Angan-Angan Revolusi di Antara Mahasiswa

Sejarah umat manusia justru bermula dari suatu tindakan pembangkangan dan itu sebabnya tak mungkin diakhiri oleh suatu tindakan ketaatan.

-Erich Fromm

Dok.Hayamwuruk/Zul – Aksi Evaluasi 9 Tahun Jokowi

Reformasi 1998 yang dibidani oleh gerakan mahasiswa Indonesia telah melahirkan kondisi perpolitikan baru, Soeharto dengan rezim militerisnya jatuh dan terbuka lebar panggung politik bagi kebangkitan elite-elite politik dari kalangan sipil, dengan itu maka politik Indonesia, yang sebelumnya dipegang oleh elite militer-teknokrat beralih ke tangan elite sipil-pengusaha atau umum dikenal sebagai oligarki.

Di bawah harumnya romantisme ‘keberhasilan’ mahasiswa dalam menumbangkan rezim Orde Baru, di antara mahasiswa ini muncul angan-angan akan revolusi, muncul harapan-harapan bahwa mereka hari ini dapat mengikuti keberhasilan para pendahulu mereka yang menumbangkan Soeharto.

Mereka berharap bahwa gerakan mahasiswa hari ini dapat menumbangkan rezim oligarki dan mengembalikan singgasana kekuasaan kepada rakyat jelata. Namun sepertinya mereka tidak sadar bahwa Reformasi 1998 sendiri juga gagal karena pengkhianatan para elite reformasi itu sendiri, mahasiswa sebenarnya telah ditunggangi dan dikibuli oleh para politikus borjuis.

 

KEGAGALAN REFORMASI 1998
Menjelang 1998, terdapat enam tuntutan utama yang disuarakan gerakan reformasi, termasuk penegakan supremasi hukum, pemberantasan KKN, pengadilan terhadap mantan Presiden Soeharto, amandemen konstitusi, pencabutan dwifungsi ABRI (TNI/Polri), dan pemberian otonomi daerah. Namun, evaluasi terhadap keberhasilan reformasi menunjukkan kegagalan di beberapa bidang.

Hukum rentan diobrak-abrik untuk kepentingan penguasa, KKN masih merajalela, penegakkan hukum terhadap Soeharto dan kroninya belum maksimal, dan semangat otonomi daerah belum memberikan dampak signifikan pada peningkatan kesejahteraan masyarakat di pelosok negeri.

Pasca reformasi, Indonesia mengalami berbagai perubahan signifikan dalam peta politik dan sosialnya. Namun, di tengah dinamika pembangunan dan demokratisasi, muncul kekhawatiran dari sebagian kalangan mengenai peran kelompok-kelompok yang dianggap sebagai “antek-antek pengkhianat reformasi.” Perspektif ini menciptakan ketegangan antara mahasiswa, yang dianggap sebagai garda terdepan reformasi, dengan kelompok-kelompok yang dianggap telah memanfaatkan momentum reformasi untuk kepentingan pribadi atau kelompok.

Mahasiswa dihadapkan pada dilema ketika idealisme mereka bertabrakan dengan realitas politik pasca reformasi. Munculnya kritik terhadap mahasiswa yang dinilai “aneh” karena tidak merasa sejauh itu hancur, sejalan dengan tuntutan agar mereka lebih fokus pada isu-isu aktual dan relevan. Di sisi lain, ada tudingan bahwa mahasiswa terlalu sering memamerkan semangat revolusi tanpa memberikan solusi konkret atau tindakan nyata untuk menghadapi musuh sejati reformasi.

Nyatanya gerakan mahasiswa gagal dalam mengenali siapa lawan sejati dan siapa kawan sejati dalam pertarungan politik pasca reformasi ini. Terlebih lagi, memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang siapa yang dianggap “antek-antek pengkhianat reformasi” dan bagaimana mereka dianggap gagal, dapat memicu refleksi kritis dan diskusi lebih lanjut tentang arah perubahan yang diinginkan.

Namun, kita tidak patut bersedih atau menyalahkan “kegagalan” atau “kematian” reformasi secara berlebihan. Setidaknya pada masa reformasi ini, kebebasan terbuka, meski tak seberapa, buku-buku bacaan mulai dari yang kiri sampai yang kanan bisa dibaca dan diakses secara bebas. Hal itu membuka keran bagi sumber mata air intelektual baru di kalangan mahasiswa kita.

