Aspal Baru Banjarsari Selatan dan Politik Kepura-Puraan

Sumber Gambar: Doc. Hayamwuruk/Farhan

Oleh Muhamad Farhan Prabulaksono

Saat tulisan ini digarap, Jalan Banjarsari Selatan masih dalam tahap perbaikan. Awalnya perbaikan saluran air, gorong-gorong dipasang dan trotoar diperindah, lalu jalanan diaspal dengan cepat. Sadar atau tidak, proyek pengerjaan jalan ini dilakukan menjelang tahun politik 2024.

Kata orang-orang, menjelang pemilu sering ada proyek perbaikan jalan. Kata mereka agar partai politik penguasa di daerah tersebut bisa terpilih kembali dalam pemilihan umum. Entah itu benar atau tidak tapi dalam hati aku senang melihat Jalan Banjarsari Selatan menjadi lebih bagus dan rapi, enak dipandang mata.

Begitulah dunia politik, terlebih di Indonesia, rumor-rumor mengenai penguasa yang hanya melakukan perbaikan jalan hanya sesaat menjelang pemilu sering kali terdengar. Politik diwarnai dengan kepura-puraan, pura-pura membangun padahal tidak, pura-pura merakyat padahal pro elit, pura-pura toleran dalam beragama padahal diskriminatif hingga pura-pura transparan padahal tertutup rapat dalam jeruji kepentingan.

Kepura-puraan dalam politik ini muncul di berbagai tingkatan politik praktis mulai dari politik kampus hingga politik internasional. Di tingkat kampus ada tokoh-tokoh yang bermain dengan topeng agama, ada pula yang bermain dengan topeng persahabatan. Di tingkat negara, ada yang bermain dengan topeng kerakyatan, ada yang bermain dengan topeng perubahan, dan ada juga yang bertopeng dengan harapan palsu.

Politik kepura-puraan ini menjadi kebiasaan yang diikuti oleh semua orang. Ada yang pura-pura hendak mengharmoniskan kehidupan kampus tapi mengintervensi organisasi lain untuk kepentingan dirinya, ada yang melakukan suap menyuap untuk memuluskan langkah menjadi ketua organisasi mahasiswa, sampai berita terbaru di salah satu perguruan tinggi negeri di suatu daerah di mana beberapa mahasiswa melakukan pengeroyokan terhadap seorang mahasiswa dari organisasi mahasiswa lain yang berseberangan untuk memuaskan ambisi politik kampus. Mereka semua berpura-pura menjadi intelektual universitas, padahal mereka hanyalah remah-remah hina dari perputaran peradaban manusia.

Bagi sebagian pihak, ambisi politik kelompok mereka digerakkan oleh satu musuh bersama dan tanpa segan mereka perlu menciptakan sebuah ilusi tentang ancaman palsu. Kelompok-kelompok fundamentalis pada pemilihan presiden beberapa tahun lalu memerlukan ilusi-ilusi dan musuh imajiner seperti “Kebangkitan PKI” dan “Pemerintah yang dikuasai PKI”.

Musuh imajiner seperti itu diperlukan untuk tetap membakar energi politik kelompok mereka guna memenangkan salah satu calon presiden. Begitu juga sebaliknya, mereka yang berseberangan dengan kelompok fundamentalis memainkan isu-isu radikalisme dan ancaman atas toleransi beragama untuk mendukung calon presiden yang mereka dukung.

Kondisi-kondisi di atas disebut dengan politik Post-Truth atau politik pasca kebenaran. Pada kondisi ini, kebenaran bukanlah “kebenaran’’ itu sendiri, melainkan kebenaran adalah apa yang diyakini oleh mereka yang menafsirkan.

Konsep Post-Truth menunjukkan bahwa politik berpusat pada emosi dan keyakinan daripada fakta dan kebenaran. Tokoh-tokoh politik terkenal karena menggunakan narasi yang memanipulatif dan sering kali tidak berdasarkan fakta, seperti misalnya Donald Trump atau Boris Johnson.

Selain memainkan cara-cara politik Post-Truth, orang-orang yang berada di jalan politik kepura-puraan juga sering memainkan cara-cara populis. Politik populis sering kali melibatkan retorika yang sederhana dan menyesuaikan diri dengan keinginan massa tanpa mempertimbangkan implikasi jangka panjang.

Pemimpin populis sering mengklaim bahwa mereka adalah suara rakyat dan berjanji untuk melawan kebijakan yang dianggap merugikan rakyat umum. Akan tetapi kita harus ingat bahwa mereka ini adalah politikus pura-pura. Mereka berpura-pura pro-rakyat selagi melayani kepentingan oligarki. Di tingkatan kampus, mereka tampak siap bekerja untuk memenuhi harapan mahasiswa dan memajukan institusi organisasi selagi melayani kepentingan senior-senior mereka dan memenuhi semua instruksinya.

Joko Widodo mungkin adalah contoh sempurna dari politik kepura-puraan dengan wajah populisme ini. Dia selalu tampil sebagai sosok pemimpin sederhana yang merakyat. Semua kebijakan yang ia ambil selalu diiringi dengan legitimasi absolut dari para pendukungnya.

Akan tetapi dibalik itu semua ia adalah ‘‘petugas partai’’ sesuai kata Megawati. Kebijakan-kebijakan yang dilahirkan sudah banyak merugikan rakyat pekerja di Indonesia seperti Undang-Undang Cipta Kerja dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Pura-pura berarti melakukan sesuatu dengan maksud atau tujuan untuk menyembunyikan atau menutupi sesuatu yang sebenarnya atau untuk menciptakan kesan palsu. Politik kepura-puraan dapat menghantarkan siapa saja yang memainkannya pada jurang kehancuran.

Sebagaimana para politisi Uni Soviet yang berpura-pura mewacanakan Glasnost (keterbukaan) dan Perestroika (rekonstruksi) namun masih mengindahkan kebebasan individu. Mereka mengekangnya dengan jeruji birokratisme Stalinis yang pada akhirnya menghantarkan negara itu pada keruntuhan yang tak terelakkan.

Para Apparatchik alias para anggota partai komunis yang bekerja untuk karir pribadi alih-alih nasib rakyat, yang berpura-pura membangun sosialisme tetapi justru membangun sendi-sendi kekayaan pribadi, mereka semua menggali liang lahat bagi negara mereka sendiri.

Di atas panggung politik, tarian pura-pura memainkan peran
Senyum yang bercahaya, namun hati menyimpan rahasia malam
Sebuah sandiwara tanpa skenario
Bermain dengan bayangan Antara cahaya dan gelap
pura-pura membangun teater kekuasaan.

Lirik palsu seperti melodi yang terpinggir
dalam kuasa dan ambisi
Mengalun dalam nada-nada seakan membisikkan rahasia
Pura-pura berkuasa, di baliknya tersembunyi air mata
Sebuah pertunjukan tak terlihat di istana hati

Puisi-puisi tersembunyi dalam senyap
Ketika asmara pura-pura menjadi pelukis mimpi palsu
Dalam dunia yang diselimuti kuasa khayal
Pura-pura menjadi mantra penyamaran di dalam waktu

Jadi, di antara bayang dan nyata, kita berdansa
Dengan ambisi pura-pura
kita menyanyi di teater mimpi
Hati adalah panggung, dan kehidupan adalah sandiwara
Pura-pura mengukir kisah di politik ilusi abadi

Penulis: Farhan
Editor: Aan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top