
Jumat (12/5/2023), Keluarga Mahasiswa Sastra Indonesia (KMSI) menggelar acara perayaan hari puisi yang jatuh pada 28 April di Crop Circle Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Diponegoro (Undip).
Acara terdiri dari beberapa pertunjukan, seperti pembacaan puisi dan musikalisasi puisi dengan tema “Suara yang Dibelenggu”. KMSI menyoroti sudut pandang korban dari berbagai isu ketidakadilan yang tidak bisa menyuarakan haknya.
Budi, mahasiswa program studi (prodi) Sastra Indonesia angkatan 2022 selaku ketua pelaksana mengatakan bahwa pihaknya ingin mengungkapkan keresahan dari para mahasiswa.
“Kalau [tema] kali ini “Suara Yang Dibelenggu”. [Kami] ambil tema itu karena berkaitan juga dengan isu paling baru yaitu UU Ciptaker (Undang-Undang Cipta Kerja) dan sekarang juga banyak unsur politik di segala bidang. Jadi lebih ingin menyuarakan keresahan dari mahasiswa,” ucap Budi.
Tak hanya mahasiswa angkatan 2019-2022 prodi Sastra Indonesia, dosen pun turut memeriahkan acara dengan membacakan puisi. Partisipan dibebaskan memilih atau bahkan membuat puisi sendiri asal tetap berkaitan dengan tema.
“Kami juga undang dosen, bebas mau tampil atau tidak. Kalau mau, puisinya terserah, asal tetap sesuai tema. Jadi persiapan seluruhnya dari dosen sendiri,” kata Budi.
Sebagai salah satu partisipan, angkatan 2020 prodi Sastra Indonesia membawakan musikalisasi puisi yang memadukan antara lagu “Belenggu” oleh Amigdala, tarian (performance), dan puisi “Reinkarnasi” karya mahasiswi Dewi Lestari.
Pementasan cukup simbolik dengan dua penyanyi, dua penari, dua pembaca puisi dan diiringi satu pemetik gitar. Mengusung persoalan maraknya korban kekerasan seksual yang selalu dibungkam, mereka ingin agar korban berani mengungkapkan suara mereka.
“[Ide] kami muncul dari keresahan-keresahan di sosmed (sosial media) tentang kekerasan seksual. Dan kebanyakan dari korban kekerasan seksual ini suaranya dibungkam gitu. Jadi muncul ide kami ingin menyuarakan teman-teman yang jadi korban pelecehan seksual ini. Agar mereka jadi lebih berani buat mengungkapkan suara mereka gitu,” ucap Akmal, mahasiswa Sastra Indonesia 2020 sekaligus penampil.
Pada penampilan tersebut dipertunjukan seorang lelaki dan satu perempuan nampak berpakaian serba putih dengan bercak merah di beberapa titik. Mulut mereka dibungkam perekat hitam, tubuhnya menari-nari, jatuh bangun, dan terseok-seok tanpa bicara. Hal itu menggambarkan bahwa mereka adalah korban kekerasan seksual yang selalu kalah.
“Kau terus bergumul dengan ayat-ayat yang sama, mencari sekutu, mengubur lebih banyak pelacur dan anak-anaknya,” ujar salah satu penampil yang membacakan puisi berjudul “Reinkarnasi”.
Bagian penutup dari musikalisasi puisi tersebut adalah aksi para penari yang melepas paksa perekat di mulutnya. Mereka berteriak layaknya jengah dengan ketidakadilan dan kemudian berani bersuara.
Sebagai penonton, Aufa yang merupakan mahasiswa prodi Sejarah sangat menikmati dan mengapresiasi seluruh pertunjukkan dalam acara tersebut. Menurutnya, semua penampil telah berhasil membangun culture sastra dan menginspirasi orang lain dalam berkarya.
“Pembawaan rasa dan karsanya udah baik banget. Kelihatan anak Sasindo (Sastra Indonesia) ini udah familier banget dengan kesusastraan yang ada di Indonesia. Terlebih peran kita sebagai mahasiswa juga harus peka terhadap isu-isu politik dan ketidakadilan yang ada di Indonesia,” ungkap Aufa.
Sementara itu, Budi berharap semua penampilan dalam acara malam itu bisa bermanfaat dan pesan-pesan yang ingin disampaikan dapat diterima oleh penonton.
“Semoga pesan dari penampil dapat diterima dengan baik oleh penonton. Apabila ada yang bisa diimplementasikan, semoga bisa direalisasikan kedepannya,” ujarnya.
Reporter: Vatrischa, Suci
Penulis: Suci
Editor: Juno