
Abad XXI layak dinobatkan sebagai abad penuh dengan teror bagi eksistensi manusia dan fungsinya dalam ruang lingkup alam semesta. Ribuan data dan distribusi informasi yang tiada hentinya ini menimbulkan kegalauan serta pertanyaan bagi umat manusia, bagaimana posisi manusia di hadapan teknologi? Apakah proses dalam mendapatkan ilmu wajib dilakukan dalam ruang lingkup fisik? Salah satu bentuk Artificial Intelligence (AI) yang sedang ramai diperbincangkan adalah ChatGPT, tools yang dapat menjawab semua pertanyaan akademis.
Chat Generative Pre-Trained Transformer (ChatGPT) adalah sebuah chatbot yang dirilis oleh OpenAI pada bulan November, 2022. Chatbot ini mampu memahami bahasa manusia dan melakukan respons dengan bahasa yang tidak kaku, dikarenakan ChatGPT memakai salah satu branch (cabang) dari AI yaitu Reinforcement Learning from Human Feedback (RLHF), analogi sederhana terkait ChatGPT adalah chatbot ini mirip seperti Google, tetapi bahasa-bahasa yang distribusikan, analisis yang disajikan, jawaban yang digambarkan lebih mudah dicerna, seperti ketika kita berbalas pesan dengan sang kekasih.
Satu pertanyaan yang terbesit dalam benak penulis adalah, bagaimana akhirnya ChatGPT dapat memberikan sebuah jawaban? Lantas pertanyaan itu saya ajukan kepada pemeran utama tulisan ini, yaitu ChatGPT, berikut adalah jawabannya.
ChatGPT dapat memberikan jawaban karena model ini dilatih menggunakan teknik deep learning yang memungkinkannya untuk memahami bahasa manusia dan menyelesaikan tugas bahasa alami seperti menjawab pertanyaan. Proses kerja ChatGPT dalam memberikan jawaban adalah sebagai berikut:
- Model menerima masukan dalam bentuk teks, seperti pertanyaan yang diajukan oleh pengguna.
- Kemudian, model akan memroses teks masukan tersebut dan mencari informasi terkait di dalam pengetahuannya yang telah dilatih sebelumnya.
- Model kemudian akan mencoba menghasilkan jawaban yang paling sesuai dengan pertanyaan yang diberikan, berdasarkan pada informasi yang telah diproses.
- Jawaban yang dihasilkan oleh model kemudian dapat dikembalikan ke pengguna dalam bentuk teks.
Proses ini memungkinkan ChatGPT untuk memberikan jawaban yang dapat bervariasi tergantung masukan yang diberikan. Namun, perlu diingat bahwa model seperti ChatGPT tidak selalu memberikan jawaban yang tepat atau lengkap dan dapat membuat kesalahan dalam beberapa kasus. Oleh karena itu, pengguna tetap harus melakukan verifikasi dan validasi terhadap informasi yang diberikan oleh model.
Robert W. McGee dalam artikelnya mengungkapkan bahwa ChatGPT mampu membuat panik profesor-profesor di Amerika dikarenakan ketakutan mereka pada murid-murid di sana dalam pembuatan makalah atau esai dengan menggunakan ChatGPT. ChatGPT juga mampu membuat komponen paragraf yang berkualitas dan makalah penelitian tingkat universitas.
Menanggapi hal tersebut, kita dapat bayangkan bahwa dalam negara adikuasa sekalipun, kecemasan yang dihadapinya adalah mengenai chatbot satu ini. Kekhawatiran mereka pastilah soal kebergantungannya. Ini mungkin saja dikarenakan rentannya kita dalam perjuangan untuk mendapatkan ilmu atau ketidakberhasilan kita dalam mengolah pengetahuan. Akan tetapi, satu hal yang perlu dipertimbangkan dari ChatGPT adalah kebebasan kita untuk mencari informasi dan mengolahnya.
