
Dekanat Fakultas Ilmu Budaya resmi mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor 765/UN7.F6/SE/VII/2023 tentang pencegahan terhadap tindakan kekerasan seksual dan dukungan terhadap penanganan tindakan kekerasan di lingkungan Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Diponegoro, Semarang sejak Rabu, (31/08/2023).
SE ini merupakan respons Dekanat Fakultas Ilmu Budaya (FIB) terhadap Surat Keputusan (SK) Rektor Nomor 13 Tahun 2022 tentang pedoman pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan Universitas Diponegoro. Meskipun sudah dikeluarkan sejak Agustus lalu, nyatanya sebagian mahasiswa mengaku belum mengetahui secara pasti terkait SE tersebut.
“Barusan sih, kemarin (mengetahui SE ini, red)”, ujar Sekar, salah satu mahasiswa FIB kepada tim Hayamwuruk.
Beberapa poin dalam SE tersebut dianggap berlebihan dan kurang penjelasan secara detail, bunyi poin tersebut diantaranya:
1. Dilarang melakukan pertemuan secara individu antara seorang dosen dengan dosen, dosen dengan mahasiswa, dosen dengan tendik, tendik dengan tendik, tendik dengan mahasiswa, mahasiswa dengan mahasiswa dan/atau sebaliknya tanpa persetujuan Dekan atau Ketua Program Studi atau pejabat yang berwenang yang dilakukan pada pukul 23.00 sampai pukul 05.00 WIB, di dalam atau di luar area kampus dan/atau untuk kepentingan lain selain kepentingan Tridharma.
2. Dilarang melakukan bimbingan tugas akhir, konsultasi akademik maupun non akademik dengan cara duduk bersebelahan.
3. Dilarang melakukan perjalanan bersama dalam satu kendaraan yang hanya dinaiki oleh seorang dosen dengan dosen, dosen dengan mahasiswa, dosen dengan tendik, tendik dengan tendik, tendik dengan mahasiswa, mahasiswa dengan mahasiswa dan/atau sebaliknya yang tidak memiliki hubungan keluarga.
Moshena, salah satu mahasiswa FIB, menyayangkan adanya poin dalam SE tersebut karena dianggap berlebihan dan mempersulit aktivitas perkuliahan.
“Menurutku aturan tersebut sedikit berlebihan. Kayak misalnya kalo kita ngomongin peraturan yang tidak boleh berboncengan antara lawan jenis, bagi sebagian mahasiswa/i yang pergi ke kampus dengan menebeng atau menumpang temannya mungkin berboncengan merupakan salah satu cara orang tersebut untuk berhemat dari ongkos kendaraan. Apalagi kita-kita sebagai mahasiswa yang merantau dan tidak bawa kendaraan bermotor akan sangat terbantu jika kita diberikan boncengan atau tumpangan tersebut,” ujarnya.
Menanggapi keresahan mahasiswa, Wakil Dekan 1 Bidang Akademik dan Kemahasiswaan, Prof. Dr. Alamsyah, S.S., M.Hum. mengatakan bahwa SE tersebut tidak perlu dipermasalahkan asal tidak melanggar SK dari Rektor.
“Kalau menurut saya yang penting adalah tidak melanggar atau sesuai dengan SK Rektor Nomor 13 tahun 2022,” jelasnya.
Sementara itu , Drs. Mohammad. Muzakka. M.Hum., salah satu dosen program studi Sastra Indonesia, menyatakan bahwa SE ini hanya edaran sebagai imbauan untuk mencegah terjadinya pelecehan seksual di kampus.
“Kalau peraturan rektor sebenarnya bagus, tidak ada kriteria pelecehan seksual apa saja. Nah, kalo edaran dekan itu kan namanya surat edaran itu kan imbauan, kalau bisa harus berhati-hatilah. Kalo menurut saya harus disikapi dengan bijaksana saja gitu, diambil nilai positifnya saja,” tuturnya pada Selasa, (26/9/2023).
Dosen yang mengampu Mata Kuliah Gender dalam Bahasa dan sastra tersebut juga memberikan tanggapan atas keresahan mahasiswa yang menganggap bahwa SE tersebut justru membatasi aktivitas sivitas akademika, khususnya interaksi lawan jenis di kampus.
“Ya, kalo menurut saya sih, bisa membatasi, bisa juga tidak. Dengan adanya edaran kita bisa hati-hati agar bisa jaga jarak. Itu dari sisi positifnya. Tapi, dari sisi negatifnya, orang suka ketakutan ketika melihat edaran ini. Padahal edaran ini kan hanya himbauan. Kalo himbauan maka sebaiknya tidak dilakukan, atau sebaiknya dilakukan. Misalnya dalam kondisi tertentu tidak bisa melaksanakan sepanjang tidak melakukan pelecehan seksual, tidak masalah,” jelasnya.
Neiva, salah satu mahasiswa FIB, turut menyumbangkan pendapatnya terkait pro dan kontra adanya SE ini.
“Sebenarnya jika peraturan tersebut dibuat untuk pencegahan kekerasan seksual ya bagus, positif. Tapi kalau sampai harus membatasi interaksi antara cowo-cewe di suatu ruangan agak disayangkan ya, karena kita mungkin gatau sepenuhnya orientasi seks mahasiswa/i di FIB ini tuh kayak gimana dan kekerasan seksual bisa terjadi tanpa pandang bulu dimana korban dan pelaku memiliki gender yang sama. Jadi agak disayangkan aja aturan di ruangan ini lumayan ketat.”
Selain penjelasan kurang detail dan berlebihan, SE ini juga dipandang kurang cukup untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual yang terjadi di kampus.
“Saya sebagai dosen dan pengamat gender juga. Sebenarnya itu tidak signifikan hanya dengan surat edaran. Arena yang namanya kriminal yang kaitannya dengan pelecehan seksual biasanya dilakukan oleh orang-orang yang barangkali saja ada kelainan-kelainan secara psikologis, itu yang pertama. Kemudian yang kedua, adalah ketika ada kesempatan. Saya kira adanya edaran kan sifatnya himbauan sehingga menurut saya, harapan saya ada nilai positifnya, supaya sivitas akademika ini bisa lebih berhati-hati,” ujar Muzzaka.
Sekar juga beranggapan bahwa SE ini saja kurang cukup, karena kurangnya kejelasan antara sanksi bagi pelaku dan juga perlindungan bagi korban.
“Kalau menurutku sendiri kurang ya dengan cuma SE aja kurang, karena kita kan juga butuh yang namanya perlindungan dengan bekerja sama dengan Satgas (Satuan Tugas) PPKS (Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual). Dengan adanya itu kita bisa tahu korbannya bisa dilindungi atau ngga,” ucapnya.
Reporter: Dewi, Diyah, Icy, Fathan (magang), Shandy (magang)
Penulis :Diyah