Tepat satu tahun sudah Rusia menginvasi Ukraina yang merupakan negara tetangganya sekaligus saudara sesama etnis Slavia. Hal ini diakibatkan oleh keberpihakan Ukraina kepada dunia Barat melalui keinginannya untuk menjadi anggota NATO. Rusia yang menganggap Ukraina sebagaimana yang mereka sebut sebagai “kebun belakangnya”, hal ini tidak lepas dari letak Ukraina yang strategis dan telah lama menjadi wilayah penyangga (buffer zone) bagi Rusia dengan negara–negara Eropa Barat dan Amerika Serikat.
Sekalipun diharuskan menjadi wilayah yang netral, presiden Ukraina yaitu Volodymyr Zelensky tetap berkeinginan untuk bergabung dengan Uni Eropa sebagai upaya untuk memajukan perekonomian Ukraina yang masih berkembang dan terus bergantung pada Rusia.
Selama satu tahun, serangan yang dilakukan oleh Rusia terhadap Ukraina telah membuat kerusakan yang cukup signifikan bagi Ukraina dari berbagai sektor. Ukraina terus berjuang untuk memperoleh kembali wilayahnya yang dianeksasi oleh Rusia khususnya di kawasan Ukraina Timur dan Selatan seperti Donetsk,Luhansk,Mariupol dan Krimea, sekalipun harga yang harus dikeluarkan tidak sedikit. Posisi Ukraina dan Rusia yang saat ini tertahan di wilayah Soledar dan Bakhmut membuat kedua belah pihak berada di posisi imbang sebagaimana pada tahun 2014 silam dengan sedikit kemajuan bagi pihak Ukraina di Wilayah Ukraina Timur.
Di lain sisi, pihak Rusia memiliki sedikit keuntungan dari medan Ukraina Timur yang cukup berdekatan dengan wilayah Rusia sendiri yang membuat keuntungan dari segi rantai pasokan logistik bagi pasukan Rusia dan lainnya. Sehingga dapat memberikan kekuatan bagi pihak Rusia dalam membendung serangan balik pasukan Ukraina beserta para prajurit dari legion asing yang turut serta dalam perang ini. Sekalipun Rusia memiliki keunggulan jalur logistik bagi pasukannya, pihak Ukraina juga memiliki rantai pasokan yang aman berkat bantuan persenjataan canggih dari negara-negara barat yang membuat Ukraina memiliki keunggulan dalam bidang teknologi senjata ketimbang Rusia yang masih mengandalkan senjata-senjata peninggalan era Perang Dingin.
Perang yang sudah berlangsung selama satu tahun lebih telah berdampak bagi perekonomian global, seperti terganggunya rantai pasokan gandum bagi dunia yang membuat terjadinya inflasi dari sektor pangan.
Selain pangan, perang ini juga berdampak terhadap pasokan gas alam bagi negara-negara Eropa seperti Jerman yang menjadi importir gas alam terbesar dengan komposisi sebanyak 40-45% sebelum pecahnya perang. Sehingga Jerman harus mencari alternatif pasokan gas alam dari Denmark bahkan Qatar meskipun harganya sangat mahal, akan tetapi dapat menekan ketergantungan Jerman terhadap pasokan gas alam dari Rusia.
Pada bidang militer sendiri memiliki dampak yang cukup signifikan, khususnya negara-negara yang memiliki persenjataan buatan Rusia, yang membuat rantai pasokan suku cadang bahkan penjual senjata terhambat sebagai akibat dari pemfokusan industri militer Rusia dalam mensuplai kebutuhan untuk perang di Ukraina.
Tak lupa ancaman dari Amerika Serikat berupa Sanksi CAATS (Countering American Adversaries Through Sanction) bagi negara-negara yang memiliki hubungan diplomatik dengan Amerika Serikat yang membeli persenjataan-persenjataan mutakhir dari musuh-musuh Amerika Serikat seperti Rusia. Hal ini tentunya membuat dilema bagi negara-negara dunia ketiga mengenai ketergantungan terhadap persenjataan buatan Amerika Serikat dan sekutunya. Meskipun canggih dan modern, mayoritas alutsista (alat utama sistem persenjataan) tersebut sangat mahal, ketimbang buatan Rusia yang harganya terjangkau dan memiliki kualitas yang setara, namun memiliki kelemahan dalam segi penguasaan teknologi dibanding negara-negara Barat.
Meskipun terdapat banyak tekanan baik dari dalam maupun luar untuk mengakhiri perang yang sudah berlarut-larut dan menguras sumber daya kedua belah pihak, tampaknya baik Ukraina maupun Rusia tidak memiliki keinginan untuk mengadakan gencatan senjata. Justru kedua belah pihak tetap berkeinginan melanjutkan perang, sebagaimana yang dikatakan oleh Zelensky bahwa Ukraina akan terus berperang hingga Crimea, Mariupol, Donetsk, Luhansk, dan wilayah lainnya kembali berada di bawah kendali Kiev. Keadaan semakin bertambah buruk ketika negara-negara NATO mengirim berbagai senjata canggih bagi pihak Ukraina untuk melawan Rusia. Sementara Rusia sendiri mendapatkan pasokan senjata dari Iran, Korea Utara dan bahkan Tiongkok. Di meja perundingan, PBB selaku pihak penengah belum berhasil untuk mendamaikan kedua belah pihak.
Pada akhirnya perang antara Rusia dan Ukraina hanya akan bertambah lama dan akan terus menguras kekuatan dari kedua belah pihak. Namun yang paling terdampak adalah masyarakat sipil Ukraina yang menjadi korban dari keganasan perang dan kebanyakan harus menyelamatkan diri ke negara-negara tetangga seperti Polandia yang menjadi tempat pengungsi terbesar bagi masyarakat sipil Ukraina di Eropa.
Penulis: Muhammad Irsyad Khairan Amir (Magang)
Editor: Rilanda