
Kamis (13/07/2023), LBH (Lembaga Bantuan Hukum) bekerja sama dengan Imparsial mengadakan diskusi publik dengan tema “Problematika Revisi UU TNI Ditinjau dari Perspektif Hukum, Politik, dan Hak Asasi Manusia” secara offline dan online. Diskusi ini membahas mengenai adanya rencana revisi UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang didorong oleh Mabes TNI dan Kementerian Pertahanan (Kemenhan) yang sudah tersebar luas.
Rencana revisi ini menimbulkan kekhawatiran karena dapat mengancam kehidupan demokrasi, prinsip negara hukum, dan pelanggaran. Revisi Undang-Undang ini dianggap mengembalikan keikutsertaan militer dalam kebijakan perpolitikan dan sipil pemerintah atau disebut juga dwifungsi seperti pada masa Orde Baru. Selain itu, revisi ini melemahkan kontrol sipil atas militer karena kewenangan pengerahan pasukan oleh presiden akan dihapuskan, yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran keputusan. Selain masalah dwifungsi, isi dari revisi tersebut mengusulkan peranjangan usia pensiun Bintara dan Tamtama serta diadakannya program wajib militer antara usia 18 sampai 36 tahun.
Salah satu pembicara, yakni Muhammad Haripin, menjelaskan bahwa rencana revisi ini sudah dibahas sejak tahun 2010, bahkan isi mengenai wajib militer juga pernah ditolak sejak tahun 2004.
“Undang-undang ini pernah ditolak berkali-kali oleh masyarakat sipil sejak tahun 2004, undang -undang ini juga ditolak 2009 ditolak, 2014 ditolak, karena menawar menelan terus akhirnya dibahas diam diam di 2019, disahkan dalam jangka waktu satu bulan jadi, pembuatan rawunan 5 tahun ini tidak memenuhi kaedah dan standar untuk menutupkan undang -undang yang baik kenapa tidak mau mengurikan standar kaedah untuk menunggu naik baik?” tegas Haripin mengenai Undang-Undang TNI ini.
Pada salah satu sesi diskusi, Adetya Pramandira yang merupakan salah satu pembicara, menyatakan pandangannya bahwa ia tidak pernah melihat ada atau terjadinya proses demiliterisasi di dalam kehidupan bangsa Indonesia setelah peristiwa reformasi 98. Ketika demonstrasi besar-besaran terjadi pada tahun 1997-1998, banyak yang menyebut sebagai demiliterisasi dengan gaungan jargon “militer kembali ke barak”. Kenyataannya proses demiliterisasi masih belum terjadi, bahkan pasca reformasi dan menyebutnya sebagai remilitarisasi gaya baru kebangkitan militer.
“Proses hegemoni, proses bagaimana internalisasi ideologi militeristik ini kemudian diterjemahkan ke dalam ranah-ranah pendidikan. Dan paskareformasi itu sudah terjadi. Memang kita enggak dengan gamblang ada penculikan dan lain-lain. Tapi internalisasi ideologi itu sudah berjalan bahkan saat reformasi itu ada. Nah ini menjadi kritik bahwa, ya saya tidak terlalu kagum dengan cerita hari ini, karena itu sudah terjadi sejak masa lampau,” ujarnya.
Ia juga menyebutkan bahwa pengasahan atau revisi undang-undang TNI ini adalah jalan “legal” bagaimana TNI mulai atau militer berkelindan dengan parlemen. Sebelumnya soal agaran, dan lain-lain yang menyetujui adalah parlemen. Tapi dengan revisi undang-undang TNI, secara aktif militer berperan dalam pengambil kebijakan.
Ignatius Radhite, anggota LBH Semarang yang juga ikut sebagai pembicara diskusi, menyebutkan bahwa demokrasi yang kita alami sekarang adalah “Demokrasi Kartel,” dimana semua produk-produk dan kegiatan ekonomi di atur oleh orang-orang kaya.
“Dan bahkan, kita menganalisisnya sebagai demokrasi kartel. Demokrasi kartel yang kita maknai adalah demokrasi yang dipimpin, dikelola, diatur oleh orang-orang kaya, dan digunakan untuk kepentingan orang-orang kaya itu juga. Sehingga kemudian, karena ada demokrasi kartel, yang muncul ya produk-produk kapitalistik,” ujar Radhite.
Reporter: Juno, Albert, Mahes
Penulis: Mahes
Editor: Juno