Senin (22/5/2023), Kongres Nasional Pers Mahasiswa ke-XVII dibuka. Acara ini diadakan oleh Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) dan diadakan di Universitas Sebelas Maret Surakarta. Pembukaan dimulai dengan pemukulan gong oleh Andreas Harsono, Jurnalis Senior, aktivis HAM dan penulis. Acara kemudian dilanjutkan dengan seminar nasional dengan topik “Resolusi Payung Hukum Persma, Perkuat Militansi Percepat Regulasi”.
Seminar nasional ini diselenggarakan di Aula FISIP UNS dengan menghadirkan tiga pembicara yaitu Adil Al Hasan dari Badan Pekera (BP) Advokasi PPMI Nasional, Andreas Harsono dari Human Rights Watch dan Mukhlis Sirotul Munir dari Persma Surakarta dan dimoderatori oleh Nurul Lathifah dari LPM Kentingan UNS.
Hasan Al Adil menjelaskan bahwa ada tiga tantangan bagi pers mahasiswa yaitu Represi, perlunya pers mahasiswa untuk meningkatan kapasitas kemampuan jurnalistik, dan hukum di Indonesia yang tak berpihak dan memiliki banyak pasal karet (UU ITE/KUHP/Statuta).
Berdasarkan data yang berhasil dikumpulkan oleh Hasan, pada 2020-2021, represi terhadap pers mahasiswa paling banyak dilakukan oleh birokrasi kampus.
Menurut Hasan, ada beberapa alasan mengapa pers mahasiswa sering direpresi, yaitu: kurangnya penghormatan terhadap kebebasan bereskpresi di lingkup kampus, belum adanya perlindungan secara kompherensif terhadap pers mahasiswa, belum adanya mitigasi resiko dari pihak pers mahasiswa, adanya normalisasi terhadap tindakan represi di kalangan pers mahasiswa, dan adanya kelalaian dalam kode etik jurnalisme dari pers mahasiswa itu sendiri.
Sebagai solusi, ia menawarkan beberapa langkah guna mencegah represi terhadap pers mahasiswa yaitu perlunya mengawal pembentukan payung hukum bagi pers mahasiswa, meningkatkan kapasitas dan kemampuan jurnalistik bagi pers mahasiswa dan membangun kesadaran mitigasi bagi pers mahasiswa.
Dalam seminar ini, Andreas Harsono menjelaskan bahwa mutu pers kampus memiliki hubungan yang erat dengan kualitas akademik kampus tersebut.
“Jadi, saya percaya bahwa makin bermutu jurnalisme di kampus, makin bermutu kampusnya. Makin bermutu jurnalisme mahasiswa di kampus, kehidupan akademiknya makin bermutu. Jadi bagi saya, pers mahasiswa itu sangat berkait dengan mutu kampus, mutu kehidupan akademik,” ujarnya.
Selanjtnya, Andreas Harsono juga memaparkan bahwa kebebasan berpendapat dan kebebasan pers di Indonesia masih dijegal dengan adanya pasal-pasal karet dalam undang-undang, pasal-pasal karet yang ada dapat menjadi alat politik yang berbahaya.
“Makin kesini infrastruktur hukumnya makin tidak menghargai kebebasan berekspresi, berpendapat, beragama, dan lain-lain” ucap Andreas.
Guna melindungi pers mahasiswa dari ancaman pasal karet dalam KUHP dan ancaman represi dari manajemen kampus, Andreas Harsono mendorong Dewan Pers untuk segera berdialog dengan Kementerian Pendidikan, Kementerian Agama dan Kepolisisan untuk membuat kesepakatan MoU guna melindungi pers mahasiswa dan setiap permasalahan pers mahasiswa untuk diselesaikan secara bersama melalui Dewan Pers.
“Bila sudah ditanda tangani, setiap perselisihan dengan pers mahasiswa tidak boleh ditangani dengan polisi, harus ditangani oleh dewan pers dan pihak-pihak yang melakukan kekerasan terhadap pers mahasiswa tersebut harus dikenakan pasal-pasal pidana” tegasnya.
Reporter: Farhan, Jae, Aida
Penulis: Farhan
Editor: Juno