Wajah Baru Geopolitik Timur Tengah

Sumber Gambar: iStock

Jumat (10/3) lalu dunia dikejutkan dengan pernyataan dari dua negara di Timur Tengah, yaitu Kerajaan Saudi Arabia dan Republik Islam Iran. Dua musuh bebuyutan itu secara bersama mengumumkan untuk membuka lagi hubungan diplomasi setelah terputus sejak 1979. Iran dan Arab Saudi setuju untuk membuka lagi kedutaan besar di kedua negara tersebut dalam jangka waktu dua bulan setelah mediasi dan negosiasi yang dimediatori oleh Tiongkok.

Pernyataan itu ditandatangani bersama oleh Perwakilan Republik Rakyat Tiongkok Wang Yi, Anggota Biro Politik Komite Sentral Partai Komunis Tiongkok (PKC) dan Direktur Komisi Urusan Luar Negeri Komite Pusat PKC, Perwakilan Kerajaan dari Arab Saudi Musaad bin Mohammed Al-Aiban, Menteri Negara, Anggota Dewan Menteri, dan Penasihat Keamanan Nasional, dan Perwakilan Republik Islam Iran Ali Shamkhani, Sekretaris Dewan Keamanan Nasional Tertinggi.

Dalam pernyataan Trilateral antara Iran, Arab Saudi dan Tiongkok, berisi beberapa pernyataan yaitu, kesepakatan untuk melanjutkan hubungan diplomatik antara Iran dan Arab Saudi dan membuka kembali kedutaan di kedua negara dalam waktu tidak lebih dari dua bulan, dan perjanjian tersebut mencakup penegasan mereka tentang penghormatan terhadap kedaulatan antar kedua negara dan tidak campur tangan dalam urusan internal antar kedua negara. Mereka juga sepakat bahwa para menteri luar negeri kedua negara akan bertemu untuk melaksanakan hal ini, mengatur kembali penugasan duta besar kedua negara, dan membahas cara-cara untuk meningkatkan hubungan bilateral. Mereka juga sepakat untuk mengimplementasikan perjanjian kerja samakeamanan di antara mereka, yang ditandatangani pada 17 April 2001, dan perjanjian umum untuk kerja sama di bidang ekonomi, perdagangan, investasi, teknologi, sains, budaya, olahraga, dan kepemudaan yang ditandatangani pada 25 Mei 1998.

Dalam memahami hubungan diplomasi antara Iran dengan Arab Saudi hari ini, maka kita perlu memahami juga sejarah hubungan kedua negara itu yang cukup panjang dan rumit.

Pada 1979, terjadi Revolusi Islam di Iran, kaum Mullah dan revolusioner dengan dukungan masyarakat Iran menggulingkan kekuasaan monarki Shah Reza Pahlevi yang disokong oleh Amerika Serikat. Sejak saat itu hubungan antara Iran dengan Saudi Arabia memburuk dan bertambah buruk seiring berjalannya waktu. Arab Saudidan Amerika menuduh bahwa Iran sedangmengekspor revolusi ke negara-negara di sekitarnya, sedangkan Iran menggugat hubungan Saudi dengan Amerika Serikat yang mesra dan menentang dominasi Amerika Serikat di kawasan itu. Selain itu ada satu hal lagi yang menjadikan hubungan kedua negara ini menjadi renggang yaitu masalah agama, Iran merupakan negara yang mayoritas adalah Islam beraliran Syiah sedangkan Arab Saudi merupakan negara monarki yang penduduknya beraliran Islam Sunni.

Pasca Revolusi Islam Iran, Timur Tengah memasuki tahap geopolitik yang baru, yang bisa dikatakan sebagai “Perang Dingin” antara Arab Saudi dan Iran. Kedua negara berusaha memperkuat pengaruh di antara negara-negara Arab. Selama ini Iran dan Arab Saudi telah menjalani Perang Proksi, Perang Proxy atau Proxy War adalah sebuah konfrontasi antara dua kekuatan besar dengan menggunakan pemain pengganti untuk menghindari konfrontasi secara langsung dengan alasan untuk mengurangi risiko konflik langsung yang berisiko pada kehancuran fatal.

