
ilustrasi Albertus
Menurut Rene Wellek dan Warren (2014:3) sastra adalah suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni. Melalui karya sastra, seorang pengarang dapat menuangkan pikiran dan hasil imajinasinya berupa tulisan maupun lisan. Karya sastra yang dihasilkan oleh pengarang mengandung nilai-nilai dan norma yang dapat dijadikan contoh dalam kehidupan sehari-hari.
Di samping itu sastra berfungsi sebagai kontrol sosial yang berisi ungkapan sosial beserta problematika kehidupan masyarakat hal ini di ungkapkan oleh Jobrahim (1994: 221) bahwa sastra menampilkan gambaran kehidupan dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial.
Dari pengertian sastra sebagai kegiatan kreatif dan fungsinya sebagai kontrol sosial, timbul sebuah pertanyaan yakni bagaimanakah sastra seharusnya dalam membangun lingkungan penciptaannya? Apakah sastra harus universal atau kontekstual? Apakah sastra bisa lahir dari ruang kosong atau sastra justru lahir dari konteks lingkungan sosialnya?
Pertanyaan tersebut bukanlah hal baru dalam khazanah sastra Indonesia dewasa ini. Hal ini bermula dari esai Arief Budiman yang memunculkan gagasan sastra kontekstual, bahwa sastra haruslah mengakar ke bumi dalam artian berangkat dari konteks sosial masyarakatnya sehingga terikat oleh ruang dan waktu (sosial-historis).
Saya sependapat dengan gagasan ini bahwa sastra adalah rekaman lingkungan sehingga berangkat dari konteks sosialnya sehingga sastra memerankan fungsinya dengan baik sebagai kontrol masyarakat. Hal ini juga membuat sastra tidak teralienasikan karena sastra komunikatif terhadap lingkungan sekitarnya.
Saya meminjam pendapat orang-orang penganut paham kontekstual bahwa tidak ada sastra yang lahir tidak kontekstual. Kontekstual dalam paham sastra kontekstual berarti bagaimana karya sastra yang dihasilkan dari konteks-konteks yang ada dalam ruang lingkup di mana karya sastra itu berkonteks. Misalnya karya sastra yang lahir di sekitar Jakarta mungkin akan sulit dipahami oleh orang-orang belahan timur Indonesia dan bisa juga sebaliknya sesuai konteks yang dibangun. Akan tetapi kita juga tidak boleh dengan gegabah menisbikan gagasan universal dalam karya sastra.
Universal yang saya maksud di sini bukan keuniversalan secara nilai-nilai dalam sastra yang ditentang paham sastra kontekstual akan tetapi universal sebagai konsep keindahan. Sejalan dengan pendapat Budi Dharma bahwa universal terjadi karena pada hakikatnya setiap orang di mana pun dan kapan pun mempunyai sikap yang sama dalam menghadapi sesuatu yang indah dengan sifat empati dan simpati. Inilah salah satu sifat sastra yang universal.
Karya sastra memiliki dua sisi yakni sastra sebagai material dan hakikat sastra sebagai non material. Karya sastra sebagai material adalah sebuah media penyampaian perasaan yang lahir dari konteks lingkungannya yang dilihat dari cara padang imaji seorang pengarangnya.
Universal secara sifat adalah bagaimana sastra ini memandang kebenaran ada dimana-mana dan itu harus diungkapkan sehingga dalam beberapa karya sastra sifat keuniversalan ini mampu melampaui batas-batas konteks dan masyarakat. Hal ini dikarenakan konteks itu bersifat terbuka sehingga sangat memungkinkan konteks yang satu bersinggungan dan saling berkesinambungan dengan konteks yang lain dari zaman yang lain.
Hakikat karya sastra sebagai non material adalah hal-hal yang membangun karya sastra tersebut secara kontekstual terkait ruang dan waktunya. Konteks yang membangun tersebut tidak lepas dari konteks lingkungan sosialnya kemudian direkam oleh pengarang dalam sebuah teks-teks yang melalui proses kreatif pengarang sehingga muncul juga sifat estetika dalam karya sastranya. Keindahan atau sifat keestetikaan inilah yang menjadi seragam untuk mendandani konteks sosial yang dibangun dalam karya sastra.
Sastra secara hakikat dan universal secara sifat dapat kita lihat pada novel Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. Karya sastra tersebut secara kontekstual terikat oleh ruang dan waktu karena merekam sejarah sebagai konteks lingkungan sosial yang dibangun.
Akan tetapi novel tersebut tetap abadi karena sifat keuniversalannya. Universal yakni tetap dapat bersinggungan dengan konteks yang lain dan berkesinambungan di luar konteks zamannya. Hal ini yang saya maksud sebagai sastra universal secara sifat dan kontekstual secara hakikat.
Jika kita menelusuri karya-karya sastra yang lainya dari sastra kuno sampai modern, dari Rongowarsito dengan “Kalatidha”-nya sampai Seno Gumira yang menulis kembali “Kalatidha” sesuai dengan konteks zaman sekarang kita dapat melihat bahwa semua karya sastra ini kontekstual. Sastra terbentuk dari permasalahan-permasalahan kemanusiaan serta lingkungan sosial yang meliputinya, tetapi juga bersifat universal dengan sifat keabadiannya karena dapat berkesinambungan dengan konteks yang lain, pada zaman yang berbeda.
Pada akhirnya, perdebatan antara sastra seharusnya kontekstual atau universal tidaklah harus dipandang secara dikotomis. Kita dapat menarik garis dialektis antara sastra kontekstual dan sastra universal bahwa ada kekontekstualan dan keuniversalan dalam setiap karya sastra.
Yang perlu diingat adalah bagaimana karya sastra itu (seharusnya) menciptakan konteks yang utuh dengan menggali secara substansial akar permasalahan yang ada sehingga menghasilkan karya yang bermutu dan bermanfaat. Mengutip pendapat Y.B. Mangunwijaya bahwa karya sastra yang indah dan bermutu adalah karya yang menggali kedalaman sebuah permasalahan.
Sumber:
Heryanto, Ariel. 1985. Perdebatan Sastra Kontekstual. Jakarta: CV Rajawali.
Jobrahim. 1994. Teori Penelitian Sastra. Yogyakarta: Masyrakat Poetika Indonesia IKIP Muhammadiyah
Wellek, R., & Warren, A. 2014. Teori Kesusasteraan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Penulis: Zul
Editor: Andriv