
Ratusan tahun lalu, Semarang dikenal sebagai salah satu kota toleran di nusantara.
Selain memiliki populasi mulietnik dan multikeyakinan, Semarang juga dikenal
memiliki banyak artefak yang menunjukan perpaduan keduanya.
Kota Semarang merupakan kota pesisir, tempat banyak etnis berdatangan dari negeri jauh membawa hal-hal yang jauh lebih luas ke kota pesisir utara Pulau Jawa tersebut. Posisi wilayah yang dekat pesisir menjadikan kota ini menjadi salah satu kota yang banyak mengalami perpaduan aspek dari beragam suku yang berdatangan ke Semarang. Keberagaman itu tercermin dari adanya multietnik, multibahasa, multibudaya hingga multiagama.
Namun keragaman yang dimiliki Kota Semarang tak membuat kota ini mengalami banyak konflik, terlebih konflik yang berbau agama dan ras. Semuanya tidak bisa dilepaskan dari tingginya rasa saling menghargai perbedaan dan menghargai keberadaan antar sesama warganya yang terjaga hingga kini.
Salah satu lembaga yang menjaga dan melestarikan sikap luhur tersebut adalah Pelita, sebuah wadah yang mengakomodasi persaudaraan warga Semarang tanpa memandang perbedaan agama dan keyakinan.
infomedialink.com berkesempatan mengunjungi kantor Pelita yang bertempat di sebuah bangunan megah berwarna putih bernuansa vintage dengan sentuhan ornamen khas Jawa menjadi saksi perbincangan siang itu. Ditemani sepiring lumpia hangat dan segelas jamu, teriknya matahari Kota Semarang jadi tak begitu terasa. Percakapan mengalir begitu saja, santai namun penuh makna dan harapan. Perbincangan kali ini terkait toleransi beragama di Kota Lumpia.
Setyawan Budy atau yang akrab disapa Wawan hari itu merupakan orang yang bergerak sebagai motor dalam pembicaraan terkait toleransi beragama di Semarang. Ia sendiri merupakan koordinator dari Persaudaraan Lintas Agama (Pelita), komunitas yang bergerak di bidang sosial keagamaan.
Komunitas ini berdiri pada tahun 2016, dimana saat itu Indonesia sedang ramai akibat maraknya persekusi di ranah agama. Salah satu peristiwa yang saat itu cukup disorot dan menjadi latar belakang berdirinya Pelita adalah peristiwa penolakan acara buka puasa bersama dengan Ibu Sinta Nuriyah Abdurrahman Wahid, istri presiden ke-4 Republik Indonesia.
Alami Persekusi
Pada Juni 2016, Romo Budi hendak mengadakan acara buka puasa di Gereja Kristus Raja yang terletak di Ungaran. Namun, terjadi penolakan dari Ormas yang mengatasnamakan agama tertentu. Tak kehabisan akal, Romo Budi akhirnya memutuskan untuk memindah lokasi acara buka puasa bersama di Gereja Katolik Yakobus Zebedeus, Pudakpayung, Kota Semarang.
Namun, pemindahan lokasi tersebut masih mendapat penolakan. Akhirnya Bu Sinta Nuriyah hanya menyapa sebentar umat yang sudah menunggunya di halaman gereja dan melanjutkan pemberhentiannya ke Kelurahan Pudakpayung, tempat acara buka puasa bersama akhirnya dilaksanakan.
Wawan kemudian menjelaskan tujuan dibentuknya komunitas lintas agama ini. Terdapat beberapa tujuan, yang pertama ingin menghubungkan beberapa organisasi, lembaga, komunitas, bahkan individu yang bergerak di isu sosial keagamaan di kota Semarang maupun Jawa Tengah, yang kedua ingin menyebarluaskan kebaikan-kebaikan, hal-hal baik ini terkait dengan keberagaman, toleransi ke semua lapisan masyarakat bahkan juga ke pemerintah dan yang ketiga, bila berkaca dari peristiwa di atas, Pelita diharapkan bisa memberikan pendampingan baik secara moril maupun secara hukum terhadap kasus-kasus keagamaan yang ada di wilayah Semarang dan sekitarnya.
Sebagai sebuah komunitas, Pelita memiliki beberapa program kegiatan yang unik dan bermanfaat. Beberapa di antaranya adalah kegiatan Pondok Damai, Semai, dan Format. Yang pertama ada kegiatan Pondok Damai.
Kegiatan ini diadakan rutin setahun sekali dengan durasi tiga hari dua malam dan menargetkan peserta dengan usia 19-25 tahun. Para peserta ini berasal dari berbagai latar belakang agama dan sub-subnya. Misalnya, seperti Islam yang dibagi lagi menjadi NU, Muhammadiyah, Ahmadiyah dan Syiah, kemudian untuk Agama Buddha ada Theravada dan Buddhayana, Konghucu, Katolik, Kristen, dan Hindu. Nantinya mereka akan menginap di salah satu rumah ibadah dan melakukan tiga sesi kegiatan.
