bersama pamannya, di sana lah Hamsun mengalami perjalanan spiritual yang memengaruhi karyanya ini, Lapar.
Saya membaca novel ini setelah diterjemahkan Marianne Katoppo ke dalam bahasa Indonesia sehingga kemungkinan adanya sebuah reduksi—baik dari segi estetik maupun pesan yang disampaikan—walaupun sang penerjemah tidak berniat melakukan hal tersebut.
Di kata pengantarnya tertulis, Marianne sudah berusaha agar pembaca mampu menangkap nilai moral yang ada dalam novel tersebut. Kendatipun demikian, novel ini tetap layak untuk dibaca dalam bahasa Indonesia.
Lapar merupakan kisah perjuangan seorang individu dalam menghadapi penderitaan yang terus menerus menimpanya. Kelaparan yang tak kunjung usai menimpa tokoh Aku berakibat delirium, yakni sebuah kondisi gangguan mental akibat kegelisahan fisik.
Akibatnya, seringkali penderita mengalami sebuah khayalan aneh atau melakukan perbuatan absurd.
Contoh saja ketika tokoh aku yang merasa senang mengikuti dua orang perempuan seharian penuh. Pikirnya jika terus menguntit, mereka akan merasa ketakutan. Padahal, perempuan tersebut tidak terlalu menanggapinya.
Namun, di sisi lain tokoh aku masih memiliki hati nurani, sebuah perasaan bersalah karena telah melanggar sesuatu yang berlawanan dengan nilai yang dipercayainya. Kejadian tersebut dapat dilihat ketika Aku memberikan sepotong kue kepada anak kecil hasil memaksa seorang nenek.
Bagi saya, novel ini juga merupakan bentuk dari perjalanan spiritual, walaupun disajikan secara eksplisit melalui kondisi kejiwaan yang dinarasikan oleh penulis secara apik dalam pikiran tokoh.
Memang pergulatan tokoh utama dengan Tuhan bukan tujuan utama dari novel ini, melainkan sebuah kondisi wajar apabila seseorang sedang dalam penderitaan. Maka, kita dapat melihat Aku dengan keras mencaci Tuhan namun di sisi lain dia berdoa dan mensyukuri nikmat-Nya.
Secara personal novel ini mengingatkan akan kehidupan yang kaos (kacau) ini. Mungkin sebagian besar dari kita tidak merasakan apa yang dirasakan oleh tokoh Aku dalam novel, tapi kita tetap memikul penderitaan masing-masing.
Kaos adalah sesuatu yang harus kita terima, peluk, dan rangkul. Layaknya perasaan lapar yang terus menerus kembali, tak pernah selesai hingga masa habis umur kita.
Seperti yang sudah dijelaskan tokoh menghadapi kaos yang tak pernah selesai, kepastian hidupnya sangat abu-abu, namun dia tetap setia pada keinginan untuk menulis.
Kehidupan jika direnungkan lebih dalam, memang nampak seperti tidak memberikan tujuan yang pasti layaknya nasib Sisifus—Dewa yang dihukum untuk mendorong batu ke puncak bukit tapi tidak pernah selesai karena setelah di atas, batu tersebut kembali menggelinding ke bawah.
Dan, ya, walaupun hidup ini memang penuh kekacauan, toh, kita tetap bisa menikmati secangkir kopi dan buku.
Penulis: Diaz Fatkhur Rohman