Langsung pada inti pembahasannya saja. Tulisan ini hadir sebagai bentuk apresiasi dan ketidaksepakatan saya atas beberapa pernyataan yang ditulis oleh Farhan Prabu dalam tulisan berjudul “Pesantren Al-Zaytun Sesat? Salah Siapa?” yang dimuat Pers Mahasiswa Hayamwuruk beberapa minggu yang lalu. Tulisan tersebut menurut hemat saya terlalu tendensius dan mendorong pembaca untuk mengamini Pondok Pesantren Al-Zaytun sesat.
Untuk itu, tulisan ini bermaksud untuk memberi pandangan lain kepada pembaca bahwa Pondok Pesantren Al-Zaytun sama seperti pondok-pondok pesantren modern lainnya bahkan juga tidak tergolong sesat seperti yang ditulis Farhan dan media-media di luar sana.
Polemik dan Kontroversi Pondok Pesantren Al-Zaytun
Harus diakui, banyak polemik dan kontroversi seputar Pondok Pesantren Al-Zaytun yang tersebar di media massa sampai hari ini. Dari keterikatannya dengan gerakan Negara Islam Indonesia (NII), penyalahgunaan kekayaan pondok pesantren, madzhab yang digunakan, sampai dengan permainan intelijen di sekitar pesantren.
Dalam tujuan membatasi pembahasan agar tidak melebar ke mana-mana, saya hanya akan menanggapi hal-hal yang dirasa keliru dan berlebihan dari apa yang sudah ditulis oleh Farhan. Pertama, Farhan menganggap azan yang menghadap jamaah dan intonasi yang tidak lazim dilakukan masyarakat Indonesia masuk ke dalam dugaan kesesatan. Farhan bahkan mengharuskan muazin menghadap kiblat dan lafaz azan diucapkan tersambung.
Faktanya, lafaz azan yang dilantunkan di Al-Zaytun semuanya tersambung, jeda antar kalimat yang dipakai muazin untuk mengambil napas pun tergolong normal. Lagi pula, hukum azan dalam Islam menurut tiga ulama mazhab adalah sunah muakkad, yaitu sunah yang sangat dianjurkan, yang ketika dikerjakan mendapat pahala namun tidak berdosa ketika ditinggalkan. Sama halnya dengan ibadah salat tarawih saat bulan Ramadan, Salat Duha, salat Idulfitri, dan Tahajud.
Mengenai muazin yang menghadap kiblat dan pelafalan atau intonasi azan yang merdu, keduanya hanya sebagai sunah mengumandangkan azan, bukan syarat sah azan. Jadi, tidak terdapat pelanggaran syariat atau hukum islam dalan persoalan azan di Al-Zaytun, karena memang hukum azan sendiri adalah sunah serta menghadap kiblat dan melantunkan azan dengan merdu juga termasuk sunah. Terkesan sangat berlebihan ketika azan yang tidak sesuai sunah dianggap sebagai kesesatan.
Toh, kita juga tidak pernah mendengar ada seorang yang salat Tarawihnya terburu-buru dan tidak menggosok gigi masuk ke golongan orang-orang sesat, padahal sunah dari salat Tarawih yang dilakukan nabi adalah menggosok gigi dan memanjakan bacaan salat.
Kedua, penetapan fatwa sesat dari organisasi masyarakat tidak bersifat mengikat. Fatwa yang dikeluarkan oleh organisasi masyarakat bahkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) hanya bersifat rekomendasi terhadap keputusan yang akan diambil negara. Oleh karenanya, fatwa ini tidak memiliki legalitas untuk diikuti dan ditaati oleh seluruh umat Islam di Indonesia.
Hal ini diperkuat oleh salah satu cuitan Prof Mahfudz MD yang berbunyi, “Sejak dulu sampai dengan sekarang fatwa MUI atau fatwa siapa pun tidak harus diikuti. Jangankan fatwa MUI, fatwa MA (Mahkamah Agung) yang lembaga peradilan negara saja tak harus diikuti. Yang mengikat kalau dari MA adalah vonisnya, bukan fatwanya. Tapi kalau pihak-pihak sepakat memakai fatwa, ya dibolehkan.”
“Secara etis (bukan secara yuridis) jika meminta fatwa mestinya fatwanya diikuti. Tapi itu etis saja, tidak harus. Selain itu, banyak fatwa MUI, NU, Muhammadiyah, dan lain-lain yang dikeluarkan bukan karena ditanya atau diminta tapi hanya merespons kontroversi di publik,” sambung Prof Mahfudz MD.
