Paradoks Kesalehan di Negara Paling Saleh

The mice ultimately destroyed themselves in religious strife leading to a conflagration of their cage.
Kesalehan Seekor Tikus Kapitalis Agamis
Ilustrasi: Albertus Hendy Christian

Pada suatu pagi di kuliah yang cukup membosankan, Pak Dosen menjelaskan tentang bagaimana cara agar integrasi emosional nasional terwujud. Entah sengaja atau tidak, beliau mengutarakan keresahannya terhadap pola perilaku masyarakat Indonesia yang religius sekaligus korup.

Aneh, saleh sekaligus gemar pamer, agamais tetapi suka terima suap. Abdul Mu’ti dalam salah satu tweet-nya menulis, “Hanya di Indonesia, 1 Syawal empat hari. Idul fitri terpanjang sedunia.” Tetapi di waktu yang sama, korupsi, flexing, suap-menyuap, dan monopoli bisnis kotor menghiasi pemberitaan media ketika itu.

Ungkapan religius sekaligus korup ini mengingatkan saya pada salah satu artikel yang ditulis Burhanuddin Muhtadi berjudul “Agama, Kesalehan Ritual, dan Korupsi”. Ditulisnya bahwa semua agama tentu mengajarkan pemeluknya untuk tidak menyalahgunakan wewenang dan mengambil hak orang lain. Namun realitasnya praktik Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN), monopoli perdagangan, flexing, dan khianat terus berlalu-lalang di negara dengan mayoritas umat beragama ini.

Pernyataan tadi diperkuat dengan data survei yang dilakukan Lingkar Survei Indonesia (LSI) tahun 2017 berjudul “Korupsi, Religiositas, dan Intoleransi”. LSI mengupas korupsi dari dua dimensi, sikap dan perilaku. Sikap berkaitan dengan pandangan dan penilaian responden terhadap praktik KKN. Sedang dimensi perilaku mencakup pengalaman dan tindakan korup yang pernah dilakukan responden.

Hasilnya, makna agama dan kesalehan yang dijalani hanya berhubungan signifikan dengan sikap, bukan pada perilaku korupsi. Semakin saleh seseorang hanya semakin bersikap anti-korupsi, tetapi perilaku korupsi tetap berjalan dan tidak ada hubungannya dengan masalah agama. Dengan kata lain, tingkat kesalehan seseorang baru berdampak pada level normatif, belum berdampak pada tingkat perilaku.

Dalam sebuah survei lain yang dirilis tahun 2020 oleh Pew Research Center bertajuk “The Global God Divide”, Indonesia menjadi negara paling religius di dunia. Survei tersebut menjelaskan 3 hal. Pertama, 96% masyarakat Indonesia meyakini kepercayaan kepada Tuhan berbanding lurus dengan moralitas. Kedua, 96% melakukan doa atau beribadah. Ketiga, 98% mengakui pentingnya agama dan Tuhan dalam kehidupan. Artinya, hampir seluruh masyarakat Indonesia menilai hubungan kepercayaan kepada Tuhan memiliki nilai-nilai yang baik.

Angka 96% masyarakat Indonesia percaya Tuhan dan agama berbanding lurus dengan moralitas. Ini diperkuat dengan angka Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia tahun 2022 yang dirilis Transparency International Indonesia. IPK Indonesia berada di posisi 110 dari 180 negara. Kesadaran anti-korupsi publik yang menguat dan merebaknya dugaan dan kasus (korupsi, nepotisme, suap-menyuap, bisnis kotor, dsb) menjadi suatu yang bertolak belakang.

Di satu sisi terdapat kelompok yang bersikap anti-korupsi, di sisi lainnya malah melakukan tindak korupsi. Dan ironisnya, masyarakat Indonesia harus menerima fakta bahwa hampir seluruh sendi aktivitas bermasyarakat kita terkontaminasi dengan praktik-praktik kotor tersebut.

Jika pada tataran akar rumput agama tidak cukup membendung perilaku menyimpang para pemeluknya. Lantas bagaimana peran dan makna agama bermain di tataran elite pejabat publik yang memiliki banyak kepentingan pada setiap jengkal perbuatannya?

Sekarang coba kita buat abstraksi, kita masukan elite tersebut dalam kategori warga negara yang beragama, beribadah, dan percaya Tuhan dan agama berbanding lurus dengan moralitas. Maka mudah membayangkan seluruh kepala daerah, anggota dewan, polisi, sipir, tentara, sampai pegawai kementerian bekerja sesuai tupoksi dan SOP yang berlaku. Segala macam pengaduan, pelayanan, perlindungan, dan pencatatan administrasi warga negara dilakukan tanpa ada embel-embel uang pelicin.

Adanya beban moral sebagai pelayan masyarakat inilah yang membuat ruang gerak mereka terbatas dalam melakukan kecurangan. Sebab kecurangan yang timbul hari ini bukan sebatas karena niat pelaku tetapi juga kesempatan dan persekongkolan banyak pihak.

