Sudah bertahun-tahun etnis Rohingya, sebuah etnis minoritas beragama Islam, mengalami represi, penindasan dan pembantaian dari pemerintah Myanmar dan kelompok radikal Budha disana. Masyarakat Rohingya yang kebanyakan hidup di negara bagian Rakhine terpaksa mengungsi dan meninggalkan tanah kelahiran mereka untuk mencari keselamatan dari ancaman kematian. Para pengungsi ini, dengan perahu-perahu sederhana, berlayar tanpa arah ke Malaysia, Indonesia hingga Bangladesh.
Belakangan ini, muncul pandangan-pandangan negatif terhadap para pengungsi ini, seolah-olah para pengungsi ini datang dan hendak menjajah, merampas dan menguasai tanah bangsa Indonesia. Muncul juga narasi seakan-akan para pengungsi ini mendapat bantuan dana dan makanan dari pemerintah, lalu mereka kecewa dengan pemberian itu. Saya tidak yakin akan hal itu karena perlu diingat, bantuan yang disediakan kepada para pengungsi Rohingya tidak hanya bersumber dari dana pemerintah, tetapi juga dana milik UNHCR (United Nations High Commissioner for Refugees) atau Komisioner Tinggi PBB.
Narasi dan ujaran kebencian terhadap para pengungsi yang sedang menyelamatkan diri dari kematian dan pembantaian di tanah kelahiran mereka sangatlah keji dan tidak manusiawi. Padahal beberapa waktu yang sebelumnya, kita sering mendengar dan melihat ungkapan kesedihan atas apa yang terjadi pada warga Rohingya, bahkan sudah banyak lembaga-lembaga amal yang menggalang dana kemanusiaan bagi etnis Rohingya, juga sudah banyak aksi-aksi yang dilakukan berbagai elemen masyarakat dalam membela nasib masyarakat Rohingya.
Bagi saya, kemunculan narasi negatif dan ujaran kebencian terhadap para pengungsi Rohingya secara tiba-tiba ini sangat janggal dan berlebihan. Saya curiga ada kepentingan politik menjelang pemilihan umum di balik mobilisasi narasi dan opini negatif terhadap Rohingya. Sebuah keanehan berbaliknya opini kepada Rohingya secara drastis dan itu tersebar masif di media sosial dan media massa.
Kemunculan opini dan narasi negatif pada pengungsi Rohingya ini saya anggap sudah semacam kampanye, semacam langkah pengkondisian opini di masyarakat sebelum pemilu atau pemilihan presiden nanti. Ketika nanti pemilu terdapat kubu yang menggunakan narasi ultranasionalis, mereka jadi diuntungkan karena sudah “bikin monster” duluan di depan, dengan menjadikan para pengungsi Rohingya semacam ancaman bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal tersebut menjadikan mereka “pahlawan” yang akan mengalahkan monster itu.
Narasi dan opini negatif ini bisa saja datang dari kepentingan luar negeri, hal ini dapat dilihat dari banyaknya pengguna sosial media yang menyamakan isu Rohingya dengan isu Israel. Hal ini juga perlu diperhatikan mengingat Indonesia sangat masif dalam melakukan pembelaan terhadap Palestina.
Jangan sampai kita lupa bahwa etnis Rohingya adalah korban dari kebijakan pembersihan etnis pemerintah Junta Militer Myanmar. Musuh sejati kita adalah rezim militer Myanmar, bukan pengungsi.
Bagi saya, penting sekali untuk mencermati dengan seksama munculnya tren narasi negatif dan ujaran kebencian terhadap para pengungsi Rohingya. Karena yang paling bahaya bukan pada hasil pemilu, tapi pada ketegangan sosial yang jadi konsekuensi dari keterbelahan masyarakat. Berhati-hatilah!
Penulis: M. Farhan Prabulaksono
Editor: Juno