 

APA ITU REVOLUSI?
Mao Zedong mengatakan “Sebuah revolusi bukanlah pesta makan malam, atau menulis esai, atau melukis gambar, atau menyulam; itu tidak bisa begitu halus, begitu santai dan lembut, begitu sederhana, baik hati, sopan, terkendali dan murah hati. Revolusi adalah pemberontakan, tindakan kekerasan di mana satu kelas menggulingkan yang lain.”

Jelas sudah bahwa revolusi bukanlah rekaan atau rekayasa sekelompok elite gerakan mahasiswa. Revolusi sosialis adalah satu perjuangan sepanjang hidup dan bukan sepanjang di bangku kuliah.

Revolusi adalah upaya kekerasan dalam menghancurkan tatanan masyarakat dan negara yang sudah lapuk nan bobrok, revolusi adalah jalan yang penuh pengorbanan, revolusi menuntut pengabdian seumur hidup bagi siapa saja yang meyakininya.

Revolusi menjadi perlu dalam satu masyarakat di mana kekuasaan sudah tidak dapat lagi memenuhi kepentingan rakyat banyak. Ibarat kata sebuah kapal, maka yang bobrok itu bukan lagi nakhodanya melainkan kapalnya yang sudah tua dan hampir karam. Maka kapalnya perlu diganti guna menyelamatkan seluruh awak kapal itu.

Bagi sebagian orang, reformasi 1998 adalah perubahan politik yang cacat atau bahkan sebuah reformasi gagal sama sekali. Para jenderal yang terlibat dalam kasus-kasus pelanggaran HAM tidak tersentuh oleh pengadilan rakyat.

Para jenderal yang terlibat dalam penculikan-penculikan aktivis demokrasi, yang bertanggung jawab atas kematian nyawa-nyawa tak berdosa di Timor Leste, mereka semua masih hidup tenang dan aman tanpa tersentuh pengadilan rakyat.

Juga para koruptor dari rezim sebelumnya masih banyak yang berlenggang bebas menikmati harta kekayaan milik rakyat. Jika hari ini ada yang berteriak bahwa “Reformasi telah mati!” maka ia telat sekali. Sejak 1998 pun sudah banyak pihak berteriak bahwa “Reformasi telah mati!”.

 

PENGALAMAN REVOLUSI DI BEBERAPA NEGARA
Jika kita membahas revolusi, khususnya revolusi sosialis. Maka banyak sekali pelajaran berharga yang dapat dipetik dari berbagai negara di dunia. Di Rusia, Revolusi Sosialis Oktober 1917 merupakan satu fase penting dalam gerakan sosialis internasional.

Rusia setelah kekalahan dalam Perang Dunia Pertama mengalami kekacauan. Pasukan Rusia tak terorganisir dan mengalami korban jiwa besar, sementara rakyat kelaparan akibat ekonomi yang hancur. Meskipun demikian, Tsar Nikolai II dan para jenderalnya bersikeras melanjutkan perang.

Revolusi Februari pecah ketika rakyat, tentara, buruh, dan petani menggulingkan monarki, membentuk pemerintahan sementara. Sayangnya, pemerintahan baru ini, di bawah Kerensky dan Partai Menshevik, tidak memperbaiki keadaan dan malah memperpanjang penderitaan rakyat.

Pada Oktober 1917, Lenin dan Partai Bolshevik menyerukan pengambilalihan kekuasaan dengan janji “Damai, Tanah, dan Roti”. Mereka berjanji menghentikan konflik, memberikan tanah kepada buruh tani, dan menyediakan makanan bagi rakyat.

Pengalaman revolusi di Rusia menunjukan bahwa gerakan revolusioner dalam menumbangkan kuasa Tsar dan monarki bukanlah gerakan mahasiswa melainkan kolaborasi antara kelas buruh dan petani yang didukung oleh para tentara yang membelot.

Lain di Rusia, lain pula di Tiongkok. Revolusi sosialis di Tiongkok memiliki kondisi yang cukup rumit. Partai Komunis Tiongkok (PKT) selaku garda terdepan revolusi menghadapi kondisi negeri yang terpecah-belah antara para jenderal atau raja perang (warlord) yang menguasai dan memerintah provinsi-provinsi tertentu.

Mao Zedong sadar, bahwa kelas buruh di Tiongkok sangatlah kecil. Sedangkan yang paling menderita dalam struktur masyarakat adalah kaum petani yang merupakan mayoritas. Karenanya revolusi sosialis di Tiongkok digerakkan oleh kaum tani di bawah kepemimpinan PKT.