“Yang pertama ini mereka diminta bercerita mengapa mereka memilih agama yang saat itu mereka ikuti. Misalnya muslim ya cerita, kenapa memilih Islam dan seterusnya. Terus sesi yang kedua, mereka diminta bercerita tentang pengalaman tidak menyenangkan dengan orang yang berbeda agama atau kepercayaan, dan yang ketiga mereka diminta untuk bercerita pengalaman menyenangkan dengan orang yang berbeda agama atau kepercayaan.” tutur Wawan.
Nantinya mereka akan mengunjungi tiga rumah peribadahan lain. Misalnya saja seperti kegiatan Pondok Damai tahun ini yang diselenggarakan di Vihara Tanah Putih yang kemudian dilanjut dengan junjungan ke masjid, pura, dan kesusteran Katolik.
Tak hanya itu, Pelita juga mengadakan kegiatan yang disebut Semai. Berbeda dengan sebelumnya, Semai adalah kegiatan yang menjadikan anak usia 10-13 tahun sebagai sasarannya. Semai merupakan hasil kerjasama Pelita dengan EIN Institute dan IKHRAR (Ikatan Karya Hidup Rohani Antar Religius) Kegiatan ini merupakan kegiatan Kerjasama antara Pelita dengan Institut dan Ikrar Ikatan Karya Hidup Rohani Antar Religius.
Kegiatan ini biasanya hanya dilaksanakan selama setengah hari, dari pagi hingga siang. Nantinya anak-anak yang mengikuti kegiatan Semai ini akan berkunjung ke salah satu rumah peribadatan dan akan diberikan buku panduan yang sudah didesain sedemikian rupa agar mudah dipahami. Isi dari buku panduan tersebut antara lain ada pengenalan tempat ibadah, tata cara ibadah agama tersebut, hingga pemuka agama di agama tersebut.
Kegiatan ketiga yang dilakukan oleh Pelita ini bekerja sama dengan Radio JFM, di mana setiap Hari Kamis pukul 10.00-11.00 ada program namanya Forum Antar Umat atau Format. Untuk narasumber pada program Format ini bisa berasal dari berbagai golongan dan tak harus berhubungan dengan agama.
“Nah itu narasumbernya bisa dari mana saja, temanya tidak melulu soal agama. Contohnya tadi tentang keris warisan budaya Nusantara yang diakui dunia. Terus kadang tentang batik. Bisa tentang apa saja. Termasuk kemarin isu Palestina kemarin kami juga membahas dan melihat isu Palestina ini dari sudut pandang kemanusiaan.” tutur Wawan.
Tentunya, sebagai sebuah komunitas, Pelita memiliki beberapa hambatan dalam menangani berbagai kasus, terutama di Kota Semarang, walau saat ini kasus-kasus yang berhubungan dengan intoleransi sudah berkurang, namun masih ada kasus-kasus yang masih ada sangkut pautnya dengan agama dan masih cukup sulit diselesaikan.
Masalah ini adalah masalah perizinan pembangunan rumah ibadah. Wawan menuturkan bahwa terkadang alasan dilarangnya pembangunan tempat ibadah itu juga tidak jelas. Walau begitu, Pelita dengan cerdik dapat menyelesaikan masalah ini ‘di bawah tanah’ agar tidak semakin ramai dan melebar kemana-mana.
“Tapi hambatan-hambatan terkait pendirian rumah ibadah masih ada. Cuma kan sebisa mungkin ini kami selesaikan dalam tanda kutip di bawah tanah, supaya tidak muncul ke luar kemudian menimbulkan gejolak di tengah masyarakat.”
Kekhawatiran Umat Hindu
Sementara itu di sisi lain Kota Semarang, suasana terasa sangat berbeda. Kota Semarang kali ini terasa seperti Pulau Dewata. Suasana asri langsung terasa begitu memasuki Pura Agung Giri Natha, yang terletak di Jalan Gajahmungkur, Kota Semarang. Nuansa khas Pulau Dewata membuat siapapun yang datang enggan meninggalkan tempat tersebut.
Sambil menikmati semilir angin dan ketenangan yang tercipta di dalam pura, obrolan masih terus berlanjut. Dengan tema yang sama dengan sebelumnya, yaitu toleransi, kini penggerak dalam obrolan ini adalah Bapak Komang Jananuraga atau biasa disapa Komang.
Komang sendiri merupakan anggota Keparisadaan Umat Hindu di pura tersebut. Dalam obrolan dengan infomedialnk.com Komang menceritakan pengalamannya sebagai umat Hindu yang tergabung dalam komunitas Pelita.
Menurutnya, dia sudah bergabung ketika masih menjadi mahasiswa, dan sebelumnya masih bernama Pondok Damai. Awalnya Komang tidak merasakan manfaatnya bergabung bersama Pelita. Bahkan, Komang juga merasa takut untuk mengikuti kegiatan komunitas ini karena pada waktu itu eskalasi kekerasan atas nama agama masih tinggi di Indonesia.