Untuk itu, keliru jika kita menyebut fatwa sesat yang dikeluarkan oleh organisasi masyarakat semacam MUI, Nahdlatul Ulama, atau Muhammadiyah bersifat mengikat dan harus ditaati oleh masyarakat Indonesia secara umum. Sebab dalam hukum Islam, suatu fatwa dianggap sebagai pendapat hukum yang berdasarkan istinbath dari Al-Qur’an dan/atau sunah, maka setiap ulama memiliki pendapatnya masing-masing yang sering kali berbeda.
Ketiga, Farhan berharap penahanan Panji Gumilang (PG) atas dugaan penodaan agama bisa dengan segera menyelesaikan polemik dan kontroversi Pondok Pesantren Al-Zaytun. Sejak tanggal 1 Agustus 2023, Bareskrim Polri menetapkan PG atas penodaan agama. Alih-alih menenangkan suasana gaduh, vonis ini malah semakin membuat rumit kasus PG yang disinyalir sarat kepentingan politik dan tidak selaras dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia (HAM).
Menurut Direktur Eksekutif Setara Institute, sebagian akademisi dan ulama menganggap pernyataan yang disampaikan PG adalah bentuk kebebasan berpendapat yang lumrah dalam khazanah keagamaan. Tetapi hal ini memang sering terjadi sepanjang pemerintahan Presiden Jokowi, penggunaan pasal penodaan agama menjadi cara mudah untuk melayani selera dan sentimen politik kelompok konservatif terutama di tahun politik.
Sepanjang pemerintahan Jokowi terjadi lonjakan tajam terhadap kasus-kasus penodaan agama. Dari total 187 kasus penodaan agama yang terjadi sejak tahun 1965 sampai 2022, pemerintahan Jokowi menyumbang 122 kasus di antaranya. Negara harusnya menjamin dan memberi kepastian kebebasan beragama bagi setiap warga negara sesuai Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Pasal 28E ayat (1) UUD 1945.
Agama adalah ranah subjektif yang masing-masing warga memiliki hak yang setara untuk memiliki tafsir atas keyakinan agamanya. Adanya perbedaan tafsir atas keyakinan keagamaan hendaknya bisa selesai melalui cara-cara dialog, bukan dengan pemidanaan yang ujungnya merampas kebebasan beragama seseorang.
Selain jaminan kebebasan beragama oleh negara, media juga memiliki peran penting dalam persoalan ini. Media harus bisa objektif, independen, dan bebas dari kepentingan politik praktis. Media tidak boleh ikut dalam produksi berita yang menyudutkan suatu kelompok dengan turut serta memberi label sesat atau menyimpang. Media seharusnya berdiri di atas semua kelompok masyarakat.
Label Sesat kepada Al-Zaytun dan Catatan Buruk Atas Kebebasan Sipil di Indonesia.
Kasus penodaan agama yang menimpa PG selaku pemimpin Pondok Pesantren Al-Zaytun tidak serta-merta membuat pondok pesantren ini menjadi sesat. Kemenag sendiri sudah mengkonfirmasi terkait kurikulum yang digunakan di Pondok Pesantren Al-Zaytun, dijelaskan bahwa Al-Zaytun masih memakai kurikulum yang ditetapkan pemerintah dan tidak ada bentuk penyimpangan.
Artinya salah jika kita ujug-ujug melabeli Pondok Pesantren Al-Zaytun menyimpang dan sesat hanya karena pernyataan yang keluar dari pimpinan pondoknya. PG sebagai warga negara Indonesia, tentu PG memiliki kemerdekaan dan kebebasan beragama sesuai amanat konstitusi. Meskipun saya pribadi tidak seluruhnya mengamini pernyataan yang dikeluarkan PG, tetapi ruang-ruang dialog tentang tafsir dan pendapat keagamaan harus diperbanyak alih-alih pemidanaan.
Sebagai negara demokrasi, Indonesia memiliki catatan buruk terhadap aspek kebebasan sipil. Ketika negara lain sudah jauh membahas berbagai persoalan, masyarakat Indonesia masih saja berkutat pada perdebatan sesat-menyesatkan, jika perdebatan itu bisa diselesaikan di ruang-ruang diskusi dan menambah pengetahuan masyarakat luas, tidak ada masalah. Masalahnya yang sering terjadi adalah perampasan hak berpendapat dan kesenangan golongan tertentu untuk kafir-mengkafirkan golongan lain yang tidak sependapat dengan golongannya.
Sebagai penutup, Semoga dengan tulisan ini dapat membuat iklim kritik-mengkritik tumbuh subur dalam lingkungan kampus FIB. Untuk Farhan, banyak hal yang saya sependapat dengannya, tetapi apa salahnya jika kita diskusi langsung dengan argumentasi yang akan kita bawa masing-masing ke dalam forum.
Raihan Immaduddin (Sejarah 2020)