Sejarah telah menunjukkan bahwa kelas pekerja (kaum buruh dan petani) yang berbekal teori revolusioner, merupakan kekuatan hebat dalam menjungkalkan tirani dan kuasa lalim.

 

GERAKAN MAHASISWA BUKAN MOTOR REVOLUSI
Gerakan mahasiswa secara mandiri tidak bisa meluncurkan revolusi. Revolusi dapat terjadi jika seluruh elemen rakyat tertindas bersatu di bawah kepemimpinan –yang disebut Lenin– Partai Garda Depan Revolusioner dan menggulingkan kekuasaan serta menghancurkan negara borjuis kapitalis dan menggantikannya dengan negara buruh sosialis.

Mengapa gerakan mahasiswa tidak bisa menjadi motor revolusi? Karena gerakan mahasiswa merupakan gerakan yang terpisah dari rakyat. Gerakan mahasiswa seperti Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) atau Dewan Mahasiswa (DEMA) tidak terhubung secara langsung dengan gerakan rakyat.

Mereka hanya beraliansi dengan gerakan rakyat seperti serikat buruh atau komunitas petani. Akibatnya BEM atau DEMA gagal mengawal isu-isu kemahasiswaan hingga tingkat nasional dan gagal mendorong perubahan yang radikal.

Aktivis mahasiswa beserta gerakannya masih terjebak pada heroisme “Mahasiswa sebagai agen perubahan” yang digambarkan sebagai dewa penyelamat rakyat. Nyatanya alih-alih menjadi agen perubahan, gerakan mahasiswa justru menjadi agen proyek, agen pejabat hingga agen legislatif.

Mereka membawa nama besar almamater organisasi kemahasiswaan mereka untuk mendekati pejabat, penguasa atau pengusaha tertentu untuk ikut ambil bagian dalam proyek-proyek, program atau kursi pekerjaan yang menyengsarakan hidup rakyat kecil. Mereka menjadi penyuplai tenaga kerja terdidik untuk kepentingan elite.

Jika sudah seperti ini maka apa bedanya BEM atau DEMA dengan agen gas elpiji, agen galon air mineral atau agen pulsa?

Setiap argumen yang berdasarkan pada premis “Mahasiswa sebagai agen perubahan” maka kesimpulan yang didapat sudah pasti bermasalah. Kenapa premis di atas menjadi keliru?

Hal ini dikarenakan kita lantas membayangkan bahwa setiap mahasiswa dan setiap gerakan mahasiswa pasti memiliki cita-cita mulia seperti mendorong keadilan sosial, menggulingkan oligarki atau tirani dan membangun peradaban yang humanis. Akan tetapi, pada kenyataannya justru menunjukkan hal yang sebaliknya: banyak sekali pragmatisme dan pro status-quo di antara mahasiswa.

Pragmatisme tidak hanya mengikat mahasiswa yang mengikuti arus biasa, melainkan juga mengikat dan menjerat mereka yang terlibat dalam dinamika organisasi mahasiswa. Tampaknya banyak dari mereka yang dengan antusias terlibat dalam kegiatan organisasi mahasiswa, setelah lulus justru menjadi apa?

Banyak yang menjual idealisme mereka dengan uang dan jabatan. Tidak jarang, justru peran aktif dalam organisasi mahasiswa menjadi batu loncatan mereka untuk karier individu kepentingan pribadi.

Hal ini berbeda dengan kaum buruh dan petani beserta rakyat miskin lainya, merekalah motor revolusi yang sesungguhnya. Mereka yang paling menderita di bawah sistematika bernegara yang menguntungkan segelintir orang.

Mereka yang disebut oleh Karl Marx sebagai kelas proletar. Mereka inilah yang dapat menjadi kawan sejati dari gerakan mahasiswa. Kepada mereka-lah gerakan mahasiswa perlu berintegrasi dan menyatu menghilangkan sekat-sekat yang ada.

Keterpisahan antara gerakan mahasiswa dengan gerakan rakyat lainnya dapat dipahami sebagai akibat dari adanya sikap social ignorance atau dapat dikata sebagai sikap kebodohan sosial/kebodohan atas hidup bersama. Bagi Michael Lebowitz, sikap itulah yang memicu masyarakat saling terpecah belah untuk saling bertarung satu sama lain dan dieksploitasi para pemilik modal. Keterpisahan antara organisasi mahasiswa dengan organisasi buruh, organisasi tani dan organisasi rakyat kecil lainnya merupakan keuntungan besar bagi para penguasa.

