
Sejarah manusia berdiri diatas tanah pemakaman dari kebudayaan yang tewas akibat matinya sisi rasionalitas manusia dalam menghadapi tantangan peradaban. Konsep Horace Dulce et Utile dalam karya sastra belum mampu termanifestasi pada khalayak yang kehilangan sensibilitasnya terhadap produk karya sastra itu sendiri. Anggapan sastra adalah seni propaganda dimaknai secara sempit dan tidak komprehensif melalui dua garis pemaknaan antara sastra sebagai doktrin berbahaya atau jarak estetis karya sastra yang menjauhi realitanya. Montgomery Belgion mengemukakan bahwa seorang seniman adalah pelaku propaganda yang tidak bertanggung jawab (irresponsible propagandist). Hal ini didasarkan pada parameter propaganda sastra yang diperluas hingga mencakup segala usaha baik secara sadar maupun tidak untuk menggiring pembaca (atau penikmat) karya sastra agar terpengaruh dan menerima sikap hidup tertentu.
Kebudayaan dan martabat suatu masyarakat dapat dinilai dari seberapa tinggi mereka menimang dan menghargai seni secara presisi. Masifnya kawula muda menggelar konser-konser kecil di taman kota serta mewabahnya kreatifitas-kreatifitas pertunjukkan seni musik membuktikan bahwa seni musik dapat menawarkan kenikmatan (dulce) yang tidak sekedar profan, tetapi juga sebuah kenikmatan (dulce) yang mampu mencapai puncak imanen. Selain itu jika dimaknai secara hermeneutik seni musik bermanfaat (utile) sebagai penyaluran emosi seseorang secara konstruktif, artinya seni musik dapat menjadi katarsis baik bagi penikmat maupun penciptanya. Adapun dalam korelasinya sebagai primadona karya sastra, seni musik tercipta dari penggunaan keintiman diksi dan medium bebunyian yang secara intens menuntun emosi yang tercipta dalam ruang imaji. Hakikat pergaulan bahasa dan konstelasi pemenuhan iris-iris estetika menjadikan seni musik disebut sebagai karya sastra.
Fenomena yang mewarnai jagat media massa baru-baru ini mengenalkan sebuah produk karya sastra berbentuk pertunjukkan seni musik yang dibawakan oleh musisi kenamaan asal Indonesia bernama Hindia. Konser yang diselenggarakan di Blue Valley House of Communion, Jakarta International Velodrome, Jakarta Timur ini bertajuk Malaikat Berputar di Langit Jakarta dengan tema analog horor. Dalam konferensi persnya, Hindia mengaku bahwa setiap apa yang ditampilkan dalam konser menyimbolkan pemaknaan tertentu, namun prinsip sebuah seni yakni interpretasi yang multi tafsir menjadi nilai estetika tersendiri. Kendati demikian, komponen-komponen dalam pertunjukkan yang tak biasa seperti pemilihan warna dress code (dc) hitam, biru polos, atau merah yang ditentukan oleh promotor konser, sambutan dari batu nisan buatan, instalasi peti mati, kewajiban membawa kain penutup mata, serta penggunaan properti panggung yang beraura gelap menyalurkan berbagai gelombang kecaman. Sensitivitas netizen mengasumsikan bahwa komponen yang demikian melahirkan perspektif yang negatif berupa pelecehan terhadap norma keberagamaan dan moralitas.
Pada dasarnya sastra sebagai seni tidak memiliki legitimasi pemaknaan secara konkret. Setiap karya sastra yang telah dilempar ke ruang publik tidak lagi memiliki pemaknaan pengarangnya secara pribadi. Publik diberi kebebasan seluas-luasnya untuk memberi pemaknaan, namun satu-satunya unsur pembela dalam keterlibatan pengarang sebagai pemilik sah karya sastra adalah ruang kreativitas yang tidak memiliki batas. Secara garis lurus pengarang berhak berkreativitas tanpa batas, sedangkan penikmat berhak memberi tanggapan dan kritik secara luas. Nilai estetika sebuah karya sastra semakin tinggi apabila makna sebenarnya yang ingin ditampilkan semakin tersembunyi. Sedangkan bagaimana cara pengarang menyembunyikannya adalah sebuah rona stilistika atau gaya bebas terstruktur pada masing-masing pengarang. Bentuk-bentuk deviasi (penyimpangan) dalam seni tidak hanya berfungsi sebagai nilai estetis namun juga sebagai gaya seorang pengarang mengekspresikan kebebasan yang memberontak dalam jiwanya. Kemulti tafsiran sebuah karya seni merupakan hal yang wajar, setiap kepala memiliki logika yang berbeda, begitu juga setiap jiwa memiliki indra perasa yang tak sama.
Praduga yang merambah pada masyarakat terkait kultus illuminati didukung dengan patung (diduga) Baphomet dan simbol mata satu yang ditampilkan dalam LED pada konser, tak hanya itu lagu Hindia yang bertajuk Matahari Tenggelam juga memiliki lirik tak biasa yang berbunyi “kudoakan kita semua masuk neraka”. Hal tersebut menguatkan asumsi netizen terkait dugaan kultus illuminati dan satanic. Meskipun di tengah gelombang kontroversi, Hindia memiliki gaya bermusik yang patut diapresiasi. Dalam pandangan seni Hindia cukup cerdas mempersembahkan gaya yang unik untuk menyajikan sebuah karya. Diluar dari perdebatan mengenai dugaan kultus illuminati, praktik satanic, dan kreativitas dalam bermusik, Hindia tetaplah pada citranya.
Penulis: Indri
Editor: Juno