
Pada 7 Februari nanti, berdasarkan perhitungan Kalender Hijriah, Nahdlatul Ulama (NU) akan memasuki usianya yang ke-100 tahun. Selama masa itu, sudah banyak rintangan dan perkembangan yang dihadapi organisasi ini.
Jika kita tengok perjalanan NU, maka kita akan melihat bahwa NU merupakan organisasi yang selalu adaptif terhadap perubahan yang ada dan seringkali bersifat elastis terhadap tekanan-tekanan dari luar.
Pada masa Orde Lama, NU merupakan salah satu kekuatan politik yang kuat. Setelah NU keluar dari Masyumi dan menjadi partai politik sendiri, NU menjadi salah satu elemen penting bagi Sukarno dalam mencapai tujuan-tujuannya.
Pada saat itu, NU dipimpin oleh K.H. Idcham Chalid sebagai ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Ia dianggap sebagai seorang pemimpin organisasi yang “mengambang” dan “kompromistis” oleh beberapa pihak karena terlalu mengakomodasi kepentingan pemerintah pada waktu itu.
Namun, jikalau kita pelajari lagi, langkah-langkah politik K.H. Idcham Chalid ini bukanlah tanpa alasan. Sebagai seorang pemimpin sebuah Jamaah yang besar di tengah situasi politik yang genting, maka beliau ini memiliki sikap politik yang berorientasi pada keselamatan umat yang menekankan pada sikap luwes dan hati-hati.
Pada masa berikutnya, yaitu masa Orde Baru, NU sekali lagi menunjukan sifatnya yang adaptif terhadap perubahan kondisi sosial-politik. Saat itu Pemerintah Suharto mengumumkan penerapan konsep Asas Tunggal, yaitu seluruh organisasi-organisasi sosial kemasyarakatan di Indonesia diwajibkan untuk menerima Pancasila sebagai satu-satunya dasar bagi gerakan organisasi mereka.
NU pun dengan segera menyetujui asas tersebut sementara organisasi-organisasi Islam lain masih ragu-ragu untuk melakukan hal serupa. Bagi NU, Pancasila dan Islam tidaklah bertentangan dan oleh karenanya bukan masalah besar bagi NU untuk menyetujui Asas Tunggal tersebut.
Namun, menjelang Muktamar NU ke-33 pada 2015 lalu, muncul gerakan NU Garis Lurus. Gerakan ini dipelopori oleh beberapa ulama yang merasa gusar atas pemikiran tokoh-tokoh NU moderat seperti Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, K.H. Aqil Siraj atau Quraish Shihab. Bisa dikatakan, NU Garis Lurus ini merupakan gerakan puritan di dalam internal NU yang destruktif.
Gerakan ini dapat dikatakan sebagai respons atas munculnya pemikiran-pemikiran baru di kalangan Nahdliyin muda. Gerakan ini merasa dan menuduh bahwa NU hari ini sudah dikuasai oleh kalangan liberal atau sudah menyimpang sehingga mereka merasa memiliki kewajiban untuk “meluruskan” kembali agar NU menjadi seperti apa yang mereka pikirkan, yaitu seperti pada zaman KH. Hasyim Asyari.
Gerakan ini pun menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat Nahdliyin, tak terkecuali intelektual muda NU.
Kaum intelektual muda Nahdliyin hari ini tidak ragu menggunakan ilmu-ilmu Barat dan teori-teori kontemporer dalam pemecahan masalah-masalah sosial. Generasi ini muncul sebagai hasil dari perubahan pesantren-pesantren NU pada tahun ‘80-an yang mana banyak pesantren membuka jenjang pendidikan formal seperti MA atau SMA.
Adanya ijazah dari sekolah formal ini sekaligus memberikan kesempatan bagi para santri untuk melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi baik itu di dalam maupun di luar negeri.
Hal ini memungkinkan adanya interaksi akademik antara santri dengan dunia akademis di lingkup perguruan tinggi. Maka muncullah semacam perkawinan antara tradisi keilmuan Islam tradisional dengan ilmu-ilmu “duniawi” yang menghasilkan kelompok-kelompok pemikir Nahdliyin yang berkualitas.