Iran berusaha membangun jaringan yang kuat dengan milisi-milisi Syiah di negara-negara Arab dan pada umumnya memiliki musuh bersama yaitu Israel. Arab Saudi berusaha menggandeng Amerika Serikat dan, yang baru-baru ini, Israel guna membendung pengaruh Iran di kawasan itu.

Untuk merebutkan pengaruh di kawasan Timur Tengah, Iran menyokong dan mempersenjatai kelompok Milisi Hizbullah di Lebanon, Milisi Houthi di Yaman dan gerakan Hamas di Palestina. Sedangkan Arab Saudi mendukung pemerintah Yaman dalam melawan Milisi Houthi dengan melakukan dukungan militer dan serangan udara. Konflik antara pemerintah dengan milisi Houthidi Yaman menjadi salah satu krisis kemanusiaan terbesar pada abad ini. Dari 377 Ribu korban, 11 Ribu di antaranya adalah anak-anak tak berdosa. Pengaruh Perang Proksi antara Iran dengan Arab Saudi telah mempengaruhi Suriah, Lebanon, Yaman dan Irak.

Rentetan konflik di atas nampaknya segera berakhir setelah Iran dan Arab Saudi setuju untuk membuka lagi hubungan diplomatik. Kedua pejabat penting negara tersebut membuat pernyataan bersama di Beijing. Tiongkok menjadi pemain penting dalam peristiwa ini.

“Kemenangan” diplomasi Tiongkok di Timur Tengah menjadi satu pertanda bahwa ada perubahan geopolitik di kawasan yang sebelumnya didominasi oleh kekuatan politik dan militer Amerika Serikat. Adanya perdamaian dan berhentinya permusuhan antar kedua negara besar di kawasan penting ini menjadi langkah baik bagi Tiongkok untuk membangun pengaruh ekonomi di sana. Proyek OBOR (One Belt One Road) Tiongkok dapat berkembang pesat di kawasan yang potensi ekonominya tinggi itu.

Dampak-dampak yang dapat terjadi dari normalisasi hubungan diplomatik antara Iran dengan Arab Saudi yang dimediasi oleh Tiongkok tentunya akan menguntungkan ketiga negara tersebut, Arab Saudi yang selama ini hanya memiliki Amerika Serikat sebagai mitra dagang di pasar dunia sekarang memiliki opsi lain, Tiongkok (atau bahkan Rusia) dapat memberikan dukungan dalam relasi ekonomi, politik dan militer yang cukup besar kepada Arab Saudi.

Selanjutnya, normalisasi hubungan diplomatik antara Iran dengan Arab Saudi dapat mengakhiri konflik militer di Yaman yang telah berlarut-larut, peristiwa penting antara Iran dan Arab Saudi juga diharapkan mampu membawa stabilitas politik di negara-negara Timur Tengah seperti Irak dan Suriah

Dampak terbesar yang mungkin terjadi dalam normalisasi hubungan diplomatik antara Iran dengan Arab Saudi yang dimediasi oleh Tiongkok ini adalah bagaimana peristiwa ini dapat mempengaruhi kebijakan luar negeri Amerika Serikat di kawasan itu.

Hubungan Amerika Serikat dengan Iran telah memburuk selama beberapa bulan ini setelah Iran menyuplai drone tempur ke Rusia dalam konflik di Ukraina, Amerika juga selalu menekan Iran dan melakukan sanksi ekonomi atau embargo ke Iran karena pengembangan program nuklirnya.

Arab Saudi dan beberapa negara teluk seperti Qatar dan Persatuan Emirat Arab pada umumnya memiliki kekhawatiran dengan program nuklir, perkembangan rudaldan kemampuan drone militer Iran. Kekhawatiran atas Iran sebagai musuh bersama telah berhasil menjadi dorongan bagi beberapa negara Arab untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel, normalisasi hubungan dengan Israel ini didukung oleh Amerika Serikat.