Sangat mungkin faktor penyebab masyarakat melakukan perilaku korupsi dan suap-menyuap bukan karena dorongan nalurinya tetapi lebih pada kebiasaan buruk dan konstruksi sosial yang dibentuk sejak lama. Penanaman etika keprofesian kepada pejabat publik dan edukasi akan sikap dan perilaku anti-korupsi menjadi hal penting dalam upaya pemutus lingkaran setan ini.

Kasus terbaru seorang Dirjen Pajak memiliki harta kekayaan yang tidak wajar. Tidak hanya itu, anaknya bahkan menjadi tersangka kasus penganiayaan sampai korbannya mengalami koma. Korban dipukul, diseret, ditendang, kemudian melakukan selebrasi ala Ronaldo.

Kasus serupa juga terjadi di Sumatera Utara, seorang AKBP menjadi tersangka kasus penganiayaan yang dilakukan oleh anaknya sendiri. Ia hanya diam menyaksikan dan membiarkan anaknya melakukan penganiayaan. Ia lalu diberi sanksi pemberhentian tidak dengan hormat karena terbukti melanggar kode etik. Jangankan kode etik, saya rasa sifat kemanusiaan dan kebapakannya pun sudah hilang sebagai manusia.

Contoh selanjutnya melibatkan dugaan monopoli perdagangan dan bisnis haram di lapas. Sipir Lapas Rajabasa harus dicopot dari posisinya sebab dinilai mengendalikan aktivitas ekonomi seperti catering dan koperasi lapas atas persetujuan atasannya.

Selevel di atas kasus Lapas Rajabasa, ada dugaan kasus monopoli bisnis di ratusan lapas oleh Yayasan Jeera Foundation. Yayasan itu disebut menjadi bagian dari PT Natur Palas Indonesia yang dimiliki seorang menteri dan direksi dari yayasan ini anaknya sendiri. Cocok sudah Menkumham punya bisnis di lapas, satset sat-set izin dan operasional lancar.

Dua kejadian ini belum termasuk isu pengendalian, pengedaran, dan pemakaian narkoba di lapas. Isu lama tetapi tak pernah ada penyelidikan mendalam. Hangat-hangat tahi ayam, benar-benar tak ada kemauan kuat membongkar isu ini.

Beberapa contoh kasus di atas membuktikan bahwa pejabat publik kita sudah menghinakan jabatannya sendiri. Pejabat publik yang tidak ada unsur publik-publiknya. Jangankan disebut saleh, religius pun masih jauh rasanya. Belum lagi kasus di sektor kesehatan, pendidikan, teknologi, bahkan keagamaan sekalipun yang tidak luput dari permasalahan korupsi, nepotisme, suap-menyuap, dan flexing.

Agama hanya dijadikan pemanis bibir dan penyelamat masa hukuman. Atribut agama yang digunakan juga belum tentu dari jalur rezeki halal dan baik. Penggunaan atribut agama dalam upaya penyelamatan dan pencitraan diri seorang pejabat publik juga semakin memuakkan. Kuncinya, bagaimana agama dimainkan sedemikian rupa sehingga tumbuh persepsi dan simpati publik kepadanya.

Jika ini yang disebut dengan melibatkan agama dan Tuhan dalam semua urusan masyarakat Indonesia, mungkin tidak salah. Tetapi jika kita kembali ke argumen awal bahwa setiap elite masuk kategori beragama, beribadah, dan percaya Tuhan dan agama berbanding lurus dengan moralitas, maka seluruh abstraksi yang kita buat harus dibatalkan.

Paradoks kesalehan di masyarakat yang merasa paling saleh. Dari wong cilik sampai wong agung punya adilnya masing-masing. Wong cilik terbiasa dengan situasi sogok-menyogok, sedang wong agung sukanya menyalahi peraturan dan penyalahgunaan jabatan.

Agama digunakan sebagai tameng awal dan akhir dalam menutupi kebobrokan juga sebagai ritus untuk dicap religius anti dosa. Kesadaran historis dan kultur agama yang kuat di masyarakat mungkin jadi sebab mengapa kita sering melibatkan agama dalam segala hal, tanpa peduli benar atau tidak cara kita mempergunakan agama.

Meminjam istilah Ichan Loulembah yang saya ubah sedikit, “Sulit membayangkan langit dan bumi tidak bersekutu dalam kehidupan masyarakat, karena sering kali langit dipinjam untuk membumikan kepentingan masyarakat.” Apa pun kepentingan, alasannya bisa dicari dan dicari-cari.

Penggunaan agama dalam setiap urusan adalah wajib bagi yang mengimani tetapi melibatkan unsur agama dalam rangka membenarkan perbuatan batilnya adalah peruntuhan iman. Agama selalu suci, pengikutnya yang beraneka ragam dan ugal-ugalan mengarungi dunia.

Paradoks kesalehan di negara paling saleh. Ketika di mana kita semua secara tidak sadar menjadi pelaku-pelakunya.

Penulis: Raihan Immaduddin (Sejarah 2020)
Editor: Andriv

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top