Informasi Buku:
Judul : Lembaga Budi
Penulis : Prof. Dr. Hamka
Penerbit : Republika
Halaman : 220
ISBN : 978-602-0822-16-7
Buku ini dimulai dengan refleksi diri manusia sebagai salah satu makhluk ciptaan Tuhan. Manusia yang dibekali akal oleh Tuhan, Ia dapat mencerna ilmu pengetahuan dan berpikir sehingga mampu membuatnya bertindak dengan masak-masak. Dimuliakanlah kedudukan manusia dengan akalnya itu, berbeda halnya daripada makhluk Tuhan lainnya.
Pembahasan buku ini menjelaskan perilaku budi pekerti manusia, baik hubungan manusia dengan Tuhan, entitas antar manusia secara umum, maupun sikap budi manusia sesuai dengan profesinya. Selain itu, bagian akhir buku ini dilengkapi kutipan dan cerita pendek mengenai renungan diri budi pekerti manusia.
Banyak pembahasan menarik yang disajikan di dalam buku ini, salah satunya adalah terdapat kesalahan-kesalahan yang tidak diatur hukumannya dalam perundang-undangan karena statusnya tidak bisa terikat jelas dengan jenis hukuman yang setimpal dengan kesalahan tersebut.
Dalam buku ini dijelaskan hal tersebut bisa berakibat pada “murahnya” harga budi pekerti. Seolah orang-orang berlomba berbuat baik sebatas pada takut dihukum saja, bukan merupakan tabiat sesungguhnya.
Buku ini juga membahas bagaimana menjaga budi pekerti yang baik disertai alasan-alasan mengapa budi pekerti itu penting bagi keberlangsungan hidup masyarakat dengan alasan yang cukup logis, bukan sekedar menjual rasa ketakutan akan dosa semata.
Buku yang ditulis pada tahun 1940-an ini sangat apik karena pembahasan yang dituliskan sudah mengangkat tema pentingnya kesehatan jiwa yang merupakan salah satu kunci keseimbangan hidup.
Selain itu, terdapat suatu kisah mengenai kesehatan jiwa pada buku ini, kurang lebihnya sebagai berikut:
“Masyarakat yang kurang mempedulikan kesehatan jiwa akan diobati dengan para orang-orang agamis, yang mana itu bukan ranah ilmu pengetahuannya dan berakibat pada ketidakmampuan mereka untuk mengidentifikasi penyakit jiwanya. Alhasil, sakitnya bertambah parah.”
Fenomena tersebut merupakan kemunduran ilmu kejiwaan karena orang-orang meninggalkan metode pengobatan ilmiah walaupun ilmu pengetahuan tersebut merupakan ranahnya.
Orang-orang pun menyimpulkan bahwa penyakit jiwa itu tidak ada karena menganggap semua permasalahan yang dapat meresahkan jiwa mereka itu solusinya hanya berputar pada “Sudah taubat saja, meminta pengampunan kepada Tuhan. Jangan lupa untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Nanti akan sembuh”, tanpa melalui serangkaian proses observasi, identifikasi, atau pengobatan yang sesuai dengan penyakit jiwa yang dialaminya secara ilmiah.
Orang-orang yang resah jiwanya itu akan terus tertekan batinnya karena menganggap penyakit jiwanya merupakan suatu kesalahan, dosa yang akan menjauhkan dirinya kepada Tuhan.
Pada akhirnya, pasien tersebut akan terus-menerus berbuat amal yang berorientasi pada duniawi yang dilakukan secara repetitif dan mereka menyebutnya ibadah, padahal itu merupakan suatu rutinitas saja.”
Saya −sebagai pembaca− pun sepakat bahwa bertaubat, berdo’a, dan mendekatkan diri kepada Tuhan tentu tidak salah, tetapi ketiadaan usaha (ikhtiar) akan membuat ‘pincang’ suatu proses penyelesaian masalah penyembuhan penyakit jiwa tersebut.
Oleh karena itu, pada awal buku ini terdapat pembahasan mengenai hubungan manusia dengan Tuhan untuk memaknai bahwa perbuatan baik bukan hanya sekedar alat transaksi dengan Tuhan, yang ditukarnya kebaikan dengan pahala, tetapi lebih dari itu karena kebaikan merupakan sesuatu ‘mahal’ yang dimiliki manusia tanpa melihat latar belakangnya.
Walaupun tujuan ibadah untuk menghindari hukuman, mendapatkan pahala, dan menginginkan masuk ke dalam surga praktiknya tidak dipermasalahkan dan tentu saja diperbolehkan karena sesungguhnya manusia merupakan makhluk lemah dan miskin dibanding Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Kaya.
Secara keseluruhan buku ini direkomendasikan kepada orang-orang yang ingin membaca dialektika budi pekerti dari sudut pandang Al-Qur’an dan isinya pun dapat diaplikasikan secara universal.
Pembahasannya sangat kompleks, penyampaiannya pun sangat mendetail disertai contoh, namun memang perlu dibaca dengan cermat dan berulang kali karena bentuk kalimatnya tidak begitu familiar dengan penulisan era sekarang.
“Diribut runduklah padi
Dicupak datuk Termenggung
Hidup kalau tidak berbudi
Duduk tegak ke mari canggung
Tegak rumah karena sandi
Runtuh budi rumah binasa
Sendi bangsa ialah budi
Runtuh budi runtuhlah bangsa”
Penulis: Sava
Editor: Juno