Mengapa sebuah film bisa dijadikan sebagai pembelajaran mengenai perang? Itu adalah pertanyaan yang selalu terpikirkan oleh penulis. Menurut Daniel Lieberfeld dalam “Teaching War through Film and Literature” bahwa penggambaran sebuah perang melalui film dan literatur adalah untuk mempertajam pandangan kritis terhadap mitologi dan citra popular perang. Dan ini mengarah kepada film bertema anti perang.
Film Anti Perang adalah film bertema pertentangan peperangan yang dianggap perang merupakan sebuah hal yang sia-sia, tidak adil, dan dianggap menguntungkan masyarakat elit. Perang merupakan fenomena yang ingin dihindarkan oleh umat manusia. Ada yang berhasil dicegah, dan ada yang tidak.
Dalam kurun waktu sejarah, fenomena gerakan anti perang mulai meluas sejak Perang Dunia Pertama dan berlanjut sampai sekarang. Gerakan ini tidak hanya berbentuk gerakan demonstrasi, namun juga melalui sastra, baik berbentuk lukisan, literatur, dan film. Novel “anti perang” seperti All Quiet on The Western Front karya dari Erich Maria Remarque menggambarkan bagaimana perang tidak selalu membawa kejayaan maupun kehormatan, namun juga kesengsaraan, kematian, dan kebohongan.
Maju ke Bulan Juli 2023 di mana dunia hiburan perfilman sedang menyaksikan salah satu film yang lagi sedang tayang, Oppenheimer (2023). Oppenheimer mengisahkan Robert Oppenheimer yang merupakan pencipta bom nuklir yang bom tersebut digunakan untuk menghancurkan Hiroshima dan Nagasaki. Lebih dari penciptaan bom nuklir, Oppenheimer juga mengisahkan persimpangan moral dari penggunaan senjata maha dahsyat itu sendiri.
Dalam film tersebut, Oppenheimer bersikap optimis sekaligus pesimis terhadap perkembangan senjata nuklir. Optimis bahwa bom nuklir dapat menghentikan perang dan membawa perdamaian, serta pesimis bahwa bom nuklir membawa kematian lebih banyak dan jika jatuh ke tangan yang salah akan mengakibatkan bencana besar.
Oppenheimer meminta ke pemerintah Amerika untuk menghentikan proyek pembuatan bom nuklirnya, namun hal itu tidak dihiraukan dan perkembangan bom nuklir pun terus berlanjut hingga menciptakan perlombaan senjata nuklir selama perang dingin.
Film Oppenheimer merefleksikan bagaimana bahayanya sebuah senjata pemusnah massal dapat menghancurkan banyak nyawa manusia. Walaupun tidak bisa melihat adegan jatuhnya bom nuklir di Hiroshima dan Nagasaki dalam filmnya, kita bisa berimajinasi dan merasakan kesengsaraan akibat meledaknya bom nuklir tersebut.
Di akhir film juga menggambarkan ketika memasuki era perang dingin, dimulainya perlombaan senjata nuklir yang mengubah perpolitikan, peperangan, dan teknologi umat manusia. Bom nuklir yang awalnya hanya bisa diangkut dan dijatuhkan melalui pesawat pengeboman dikembangkan dan diganti menjadi misil bertenaga nuklir.
Kepopuleran masa perlombaan nuklir ini menimbulkan kegelisahan akan kepunahan umat manusia, yang mengakibatkan terjadinya gerakan anti senjata nuklir dan menuntut pelucutan senjata dan pemberhentian percobaan bom nuklir.
Namun Oppenheimer bukan film pertama kalinya memunculkan kengerian bom nuklir. Film-film bahkan acara televisi seperti The Day After (1983) menampilkan kengerian dan kehancuran akibat bom atom. Bahkan setelah bom dijatuhkan, banyak masyarakat yang selamat harus berhadapan dengan keterbatasannya akses makanan, minuman, dan fasilitas lainnya karena hancur akibat ledakan nuklir.
Walaupun menampilkan dampak mengerikan mengenai bom nuklir, Oppenheimer lebih menekankan apakah aksi yang dilakukan sepanjang film benar atau salah. Jika benar maka hal itu mungkin berguna demi sebuah negara. Namun konsekuensinya si protagonis juga dihadapkan pada kenyataaan bahwa semua hasil kerjanya diambil alih orang lain dan dia tidak dibutuhkan lagi.
Tapi apakah Oppenheimer merasa bersalah terhadap kreasinya? Kita juga perlu melihat sisi lain bagaimana kemunculan nuklir merupakan salah satu penemuan yang mengubah dunia sains untuk menuju hal yang baik.
Oppenheimer merupakan salah satu sekian banyak film anti perang lainnya, di mana sebuah partikel dijadikan senjata yang memiliki daya kekuatan hebat yang bisa memusnahkan umat manusia. Namun film ini juga memiliki kacamata pandangan lain bahwa kita masih mempunyai kesempatan untuk menggunakannya dengan bijak.
Penulis: Mahes
Editor: Andriv