Bom Waktu itu Bernama Politik Kampus

Dok. Hayamwuruk/Juno

Hari Selasa, pukul 15.20, seorang kawan secara tergesa-gesa mengabari saya via WhatsApp perihal Putusan Senat Mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya (SM FIB) Undip tentang Pengumuman Perangkat Pemilihan Umum Raya FIB 2023 (Pemira FIB 2023). Kawan tersebut meyakini ada kekeliruan dan kejanggalan dalam pengambilan keputusan SM FIB. Pasalnya, yang terpilih menjadi Ketua Komisi Penyelenggara Pemilihan Umum Raya Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro (KPPR FIB Undip) merupakan mahasiswa semester 3.

Tidak bermaksud meremehkan kapasitas dan kapabilitas mahasiswa semester 3 dalam memimpin panitia pemilihan umum tingkat fakultas, tetapi lebih dari itu, putusan ini jelas-jelas menyalahi aturan yang ada mengenai Pemira FIB. Aturan tersebut tertulis bahwa KPPR Inti (Ketua, Sekretaris, Bendahara) Pemira FIB Undip lulus  Latihan Keterampilan Manajemen Mahasiswa (LKMM) tingkat pra-dasar dan sedang menempuh semester 5. Lucunya lagi, Peraturan Mahasiswa (Perma) tentang Pemira FIB adalah produk legislasi SM FIB Undip. 

Bisa dibayangkan, ada otoritas pembuat dan pengoreksi peraturan, pengawas, penerima sekaligus bertugas menyelesaikan suatu masalah atau sengketa dalam satu lingkup lembaga. Kurang overpower apalagi, semua-muanya dicaplok. Bukan tidak mungkin, beban wewenang yang terlampau banyak akan memicu potensi korupsi dan konflik kepentingan di internal tubuh SM FIB. Konflik kepentingan inilah yang saya duga sedang terjadi dan mempengaruhi putusan SM FIB  dalam menetapkan mahasiswa semester 3 menjadi ketua KPPR FIB 2023.

Setidaknya ada 2 dugaan saya terhadap SM FIB terkait sebab putusan ini muncul. Pertama, kedunguan dan keteledoran senator FIB dalam membaca Peraturan Mahasiswa FIB. Kedua, konflik kepentingan antara pimpinan senator dan ketua KPPR FIB terpilih demi melanggengkan eksistensi organisasi atau lembaga tertentu dalam elite Organisasi Kemahasiswaan (Ormawa) di FIB.

Sempat muncul dugaan ketiga, yaitu ketiadaan sosok mahasiswa/i semester 5 dalam kontestasi pemilihan ketua KPPR FIB 2023 sehingga menunjuk mahasiswa semester 3 sebagai jalan tengah dari kebuntuan ini. Tetapi dugaan ini saya pendam dalam-dalam ketika melihat 8 nama calon yang mendaftarkan diri menjadi perangkat Pemira FIB. Komposisinya terdiri atas 4 mahasiswa semester 3 dan 4 mahasiswa semester 5. Jadi, omong kosong jika dugaan ketiga ini dijadikan dalil atas putusan yang diambil. 

Saya lebih membayangkan jika dugaan kedua yang terjadi, mungkin sebelumnya sudah ada lobi-lobi di tataran elite SM FIB tentang siapa yang cocok (bukan layak) menjadi ketua KPPR FIB 2023. Sebab menurut pengakuan salah satu calon perangkat Pemira FIB yang saya dengar langsung, ia juga adalah mahasiswa semester 3, pada tahapan wawancara, ia sudah diwanti-wanti tidak mungkin terpilih menjadi KPPR inti karena tidak memenuhi salah satu syarat, yakni sedang menempuh semester 5. Jadi, silahkan menerka sendiri konflik kepentingan apa yang sedang terjadi di sana.  

Kaderisasi dan Etika Politik 

Ketika membicarakan tentang kaderisasi, saya rasa mahasiswa/i Undip bisa dengan gamblang menjelaskan bagaimana idealnya kaderisasi dilakukan. Berbagai pelatihan baik formal maupun nonformal diselenggarakan di tiap-tiap ormawa di Undip, pilihannya dari yang paling kanan sampai kiri mentok juga ada, semua punya cara masing-masing dalam mentransfer ideologi dan tujuan organisasinya. Tetapi terdapat satu bagian dan pemahaman yang seringkali terlewat dari pengkaderan tersebut, yakni bagian etika politik.

Sepanjang pengalaman dan pengetahuan saya menjadi mahasiswa Undip, khususnya di lingkungan FIB, saya belum pernah melihat kaderisasi berbasis etika politik, entah materi etika politik yang tidak terlalu penting atau memang bisa dipelajari sendiri, saya juga tidak paham. Saya bahkan baru menyadari kalau saya pernah mendapat materi politik kampus dan pemerintahan mahasiswa di salah satu pelatihan kepemimpinan tingkat fakultas, tetapi tidak dengan materi etika politik. Apa output yang diharapkan jika ada materi politik kampus tanpa etika politik? Praktik politik kampus yang ugal-ugalan, kah?

Maka jangan heran jika banyak kejadian curang dan korup menghiasi dinamika politik kampus di Undip hari ini. Mulai dari nota gaib, plagiasi gagasan, delegasi cabutan, penyalahgunaan jabatan, sampai dengan kekerasan seksual. Layaknya penyakit menahun yang menggerogoti tubuh elite mahasiswa, ia tidak bisa diobati dengan satu atau dua kali tindakan, perlu komitmen dan penanganan khusus untuk menyembuhkan penyakit ini. Salah satu upayanya adalah pemaksimalan peran senior atau mentor yang tepat. 

