Teater Emka Protes UU Cipta Kerja Lewat Parodi

Dok: Hayamwuruk/Dewi

Sabtu (08/04/2023), teater Emper Kampus (Emka) menggelar pertunjukan berjudul “Merayakan UU Cipta Kerja” pada acara Malam Minggu Sastra (Mangsa) di Crop Circle FIB Universitas Diponegoro (Undip).

Emka mengambil sudut pandang kontra sebagai respons dari pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU) pada Selasa (21/3/23) lalu.

Pentas dimulai dengan hadirnya sesosok pria bertelanjang dada dengan bawahan kain batik yang berkelakuan serta tertawa layaknya monyet. Ia berteriak membacakan puisi bertajuk “Kemerdekaan” karya Wiji Thukul.

“Kemerdekaan adalah nasi, dimakan jadi tai!” teriak monyet tersebut.

Adegan-adegan selanjutnya menampilkan tiga aktor lain yang berpakaian seperti buruh, petani, dan nelayan. Masing-masing secara bergantian mengeluarkan ungkapan-ungkapan kekesalan atas lahirnya UU Cipta Kerja.

“Lebih dari 70 tahun Indonesia merdeka tapi masih banyak permasalahan yang belum tuntas seperti kemiskinan, pengangguran, lalu ditambah adanya UU Cipta Kerja yang semakin menyengsarakan rakyat,” kata tokoh buruh.

Bagian penutup dari pentas ini adalah aksi tokoh monyet yang tiba-tiba diberi kostum jas formal layaknya pejabat yang hendak berpidato. Tokoh tersebut berpidato mengenai pentingnya pembukaan lapangan kerja, pertumbuhan ekonomi, dan UU Cipta Kerja sendiri. Ketiga aktor lainnya berceloteh dan menganggap pidato si monyet tadi hanya bualan saja.

Hasshh, lapangan kerja taek!” ucap si petani.

Sutradara Muhammad Zulkifli (Sastra Indonesia 2021) mengatakan bahwa tokoh monyet merepresentasikan para wakil rakyat dengan kejahilan dan kerusuhannya. Hal itu relevan dengan judul teatrikal ini di mana arti “merayakan” sebenarnya adalah bentuk sindiran atas keberhasilan DPR mengesahkan UU Cipta Kerja yang mengkhianati rakyat Indonesia.

“Lebih ke sindiran saja sih atas suara penolakan kita dari 2019 terhadap Rancangan UU Cipta Kerja yang dijadikan Perppu. Ternyata ini cuma penundaan dan ujungnya disahkan juga,” kata Zul.

Zul mengungkapkan aksi protes Emka menyoroti pasal-pasal bermasalah dalam UU Cipta Kerja.

“Berangkatnya dari ketidakjelasan para buruh-buruh tentang PHK dan kompensasinya. Karena itu makanya dimunculkan tiga simbol: nelayan, petani, dan buruh. Menurut kami yang terdampak ini ya mereka-mereka,” ujarnya.

Salah satu penonton Rainissa (Antropologi 2020) mengaku geram dengan ulah DPR yang direfleksikan dalam pertunjukan teater Emka. Menurutnya DPR dan Undang-Undang yang disahkan tersebut merugikan rakyat.

“Kalau buat aku sih, semoga mereka (DPR) mau lebih terbuka saja sih sama rakyat. Terbuka berarti mau dengerin apa pendapat rakyat,” kata Rainissa.

Penonton lainnya Shinta (Sastra Indonesia 2020) memberi apresiasi terhadap pementasan drama dari teater Emka yang menjadi bentuk penyampaian pendapat rakyat.

“[Emka] bisa lebih bagus lagi. Beneran jadi wadah demonstrasi yang selalu mengusahakan pendapat rakyat yang sebelumnya nggak tersampaikan dengan baik,” katanya.

Reporter: Dewi, Suci

Penulis: Suci

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top