ChatGPT seperti menabrak tembok-tembok sistem pendidikan kita yang rancu, yang diasah untuk menjadi kelas pekerja. Sehingga, informasi yang kita dapatkan dari instansi pendidikan sebenarnya telah terpolarisasi sedemikian rupa. Namun, perlu diingat bahwa ChatGPT mengafirmasi bahwa tools yang diberikan bisa jadi salah. Di sinilah kesadaran kita akan ilmu pengetahuan diuji. Bagaimana kita memberi validitas terhadap informasi yang kita terima serta bagaimana kita mengkritisi keseluruhan jawaban yang diberikan ChatGPT.
Persoalan bahwa AI dapat menggantikan kita dalam berbagai lini kehidupan atau malah membantu manusia menuju keadilan dan kesejahteraan bergantung pada individu masing-masing. Mungkin sebagian dari kita akan dengan mudah beradaptasi dengan kebaruan, namun sebagian yang lain yang tak terperdayakan akan dengan mudahnya terbuang. Sejarawan Yuval Noah Harrari memprediksi bahwa adanya The Useless Class (Kelas tak Berguna) dalam ruang lingkup disrupsi teknologi sangat tidak bisa dihindari. Ini terjadi ketika hegemoni mesin dan AI terus mendominasi pola perilaku manusia, cara kerja manusia, bahkan keinginan dan hasrat manusia. Beginilah kehidupan yang hari ini kita jalani. Pola-pola hidup yang kita jalani tanpa kita sadari merupakan distraksi algoritma. Seluruh keinginan kita untuk membeli sesuatu didasarkan pada indikasi konten TikTok apa yang sering kita tonton, memori tentang siapakah manusia yang cantik, dan siapakah yang kurang cantik. Bertubi-tubi kita diremas oleh algoritma.
Banyak probabilitas ketika revolusi teknologi ini hadir. Apakah akan banyak aksi massa bermunculan, atau manusia malah sekadar menikmatinya? Namun bagi saya dalam ruang lingkup evolusi manusia selalu banyak variabel bermunculan dan segala yang hadir bisa saja obsolete (usang). Maka dari itu, perubahan haruslah berlandaskan keadilan, bahwa setiap perubahan terjadi kekacauan sangat tidak bisa dihindari. Entah dalam bentuk hierarki tatanan sosial atau apa pun.
Tentu menghadapi gempuran AI, ChatGPT dan segala cabang dari AI, secara pragmatis haruslah memberi pengaruh baik terhadap semua organisme, termasuk kita Homo Sapiens. Pengaruh baik bisa didapatkan dari pemerintahan yang baik dan bersih. Sepanjang sejarah pemerintahan yang baik jarang sekali ditemui, kecuali dalam cerita agama, dan tulisan-tulisan sejarah yang diromantisasi. AI memberi satu konsep pemerintahan, yaitu datakrasi. Di mana pemerintahan diolah oleh Big Data, yang mana nantinya urusan problematik manusia dianalisis oleh data tersebut dan diselesaikan secara akurat. Mungkin sebut saja hal ini menandakan neo-anarkisme lahir. Dengan datakrasi, politik menjadi tanpa politisi dan pemerintahan menjadi tanpa pemerintah. Konsekuensinya, human error dalam politik bisa ternegasikan.
Ketergantungan memang selalu saja menjadi problem eksistensial manusia. Namun, marilah kita bangun sebuah kesadaran bahwa disrupsi teknologi memang susah sekali untuk dihindarkan. Yang paling pasti ialah bagaimana kita mampu beradaptasi dan mengkritisi dari setiap langkah keberjalanannya.
Penulis: Majid
Editor: Andriv
Sumber:
McGee, R.W. (2023). Is chat GPT biased against Conservatives? an Empirical Study,” 14 Februari. https://doi.org/10.2139/ssrn.4359405.
Harari, Y. N. (2019). 21 Lessons for the 21st Century. New York: Vintage.