Tidak dapat dipungkiri peran senior atau mentor bagi mahasiswa baru cukup besar, terlebih untuk mereka yang ingin terlibat dalam organisasi atau politik kampus. Banyak yang benar-benar baik dan membimbing tetapi banyak juga yang bejat lagi najis. Senior bejat seringkali menggunakan mahasiswa baru sebagai alat mencapai tujuan politik praktisnya. Doktrin, cerita heroik, dan janji manisnya bermacam-macam. Salah satu yang pernah saya dengar adalah doktrin “lakukan dulu, peraturan bisa diubah”. Terlihat kotor tetapi nyata adanya, terdengar menjijikan tetapi tetap dilakukan. 

Tak peduli sebanyak dan sebagus apa kaderisasi yang mahasiswa ikuti, jika bertemu dengan senior seperti ini lambat-laun akan terbawa dengan cara mainnya. Meminjam istilah Soe Hok Gie, “Mahasiswa Bermental Sok Kuasa” yang merintih ketika ditekan tetapi menindas kalau berkuasa, kerap mencari mahasiswa baru sebagai korban-korbannya. Miris, idealisme mahasiswa baru yang dibangun jauh-jauh hari seketika hancur lebur terbawa arus yang ia sendiri tidak tau arahnya ke mana.

Situasi macam ini yang mungkin terjadi di SM FIB. Ketika ada mahasiswa semester 3 yang punya niat baik dan ambisi politik tetapi terganjal oleh peraturan yang berlaku. Lantas, ia dibantu oleh organisasi dan senior yang siap mewujudkan niat baiknya ini, apapun acaranya. Dengan sedikit kompromi antar dua/tiga/empat pihak, tujuan dan rencana politik pun terjalin dengan mulus. Skenario macam ini memang sering terjadi menjelang musim politik di kampus, dan pelakunya bukan satu-dua organisasi tetapi hampir semua organisasi pernah terlibat atau melakukannya.

Ketidakhadiran senior atau bahkan model politisi yang jujur sedikit banyak memengaruhi pola politik mahasiswa hari ini. Geliat politik serampangan yang dipertontonkan politisi mungkin juga sudah dianggap normal bagi sebagian mahasiswa sehingga mengikutinya pun tidak menjadi masalah. Pemahaman dan praktik seperti ini jelas-jelas keliru serta bahaya untuk diikuti. Oleh karenanya, etika politik menjadi hal yang urgen, hal yang perlu disebar dan ditampilkan di mana-mana. Sebab, bagaimana seorang mahasiswa dapat menjadi moral force, jika ia sendiri keliru dan bingung mendefinisikan suatu yang baik atau buruk.

Oposisi jadi kunci

Sebagian orang menilai oposisi sebagai batu sandungan dalam kekuasaannya. Sebagian yang lain menganggap oposisi sebagai barisan sakit hati yang tidak mendapat jatah kursi. Tetapi jauh dari anggapan tersebut, kehadiran oposisi ini penting sebagai penyeimbang (check and balances) kekuasaan. Kehadiran oposisi akan mempersempit dan memperkecil potensi tindak sewenang-wenang dalam kekuasaan.

Situasi ini yang tidak ditemukan dalam dinamika politik kampus FIB. Tidak ada mahasiswa yang menempatkan diri sebagai oposisi kekuasaan. Menjadi oposisi dianggap buang-buang waktu dan tenaga. Padahal menurut saya, menjadi oposisi tidak perlu mengkritik 24/7, tidak perlu meluangkan waktu seharian penuh untuk mengawasi gerak-gerik kekuasaan. Kekuasaan pada akhirnya pasti melakukan kesalahan, baik karena khilaf maupun terencana. 

Pada momen kesalahan tersebut, mahasiswa perlu memberi jarak terhadap kekuasaan sembari mengkritik tajam untuk memberikan efek kejut dan peringatan. Dengan itu, kekuasaan akan selalu merasa diawasi oleh mata-mata yang siap menatapnya secara sinis tiap kali berbuat kesalahan. Pers mahasiswa  juga memiliki peran dalam memberitakan apa-apa yang dilakukan oleh kekuasaan (watchdog), bukan malah berkomplot menutupi aib demi harumnya nama dan citra. Sebab dari informasi yang beredar, beberapa kali pers mahasiswa diintervensi dan dilobi untuk tidak lagi memberitakan keburukan penguasa. 

Terakhir, kejadian SM FIB kali ini hanyalah fenomena gunung es. Masih banyak kejadian lain yang lebih curang dan merugikan yang sayangnya tidak muncul ke permukaan. Faktor ketiadaan kaderisasi berbasis etika politik, minimnya peran mentor yang tepat, dan ketidakmampuan mahasiswa mengawasi jalannya kekuasaan, menjadi sebab politik kotor terus-menerus eksis dalam dinamika politik mahasiswa. 

Jadi, silahkan pilih jalan politik kalian masing-masing. Tetapi perlu diingat, tiap kali kalian menormalisasi dan memakai politik kotor ini sebagai jalan mencapai tujuan, selamanya ia akan menjelma bom waktu yang kapan saja bisa meledak merusak apapun di sekitar kalian. 

Penulis: Raihan Immaduddin (Kontributor)
Editor: Juno

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top