Contoh mudah sekaligus contoh pertama dari kalangan ini adalah Gus Dur yang merupakan santri sekaligus anak kyai yang mengenyam pendidikan tinggi di luar negeri, yaitu di Universitas Al-Azhar, Kairo dan Universitas Mc Gill, Kanada.
Pada saat Gus Dur menjadi Ketua Umum PBNU (1984-1999), beliau memberikan ruang gerak bagi kalangan intelektual muda Nahdliyin di dalam kepengurusan NU, contohnya adalah Ulil Abshar Abdalla, dia kemudian menjadi salah satu tokoh Jaringan Islam Liberal (JIL) yang terkenal itu, dan beberapa tokoh lain.
Kemunculan kalangan intelektual muda Nahdliyin di dalam kepengurusan NU ini membuat gusar beberapa kyai senior dalam NU. Bahkan, pernah ada salah satu Kyai yang mengatakan bahwa ide-ide liberal tidak cocok dalam NU dan para penganut ide-ide ini perlu dikeluarkan dari kepengurusan PBNU.
Tentu saja hal ini amat disayangkan. Selama ini, NU dikenal dengan sikap toleran dan plural. Jikalau hal seperti itu terjadi, maka nama baik NU sebagai organisasi yang toleran terhadap perbedaan akan tercoreng.
Tekanan-tekanan dari kalangan konservatif di dalam kepengurusan NU ini mendorong kalangan muda Nahdliyin untuk lebih memilih mendirikan “bengkel” pemikiran di luar kepengurusan NU.
Mereka yang condong ke “kanan” dan liberal membentuk Jaringan Islam Liberal yang berbasis di Jakarta, sedangkan mereka yang progresif membentuk LKIS (Lembaga Kajian Islam dan Sosial) yang berbasis di Yogyakarta dan Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA) yang aktif menyuarakan isu-isu agraria dan perubahan iklim. Masing-masing dari kelompok ini mengampanyekan ide-ide brilian dan baik bagi masyarakat (Islam) Indonesia.
Memasuki abad keduanya, NU perlu memberikan perhatian lebih terhadap kalangan muda Nahdliyin ini, memberikan ruang gerak dan mewadahinya sehingga pemikiran dan ide-ide mereka dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk kemaslahatan Jamiyah. Karena bagaimanapun, merekalah yang kelak akan meneruskan jejak perjuangan NU.
Adanya perbedaan dalam pemikiran merupakan hal yang lumrah, sebagaimana dulu para ulama salaf memiliki pendapat yang berbeda-beda dalam satu masalah. Imam Ahmad bin Hanbal saja memiliki pendapat yang berbeda dengan sang guru Imam Syafi’i, namun tidak ada permusuhan atau konflik di antara mereka.
Begitu juga dengan para ulama NU di masa lalu, perbedaan-perbedaan tidak lantas menjadikan mereka terpecah belah, perbedaan pemikiran yang sedang berkembang di kalangan intelektual muda Nahdliyin bukanlah satu ancaman melainkan satu wujud kekayaan pemikiran Islam di Indonesia.
Dengan adanya sumber daya manusia yang berkualitas, diharapkan NU di abad yang kedua ini mampu memanfaatkan sebaik-baiknya sumber daya manusia yang berkualitas itu.
Tidaklah perlu bagi NU untuk mengusir atau mencegah berkembangnya pemikiran-pemikiran yang beraneka ragam di kalangan intelektual muda Nahdliyin. Kalangan ini justru perlu diberikan ruang di dalam NU (baik secara struktural maupun kultural) agar dapat memberikan kemaslahatan dan kemanfaatan bagi jamiyah sehingga NU di abad kedua ini mampu bertahan di tengah perubahan masyarakat Indonesia yang semakin rumit dan kompleks permasalahannya sekaligus memberikan jawaban bagi masalah-masalah tersebut.
Wallahu a’lam.
Penulis: M. Farhan Prabulaksono
Editor: Rilanda