Tapi lambat laun, Komang pun merasa nyaman dan aman. Ia banyak bertemu dengan teman-teman yang berasal dari berbagai macam latar belakang agama yang berbeda justru membuka pemikirannya dalam beragama dan bersosial.
“Pertama diundang waktu itu juga takut. Aduh, kok aku diundang acara kayak gini ya? Mau diapain ya? Aku sampai belajar loh, Mas. Sampai belajar agama lagi sampai takut nanti kok di debat atau apa. Acara Pondok Damai itu pertama kali, Jadi, ternyata berlintas Agama itu tidak semenakutkan itu dan se-have fun itu ternyata.” kenangnya.
Bahkan ia mengatakan bahwa, kini acara yang dilaksanakan oleh Pelita lebih efektif dibanding acara yang diusung oleh pemerintah. Pak Komang menjelaskan bahwa pemerintah sempat melakukan usaha untuk menanam jiwa toleransi pada diri anak-anak muda Indonesia, namun dalam acara yang berbentuk seminar itu, banyak peserta yang tidak memperhatikan dan malah memainkan gawainya. Peserta cenderung tidak mendengarkan seminar karena merasa bosan, sehingga kurang interaktif.
Berbeda dengan apa yang dilakukan oleh Pelita yang menurutnya bisa mempersatukan dan mendekatkan teman-teman lintas agama dengan cara yang asyik dan menghibur. Bahkan menurut penuturannya, ejek-mengejek dalam hal agama sudah menjadi hal yang biasa di Komunitas Pelita, dan justru hal-hal seperti itulah yang membuat ikatan kekeluargaan antar anggota semakin erat. Namun, selama bergabung dengan Pelita tak selamanya urusan keagamaan, terutama yang dirasakan dan dialami oleh Pak Komang berjalan mulus. Ia mengaku, Umat Hindu masih mendapat penolakan dari beberapa kalangan ketika umatnya hendak membangun sarana yang berhubungan dengan kegiatan keagamaan. Salah satunya adalah saat Umat Hindu di Semarang hendak membangun krematorium.
Komang bercerita bahwa saat Umat Hindu di Semarang hendak membangun krematorium khusus Umat Hindu, pasti menemui kendala. Rencana awal krematorium itu akan dibangun di daerah Kedungmundu, namun warga selalu saja memberi alasan yang menurutnya tidak jelas. Ditambah lagi dari pihak Pemerintah Kota Semarang tidak menanggapi serius hal tersebut. Hingga akhirnya dengan sangat terpaksa pembangunan krematorium itu dipindah ke daerah Mijen. Pak Komang mengaku sangat kecewa karena masih ada birokrasi yang dipersulit, padahal pembangunan krematorium ini sangat krusial bagi pemeluk Agama Hindu karena dalam Agama Hindu terdapat tata cara tersendiri dalam mengkremasi jenazah.
“Gak tau ya haknya kami sebagai minoritas kayak dientengkan gitu. Apalagi Hindu doang. Ya gak tau ya waktu itu sempet debat dan akhirnya ya sudah lah kita ngalah.” lanjutnya.
Disini Komang jadi dibuat bertanya-tanya dengan survei dan perangkingan yang dibuat beberapa lembaga yang memasukan Semarang sebagai salah satu kota paling Toleran di Indonesia. Karena menurutnya Semarang belum se-toleran itu dan masih banyak hal yang tertutupi mengenai toleransi beragama.
Walau pun demikian, menurut pria asli Semarang ini mengaku mendapatkan banyak manfaat selama bergabung bersama komunitas Pelita. Ia merasa banyak keuntungan yang ia rasakan secara pribadi maupun secara sosial. Jika ditinjau dari sisi pribadi, Pak Komang merasa dirinya semakin dewasa secara pribadi maupun spiritual. Kemudian jika ditinjau secara sosial, ia merasa bahwa ia semakin banyak memiliki relasi yang membawanya juga pada ladang rezeki.
Ia sangat bersyukur bahwasanya masyarakat di sekitar Pura Agung Giri Natha ini sangat suportif dan toleran. Warga sekitar banyak yang menawarkan diri untuk bekerja di pura sebagai petugas kebersihan walau dirinya bukan penganut Agama Hindu. Selain itu, karang taruna sekitar pun sering mengadakan kegiatan di pura tersebut. Komang bahkan bisa merasakan kehangatan dan rasa kasih sayang yang diberikan oleh penduduk sekitar walau mereka berbeda agama dengannya.
“Akhirnya pura ini kita gak takut ada apa-apa. Karena yang menjaga orang sini. Mereka sayang sama kita. Karang taruna kalau rapat jadi di sini ya, bikin acara di sini.”
Komang yakin, dengan toleransi yang dipadukan dengan keadilan yang merata maka akan menciptakan iklim toleran yang baik. Ia percaya bahwa semua perjuangan yang dilakukannya bersama dengan teman-teman dari Komunitas Pelita bisa berbuah manis. Pada akhirnya, beliau yakin bahwa toleransi dan kemanusiaan bisa mengarahkan segalanya.***
Reporter : Farhan, Amel, Lala, Alena
Penulis : Lala
Editor : Juno