Arab Saudi juga termasuk satu di antara negara-negara Arab yang membuka hubungan diplomatik dengan Israel, walaupun tidak secara penuh, dengan adanya normalisasi hubungan dengan Iran (Israel dan Iran saling bermusuhan), maka muncullah kemungkinan bahwa Arab Saudi tidak akan meningkatkan lebih jauh lagi hubungan diplomatik dengan Israel.

Langkah-langkah diplomasi Tiongkok di Timur Tengah ini tentunya akan mengancam Inggris dan Amerika Serikat yang memiliki posisi lebih dahulu di sana. Inggris dengan sejarah kolonialisme mereka di sana serta Amerika yang diuntungkan oleh perang-perang yang terjadi di Timur Tengah dapat terancam dengan diplomasi perdamaiannya Tiongkok.

Kita perlu melihat lebih lanjut lagi, apakah harmonisasi antara Iran dengan Arab Saudi akan berhasil sepenuhnya? Apakah membawa perdamaian dan kemajuan ekonomi bagi kawasan tersebut? Jika iya, maka kebijakan diplomasi Amerika Serikat di Timur Tengah sudah dipermalukan atau bahkan dikalahkan oleh Tiongkok. Lagi-lagi hanya waktu yang mampu menjawab hasil dari pertemuan Jumat lalu.

Penulis: M. Farhan Prabulaksono
Editor: Andriv

Referensi:

Ahmad, Amjad,”The Middle East is a growing marketplace, not just a war zone“, (https://www.atlanticcouncil.org/blogs/menasource/the-middle-east-is-a-growing-marketplace-not-just-a-war-zone/, dikunjungipada 15 Maret 2023).

BBC, “Perang di Yaman: Bencanakemanusiaanterburukselamasatuabad”, (https://www.bbc.com/indonesia/dunia-46220987, dikunjungi pada 15 Maret 2023).

CIA, “Iran: Exporting Revolution”, (https://www.cia.gov/readingroom/docs/CIA-RDP81B00401R000500100001-8.pdf?msclkid=ead98f79b44f11ecb4732f32b362dee3, dikunjungi pada 15 Maret 2023).

Eshel, Raz, “Middle East: How Did British Involvement Shape the Region?”, (https://www.thecollector.com/british-involvement-in-middle-east-history/, dikunjungi pada 15 Maret 2023).

Gadzo, Mersiha, “‘Changing global order’: China’s hand in the Iran-Saudi deal”, (https://www.aljazeera.com/news/2023/3/11/changing-global-order-china-restores-ties-with-iran-and-saudi, dikunjungi pada 15 Maret 2023)

Hartung, W. D., “Promoting Stability or Fueling Conflict? The Impact of U.S. Arms Sales on National and Global Security”, (https://quincyinst.org/report/promoting-stability-or-fueling-conflict-the-impact-of-u-s-arms-sales-on-national-and-global-security/, dikunjungi pada 15 Maret 2023).

Hasan, A. G., “Saudi Arabia-U.S .Relations (Political-Economic-Military)”, Eurasian Journal of History, Geography and Economics Vol. II (EJHGE, 2021), hlm. 5-12.

Lin, Christina, “The Belt and Road and China’s Long-term Visions in the Middle East”, ISPSW Strategy Series: Focus on Defense and International Security No. 512 (InstitutfürStrategie- Politik- Sicherheits- und Wirtschaftsberatung, 2017), hlm. 1-10.

Muhammad, A. M., “Peran American Military Industrial Complex dalamKonflikBersenjata di Timur Tengah”, Jurnal ICMES: The Journal of Middle East Studies Vol I No. 1 (ICMES, 2017), hlm. 45-64 

Shanahan, Rodger, “It’s always about the Oil in the Middle East”, (https://www.lowyinstitute.org/the-interpreter/it-s-always-about-oil-middle-east, dikunjungi pada 15 Maret 2023).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top