Perlunya pengintegrasian gerakan mahasiswa dengan gerakan rakyat ini sudah sejak jauh hari diwanti-wanti oleh D.N. Aidit, dalam pidatonya di Universitas Indonesia pada 16 Maret 1964. Aidit menjelaskan bahwa Universitas tidak dapat mengabdi kepada rakyat dan tidak pula dapat menjadi universitas yang melayani rakyat jika organisasi-organisasi mahasiswa di dalamnya tidak bersatu dan sejalan dengan rakyat.

“Demi pengintegrasian universitas dengan rakyat, mutlak perlu dipertahankan dan dikembangkan organisasi mahasiswa yang mengintegrasikan diri secara total dengan rakyat,” ujar Aidit.

Di Indonesia hari ini, beberapa mahasiswa yang baru ikut organisasi sekelas BEM setahun atau dua tahun, lalu sekali dua kali ikut aksi demo, kemudian menyebut dirinya sebagai aktivis. Ketika sudah lulus, gelarnya menjadi mantan aktivis. Penggunaan istilah mantan aktivis menunjukkan bahwa gerakan mahasiswa itu terpisah dari gerakan rakyat.

Itulah mengapa gerakan mahasiswa tidak mungkin menjadi kendaraan rakyat dalam merobohkan oligarki, membubarkan negara kapitalis dan menggapai sosialisme. Gerakan mahasiswa terpisah dengan gerakan rakyat, alih-alih terintegrasi dengan gerakan rakyat. Mahasiswa justru menganggap dirinya sebagai “agen perubahan” yang mampu mengubah kondisi hidup masyarakat dari yang miskin menjadi makmur.

Istilah agen perubahan pada hakikatnya bukanlah milik mahasiswa saja. Siapa saja yang berjuang untuk mengubah masyarakatnya agar menjadi lebih baik ialah si agen perubahan itu.

Pada akhirnya, angan-angan revolusi di antara mahasiswa akan melapuk, akan usang dan akan menjadi kenangan bersama dengan romantisme dan heroisme gerakan mereka itu, jika mahasiswa tak mau mengintegrasikan dirinya ke dalam gerakan rakyat dan menceburkan dirinya ke gerakan politik yang progresif revolusioner.

Sebagaimana yang dikatakan Mao Zedong, “Revolusi terjadi jika didukung oleh partai revolusioner. Tanpa partai revolusioner, tanpa partai yang dibangun berdasar teori dan praktik Marxisme-Leninisme, kaum buruh dan massa rakyat tidak akan mampu merobohkan imperialisme dan kaki tangannya.”

REFERENSI:
Adams, S. (2007). Sejarah Dunia. Jakarta: Penerbit Erlangga.
Aidit, D. N. (1964). Fungsi Universitas Dalam Revolusi. Jakarta.
Biao, L. (2010). Leadership Secrets of Mao Tse Tung (The Little Red Book). Jakarta: Oncor.
Che’s File: Riwayat, Pidato, dan Kumpulan Surat Pribadi Che Guevara. (2014). Yogyakarta: Penerbit Narasi.
Fromm, E. (2019). Dari Pembangkangan Menuju Sosialisme Humanistik. Jakarta: Pelangi Cendekia.
Indonesia—Memorandum of Economic and Financial Policies. (1998, Januari 15). Retrieved Desember 9, 2023, from International Monetary Fund: https://www.imf.org/external/np/loi/011598.HTM
Lebowitz, M. A. (2009). Sosialisme Sekarang Juga. Sleman: Resist Book.
Lenin, V. I. (2016). Negara dan Revolusi. Yogyakarta: Antitesis.
National Democratic Institute for International Affairs. (2000, Februari 16). Supporting the Democratic Transition Process in Indonesia. Retrieved Desember 9, 2023, from https://www.ndi.org/sites/default/files/216_id_transition_5.htm#:~:text=The%20National%20Democratic%20Institute%20for%20International%20Affairs%20(NDI)%20has%20been%20working%20in%20Indonesia%20since%20early%201996%20with%20support%20from%20the%20National
Samsuddin, H. (2017, Agustus 2). Mengenang Reformasi Sebagai Proyek Gagal? Retrieved Desember 8, 2023, from IndoPROGRESS: https://indoprogress.com/2017/08/mengenang-reformasi-sebagai-proyek-gagal/
Sukarno. (1965). Dibawah Bendera Revolusi Jilid 2. Jakarta: Panitia Penerbit Dibawah Bendera Revolusi.

 

Penulis: Farhan
Editor: Andriv

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back To Top